30. BLEED

17.9K 1.3K 26
                                    

Kepala Danisa berat. Sangat berat. Semalaman, ia malah tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan gosip yang beredar. Berkali-kali ia mematrikan kalimat bahwa Samudera bukan siapa-siapa, bahwa Samudera tak ada hubungan dengan dirinya, tetapi setiap kali itu juga, rasanya Samudera semakin tertancap dalam di otaknya.

Unggahan itu tak cuma bercokol di halaman profil akun gosip sekolah, tetapi juga di beberapa akun gosip umum mengingat Gwen adalah figur publik. Bahkan, sudah ada beberapa artikel yang membahas gosip tersebut dengan tajuk: TERKUAK, GWYNETH LINDEN DAN KEKASIHNYA YANG MERUPAKAN ANAK KONGLOMERAT KELUARGA KENCANA.

Yang lebih menyesakan, Danisa mengenali betul pakaian yang dipakai Samudera. Pakaian itu sama dengan yang dipakainya ketika hari Sabtu lalu mereka berkencan di studio lukis. Ketika hari itu Samudera mengecup pipinya.

Sial! Apa-apaan ini? 

Danisa melirik ke arah ponsel yang sudah penuh dengan notifikasi terutama pesan dan panggilan tak terjawab dari Samudera. Sudah setidaknya ada belasan panggilan sejak semalam dan puluhan pesan.

"Sa, gue bisa jelasin."

"Itu bohongan, serius."

"Gue sama Gwen nggak ada hubungan apa-apa."

"Gue jemput, ya? Kita ngobrol sambil brunch dulu, please?"

Danisa menarik napas. Membalas pesan terakhir. "Nggak perlu, gue sama Kak Daniel udah mau jalan."

Gadis itu meletakan kembali ponselnya ke dalam kantong sebelum berlari keluar kamar. Ia mendapati Daniel yang sudah mau bersiap pergi. Kalau tidak ada ujian, Danisa rasa, ia tak ingin masuk sekolah sama sekali.

Persetan dengan ujian, tidak ada satu kata pun yang bisa masuk ke kepala Danisa kemarin malam. Ia hanya datang untuk remedial nantinya.

"Mau jalan, kan?" Danisa berkata cepat sambil mengambil sepatunya.

Daniel melirik ke arah Danisa sejenak. "You okay?"

Danisa mengangguk buru-buru. Ia tak ingin kakaknya melihat wajahnya yang seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin perasaannya bisa sesakit ini? Padahal jelas ia harusnya tahu, mereka tak punya hubungan apa-apa.

"Gue hajar si Samudera nanti," ucap Daniel berapi-api. "Seenaknya aja mainin adik gue."

Danisa menggeleng pelan. "Nggak usah, Kak. Nggak penting."

Daniel menarik napas sambil membuka pintu rumah. Tak lama, dua kakak beradik itu sudah berada di mobil.

"Serius deh, Sa! Lo sama Samudera... terus gimana? Kalian pacaran loh!" Daniel marah-marah. "Ngapain macarin adik gue sampai bikin scene di depan pestanya Gwen kemarin? Buat bikin Gwen jealous?"

Danisa tak menjawab. Ia enggan menjawab kejadian sebenarnya. Bahwa mereka hanya pura-pura, bahwa sebenarnya, ciuman itu ditujukan untuk Kiano. Atau, diam-diam juga untuk Gwen?

"Samudera ada telepon?" tanya Daniel lagi.

Danisa mengangguk. "Yah," jawabnya lemah. "Nggak gue angkat."

"Biarin aja! Cowok brengsek!"

Danisa lagi-lagi diam seribu bahasa. Ia benar-benar tak ingin memaki. Tenaganya sudah habis seperti terserap oleh sesuatu tak kasat mata.

Seisi sekolah memandangi Danisa tepat ketika ia menginjakan kaki. Tatapan itu benar-benar aneh. Seperti mencemooh dan kasihan bersamaan.

Danisa berusaha mengabaikan tatapan itu seraya berjalan ke arah kelas. Di kelas pun sama saja, semua memandanginya seperti orang aneh.

PERFREAKTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang