20. ACT II

21.8K 1.5K 12
                                    

Membuka mata di Senin pagi selalu membuat siapapun tak ingin beranjak dari tempat tidur. Termasuk, Danisa.

Bukan karena ia malas. Tetapi, ada bayangan aneh yang membayanginya selama akhir pekan. Dan pagi ini, perutnya mual karena menyadari bahwa bayangan-bayangan itu akhirnya harus ia hadapi.

Sabtu malam kemarin, ia berciuman untuk pertama kalinya. Bibir Danisa sudah tidak perawan. Tunggu! Apakah itu harus dirayakan?

Dan gilanya, bukan orang yang ia sukai yang menciumnya. Orang itu hanya lelaki asing. Oke, tidak begitu asing. Tetapi, bukan orang yang ingin dirinya pacari apalagi nikahi.

Impian ciuman pertama romantis seorang gadis berusia nyaris tujuh belas itu hancur sudah. Berganti dengan sebuah giat membara yang tak berdasar rasa.

Alkohol, dendam, dan cemburu. Tiga itu seperti formula melumpuhkan kewarasan. Karena sejujurnya, saat ini, Danisa merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya melakukan ciuman dengan Samudera.

Jangan katakan itu bukan masalah besar! Karena ciuman adalah masalah besar yang patut dipertimbangkan untuk Danisa.

Gilanya, sepulang dari pesta, Samudera sama sekali tidak menghubunginya. Tunggu! Danisa kini mempertanyakan dirinya yang menunggu-nunggui kontak dari Samudera. Mereka jarang sekali bertukar pesan, untuk apa juga mengontak setelah ciuman yang dilakukan hanya demi memanasi Kiano?

Keadaan media sosial tak ubahnya seperti lautan api. Foto dan video dirinya sudah di-retweet, repost dan reshare ratusan kali.

Danisa keluar dari kamar dengan tarikan napas. Kalau ia tak ingat harus berangkat lebih pagi karena ada tugas tim publikasi dokumentasi, ia pasti ingin membolos saja.

Sorot mata Daniel yang terlihat tajam membuat Danisa menciut. Daniel tak pulang malam itu. Dan Danisa tak ingin bertanya. Ia sudah biasa menginap di rumah temannya—atau di mana pun—ketika ayah dan ibu mereka pergi ke luar kota atau saat pulang pesta. Danisa sebisa mungkin tidak bertatap muka dengan Daniel. Menjauh, mengurung diri tanpa bicara.

Tetapi pagi ini, ia kembali bertemu kakaknya. Mendapatkan pandangan menghakimi yang tampak tak menyenangkan. Dalam diam, gadis itu memakan sarapannya hingga keduanya sama-sama masuk ke dalam mobil.

"Kita belum ngomong," ucap Daniel tepat ketika ia melajukan mobil.

Danisa menelan ludah. Here we go.

"Soal lo sama Samudera..." Daniel memulai ceramahnya. "Memang, awalnya, gue agak kaget sih. Gue cuma bercandain lo sama Samudera, biar lo lupa sama Kiano. Tapi, kalian memang beneran pacaran."

Helaan napas keluar dari mulut Danisa. Andai kakaknya tahu bahwa Danisa hanya berpura-pura pacaran.

"Samudera bukan anak baik-baik, Sa."

Mendengar penuturan dari Daniel, Danisa buru-buru menengok. "Hah?"

"Lo bilang, lo nggak suka temen-temen gue, kan? Karena mereka populer, terkesan arogan dan begini begitu." Daniel mengangkat bahu. "Lo pikir, apa bedanya sama Samudera?"

Danisa mengangkat alis. "Maksud lo?"

"Gue perlu beberin sejarah Samudera? Cowok playboy, hidup suka-suka, berantakan banget kelakuannya." Daniel mengulum bibir. "Jangan cuma karena sekarang dia cacat dan nggak punya temen, lo jadi merasa dia anak baik-baik, Sa."

Danisa menarik napas. Ia dan Samudera tak punya hubungan apa-apa. Semua itu hanya pura-pura. Seharusnya, Danisa tak terlalu ambil pusing, tetapi, kenapa rasanya seperti seorang yang hubungannya tak direstui?

"Gue nggak masalah kalau lo sama Samudera pacaran. Tapi, tahu batas, jaga diri." Daniel berucap ketika mereka hampir sampai di sekolah. "Lagian, pacaran sama Samudera di SMA sekarang begini juga, cuma cinta monyet, Sa. Jangan lo seriusin banget."

PERFREAKTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang