34. AJAKAN

19K 1.6K 7
                                    

Karena tiba-tiba rame jadi aku double. Jangan sampai ketukar 34 sama 35 nya please hehe

Ada beberapa alasan mengapa Danisa tidak langsung bisa menerima Samudera begitu saja. Pertama, Samudera terasa terlalu jauh. 

Ada beberapa hirarki dalam lingkungan sosial. Tipe paling bawah ditujukan untuk Danisa dan semua orang yang tak pernah dianggap di sekolah. Hirarki atasnya merupakan tingkat ketika orang itu tak pernah dianggap tetapi masih dibutuhkan. Biasanya, mereka yang benar-benar pintar dan punya peringkat utama. Kiano, contohnya. Lelaki itu cukup pintar namun pendiam. Kalau dia bukan teman Daniel dan pacar Isabella, mungkin, ia berada di sini.

Tingkat berikutnya adalah orang yang bisa bergaul dengan siapa saja tetapi juga berprestasi dan aktif kegiatan. Dan teraatas, ada orang-orang yang memang selalu jadi panutan setiap orang. Orang-orang yang rasanya bisa mengatur seisi sekolah, punya karisma yang tak dapat dijangkau, punya banyak pengikut dan penggemar.

Ada satu tingkat lagi, tingkat yang paling tinggi. Ketika tak hanya popularitas saja yang dimiliki oleh kalangan itu tetapi juga uang dan kekuasaan.

Samudera berada pada tingkat paling atas. Atau, ia pernah berada di sana. Sebelum kakinya cacat, sebelum apapun kemalangan yang menimpanya. Jika suatu hari Samudera bisa berjalan, apakah semua ini akan jadi sama? Apa sekarang, Samudera sedang berhalusinasi atau mungkin lelah dengan keadaannya hingga memutuskan untuk menyerah dan menurunkan standar ke tingkat paling bawah?

Danisa masih butuh waktu untuk berpikir. Ia butuh untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Kedua, masalah Kiano. Danisa tahu, bagaimana akhir-akhir ini ia teralihkan penuh dari lelaki satu itu. Porsi Kiano yang selama ini bercokol hilang perlahan. Samudera menggantikannya pelan, pelan, hingga hampir mengisi seutuhnya. 

Danisa sadar, Kiano tak akan bisa dimiliki. Ia milik orang lain. Rasanya, ia sudah rela.

"Sa? Nggak mau turun?" Suara Daniel memecah lamunan.

Danisa menatap sekeliling. Hari ini, ia pertama kalinya masuk sekolah setelah beberapa hari absen. Ia mengangguk pelan sambil turun dari mobil.

Keadaan sekolah masih sama saja. Tak ada yang berubah. Kecelakaan Danisa seolah tak pernah ada. Apa yang dialami Danisa seolah tidak penting. Tidak ada yang peduli jika Danisa tidak masuk berhari-hari. Kontras jika ada gosip jelek menimpa dirinya. Pandangan semua orang baru akan mencibir dan mencemoohnya. Menyedihkan.

"Lo ngapain?" Danisa tersadar dengan Daniel yang membuntuti di belakang.

"Nganterin lo sampai kelas. Kita nggak tahu apa yang terjadi. Lagipula, Isabella masih berkeliaran. Bener kata Samudera, tuh cewek gila kebal hukuman." Daniel bersungut-sungut.

Danisa melirik kecil. "Cie, yang akrab sama Samudera," godanya.

Si kakak melengos. Kejadian kemarin membuatnya sedikit banyak mengobrol dengan Samudera. Membuat Daniel sadar juga, Samduera tidak buruk. Mereka terlalu banyak kemiripan walaupun tetap banyak perbedaannya.

"Sama Gwen juga jadi akrab, gue dengar tuh." Danisa makin mengejek.

"Gwen is my celebrity crush and it will stay that way," tegas Daniel cepat.

"Oh, masa?" Danisa menaikan alis pura-pura tak percaya.

Daniel memutar bola mata. "Gwen udah punya pacar. Jadi, nggak, makasih. Gue nggak mau jadi kayak lo."

"Kayak gue?"

"Berharap sama yang udah punya pacar." Daniel tertawa.

Danisa mendesis. "Tapi sebenarnya, lo dukung gue sama Kiano atau Samudera?"

Dahi Daniel berkerut sebentar sebelum menggeleng. "Mau gue jujur? Awalnya sih, nggak sama dua-duanya."

"HAH?"

Daniel tertawa. "Kalau Kiano, mungkin, gue bisa mempertimbangkan kalau dia masih single." Ia diam sejenak. "Tapi, karena dia udah punya pacar, gue jadi nggak setuju. Dan, sebenarnya, gue bakalan ngelarang lo kalau lo udah ngelakuin intensi ekstrim. Kalau gue ngejekin lo, ya cuma mau ngejekin aja. Tapi, gue nggak mendukung lo jadi pelakor apalagi kalau lo bakalan dihajar Isabella kayak kemarin."

 Danisa manggut-manggut. Tepat pada saat itu, ia sudah berdiri di depan ruang kelasnya. Di dalam ruangan itu, sudah ada Samudera yang duduk. Mata Danisa membulat ketika melihat sesosok perempuan lagi yang berdiri di dekat barisan. Gwen?

Gadis itu tampak cantik dengan rambutnya yang sedikit kecokelatan dan bando merah di puncak kepalanya. Mengingatkan Danisa pada tokoh Blair Waldorf di serial Gossip Girl. Perangainya benar-benar anggun walaupun bersandar di ujung meja sekalipun.

"Gue masuk dulu," pamit Danisa cepat.

Gadis itu berjalan ke arah kelas. Matanya memicing melihat Samudera lalu Gwen. Seisi kelas memerhatikan mereka. Lebih penasaran dengan kelanjutan gosip yang beredar daripada Danisa yang tidak masuk berhari-hari.

"Hai," sapa Gwen tenang. "Tempat lo, ya? Tadi gue nggak boleh dudukin sama Samudera, alasannya punya lo."

Danisa mengangguk sambil meletakan tasnya. Ia duduk di sana dengan canggung.

"Udah mendingan? Gue kaget banget pas nemuin lo di kamar mandi kemarin itu." Gwen menghela napas. "Orang-orang gila memang! Gue bikin perhitungan sama Isabella nanti! Pengen gue jambak rambut dia rasanya!"

"Jangan banyak ngomong, ah! Kemarin gue udah ngajakin, lo nya nggak mau!" balas Samudera kesal.

"Kan pakai cara manusiawi dulu." Gwen membela diri.

"Masalahnya itu cewek bukan manusia," kekeh Samudera.

 "Gue pikir, dia akan bisa dihukum atau apa gitu." Gwen masih bersungut-sungut.

Daniel sudah memberitahukan Danisa terkait Gwen yang menemukannya di bilik toilet, juga tentang Gwen yang membantunya ini dan itu. Rasanya, Danisa sedikit merasa bersalah karena marah dan percaya atas rumor tak berdasar di media sosial itu kemarin.

"Tumben ke sini, Kak..."

"Gwen aja!" potong Gwen cepat. "Lo manggil Samudera juga pakai nama doang, kan?"

Samudera melirik sinis. "Lo jangan ngingetin gue sama umur dong. Kan sekarang gue jadi adik kelas," ejeknya.

Gwen memberikan pandangan tajam ke arah Samudera. Ia tak ingin disela atau dibantah. Gadis itu kemudian menengok ke arah Danisa. "Gue lagi ngomongin ulang tahunnya Tante Anggi besok."

"Tante Anggi?" Danisa berkerut bingung.

"Mamanya Samudera." 

Danisa masih tampak bingung. Samudera belum bercerita soal ibunya. Bahkan soal keluarganya pun belum. Kecuali, soal kakaknya yang serba sempurna, juga soal hubungannya dengan Gwen.

Gwen melirik ke arah Samudera. "Lo belum cerita soal nyokap lo?"

Samudera mengangkat bahu. Ia belum punya waktu, juga belum punya kesempatan. Ia tidak tahu kapan waktu yang tepat menceritakan soal keluarganya pada Danisa. Masih terlalu cepat, Samudera baru saja menyadari perasaannya seminggu lalu, keduanya juga belum resmi berpacaran. Jadi, Samudera tak ingin membebani Danisa dengan masalah-masalah yang ada dalam keluarganya.

Samudera mencoba mengalihkan pikirannya. Ia menengok ke arah Gwen. "Jadi, lo nggak bisa datang?" tanya Samudera sebelum dipandangi dengan tatapan menghakimi dari siapapun lawan bicaranya.

Gwen merunduk. Wajahnya tampak bersalah. 

"Mentang-mentang udah nggak sama Kak Khafa, ya?" sindir Samudera lagi.

"Bukan gitu. Gue juga kangen sama Khafa, tahu?" balas Gwen sengit. "Cuma memang, lagi nggak bisa aja. Ada acara lain."

Danisa mengerutkan dahi melihat interaksi dua orang ini. Masih banyak yang Danisa belum tahu.

"Danisa ikut?" tanya Gwen kemudian.

Danisa mengerjapkan mata kaget. "Hah?"

"Ikut lah! Gue mau ngenalin Danisa ke nyokap!" Samudera berkata cepat. "Iya kan, Sa?"

Seketika, Danisa membeku. Apa?

PERFREAKTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang