Cerita ini juga sudah tersedia di Karyakarsa tapi belum tamat yah cuma partnya sudah lumayan banyak. Yang penasaran bisa baca disana juga ya.
Jangan lupa tinggalkan jejak and Happy Reading
❤❤❤❤
Euginea membanting pintu kamarnya dengan keras. Kemarahannya pada Alexander ia lampiaskan pada benda mati yang sama sekali tidak bisa mengurangi rasa marahnya atas ucapan Alexander padanya saat sarapan tadi. Ia marah bukan karena perkataan Alex benar, tapi justru karena ucapan pria itu yang sangat keliru dan sialnya tidak bisa ia bantah. Alex sudah lebih dulu pergi sebelum ia bisa meluruskan pemikiran pria itu.
Euginea tidak mengerti dengan jalan pikiran Alexander. Bisa-bisanya pria itu berpikir ia akan tertarik padanya. Ia tidak mungkin tertarik dengan pria semenyebalkan Alexander. Pria dengan mulut tajam itu tidak akan pernah masuk dalam kriteria pria idamannya.
Euginea akui Alex memang tampan dan ia terpesona dengan ketampanan pria itu, tapi hanya sebatas itu. Alex bukan pria tampan pertama yang dilihatnya. Selama ini sudah banyak pria tampan yang ditemuinya dan tertarik padanya jadi tidak seharusnya Alex merasa besar kepala seperti itu hanya karena ia pernah terpukau saat mereka pertama kali bertemu.
"Tapi hanya Alexander yang membuatmu terpesona, bukan?"
Euginea menggeram mendengar suara hatinya yang seolah tengah meledeknya. Ia akui Alex memang membuatnya terpesona, tapi bukan berarti ia akan langsung jatuh cinta pada pria itu, bukan? Toh ia wanita normal yang tentu saja menyukai pria. Jadi bukan hal yang aneh jika ia terpesona ketika melihat pria tampan.
Yang seharusnya diluruskan adalah pemikiran Alexander. Pria itu terlalu percaya diri dan angkuh. Dia Menganggap semua wanita akan jatuh cinta padanya hanya karena dia memiliki wajah yang tampan. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Tidak semua wanita akan jatuh cinta padanya.
"Syukurlah kalau begitu. Dengan begitu aku berharap kau tidak akan jatuh cinta padaku, karena aku tidak pernah ingin terlibat dengan wanita manapun di dunia ini, apalagi dengan wanita manja yang tidak bisa melakukan apa pun seperti dirimu."
"Wanita manja yang tidak bisa melakukan apa pun katanya?" Euginea menggeram. "Kenapa semua orang selalu berpikir seperti itu tentangku? Apa karena aku seorang putri? Apa seorang putri memang identik dengan hal-hal seperti itu? Kenapa semua orang selalu saja meremehkanku? Sebelumnya Phillipe dan Papa yang menganggapku seolah menjadi beban bagi mereka hingga mereka menjauhkanku secara diam-diam dari Prancis, lalu sekarang Alexander. Apa aku harus membuktikan pada mereka semua kalau aku tidak selemah yang mereka tuduhkan selama ini?"
Euginea menatap dirinya di depan cermin. "Kenapa semua orang selalu berpikir aku tidak bisa melakukan apa pun?" tanyanya pelan.
Selama ini Euginea selalu bersikap lemah lembut karena tuntutannya sebagai seorang putri, tapi bukan berarti ia tidak bisa melakukan apa pun seperti yang semua orang tuduhkan. Ia bisa melindungi diri sendiri tapi tentu saja ia tidak harus membuktikan apa pun terutama pada Alexander. Pria itu bukan siapa-siapa. Pria itu tidak penting baginya. Euginea hanya harus membuktikan diri pada Phillipe dan papanya kalau ia lebih dari mampu untuk menjaga diri.
Suara ketukan di pintu kamar membuat Euginea tersadar dari lamunannya. Ia menatap kearah pintu, menunggu untuk memastikan siapa yang telah berani mengganggunya.
"Yang Mulia, anda baik-baik saja?"
Suara Ella yang terdengar khawatir membuat Euginea bergegas membuka pintu. Tadi ia berjalan cepat kembali ke kamar tanpa mempedulikan Ella, tidak heran kalau pelayan pribadinya itu menyusulnya.
"Aku baik-baik saja, Ella. Apa ada masalah?"
"Tidak ada Yang Mulia, saya hanya ingin memastikan keadaan anda saja."
"Seperti yang kau lihat," Euginea masuk ke kamarnya diikuti Ella. Ia bersyukur semua pelayan berada di luar saat ia dan Alex sarapan tadi jadi tidak ada yang mendengar ucapan Alex padanya. "Kapan kita akan bersandar?"
"Kemungkinan paling lambat sore nanti, Yang Mulia, tapi jika cuacanya cukup baik seperti ini kita bisa tiba lebih cepat."
Euginea mengangguk. Ia berharap mereka bisa segera sampai agar ia tidak terjebak di tempat sempit ini semakin lama bersama pria semenyebalkan Alexander.
"Apa kau tahu kemana pria itu akan membawaku?"
"Yang saya tahu, His Lordship tinggal di Avening, jadi kemungkinan besar beliau akan membawa anda kesana."
"Avening?" Euginea bergumam. Ia baru mendengar tempat itu. Selama ini ia hanya tahu London dan beberapa tempat di sekitar London. Ia tidak memiliki kenalan atau kerabat di daerah lain apalagi daerah yang baru saja disebutkan Ella.
"Baiklah Ella, kau bisa kembali ke kamarmu. Aku ingin beristirahat sebentar sebelum kapal bersandar."
"Baik Yang Mulia. Saya akan datang siang nanti untuk membantu anda bersiap."
Euginea mengangguk. Ia membiarkan Ella keluar dan kembali menutup pintu. Ia butuh sendiri untuk berpikir. Memikirkan kembali apa dan bagaimana ia akan membalas Alex nanti.
Alexander... pria itu harus diberi pelajaran agar tidak selalu memandang rendah setiap wanita, tapi bagaimana caranya?
Euginea berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sambil terus memikirkan semua hal yang bisa dijadikan ajang balas dendam terhadap Alex.
Sebagai seorang putri, Euginea terbiasa mendapat perhatian penuh dari semua orang. Ia selalu diutamakan dan diperlakukan dengan sangat baik dan hati-hati. Tapi Alex sangat berbeda. Pria itu sama sekali tidak terlihat menghormatinya. Bahkan ucapan Alex tadi sangat menyinggungnya.
Ini untuk pertama kali ada seorang pria yang mengatakan hal itu padanya. Tentu saja Euginea tidak bisa diam begitu saja. Jika ia hanya diam, hal itu sama saja dengan membenarkan ucapan Alexander. Jadi ia harus memberi pria itu pelajaran agar tidak selalu memandang rendah dirinya, tapi bagaimana caranya? Apa yang harus dilakukannya?
Euginea menghempaskan tubuh di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamar yang ditempatinya sementara otaknya terus berusaha keras memikirkan semua hal yang bisa dilakukannya untuk membalas Alex.
Ada banyak ide yang terlintas dalam pikiran Euginea, tapi tidak ada satupun yang membuatnya merasa bisa membalas Alex. Hingga sebuah ide paling tidak masuk akal namun paling berpotensi untuk membalas kekesalannya pada Alex membuat Euginea terlonjak dari tidurnya.
Meskipun sebagian dalam dirinya menentang, tapi tidak ada rencana paling tepat yang bisa dilakukannya selain ini. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa dilakukannya untuk memberi Alex pelajaran.
Euginea tersenyum lebar. Ia akan membuat Alex jatuh cinta padanya lalu setelahnya ia akan mencampakkan pria itu. Bukankah itu rencana yang sangat sempurna?
❤❤❤❤
17082023