35. DI DASAR LAUT

9.9K 972 20
                                    

Danisa menatap jalan dengan grogi. Bukan tanpa sebab. Ia benar-benar akan pergi ke acara ulang tahun ibu dari Samudera. Acara yang dibahas Gwen dari kemarin.

Samudera tak bicara kosong saat bilang akan mengajak Danisa menemui ibunya. Lelaki itu bahkan meminta ijin Daniel untuk mengajak Danisa saat pulang sekolah.

"Gue nggak perlu ganti baju dulu, gitu? Ini mau ketemu nyokap lo, loh." Danisa meremas ujung roknya saat berada dalam mobil Samudera.

Samudera tertawa sambil menggeleng pelan. "Nggak usah, Sa. Nyokap gue bukan orang yang mandang penampilan."

Danisa menggigit bibir. Ia gugup setengah mati. Apa yang harus ia katakan pada ibunya Samudera nanti? Seperti apa wanita itu? Danisa sama sekali tidak tahu.

Mobil Samudera bergerak menuju utara Jakarta menuju Ancol. Ketika masuk ke dalam gerbangnya, Danisa jadi mulai bertanya-tanya.

"Nyokap lo tinggal di Puri Marina?" tanya Danisa saat Samudera mengarahkan mobilnya menuju daerah tersebut. "Nggak tinggal sama lo?"

Danisa sempat mendengar perumahan elit tersebut, juga melihatnya dari televisi. Rumah di Puri Marina berlokasi di sebelah laut. Mereka bahkan punya dermaga dan speed boat yang terparkir untuk dipakai di akhir pekan.

"Gue ada properti di Puri Marina, tapi, kita nggak ke sana." Alih-alih masuk ke perumahan, Samudera membelokan mobil ke arah lain.

Kalimat Samudera yang dibumbui dengan sedikit nada sombong di dalamnya membuat Danisa mendesis.

"Kalau lo penasaran, nanti atau kapan gitu, kita mampir. Toh udah jarang ada yang nempatin. Mau dijual, tapi kayaknya bokap gue masih maju mundur." Samudera berkata lagi.

Danisa mengangguk kecil. "Terus acara ulang tahun nyokap lo di mana?"

Lagi, Samudera tak menjawab. Danisa jadi mulai mengurut-urutkan beberapa lokasi restoran yang ada di lingkungan kawasan Ancol. Hingga, tiba-tiba, tanpa disangka, Samudera berhenti di parkiran Dermaga Marina.

Danisa mengerenyitkan dahi ketika Samudera turun. Ia tak mengerti. Mereka mau ke mana sebenarnya?

Matahari siang masih sangat terik ketika Danisa turun dari mobil Samudera. Masih mengenakan seragam sekolah, keduanya berjalan di sekitar pelabuhan Marina Ancol. Beberapa orang tampak berlalu lalang dengan koper dan tas besar. Sepertinya, akan pergi ke kepulauan seribu setelah pagi atau siang tadi  berada di Jakarta.

"Kita kenapa ke sini?" Danisa berucap sambil mengerenyitkan mata karena silau.

Samudera tak menjawab. Sebagai gantinya, ia menggenggam tangan Danisa erat.

Keduanya berjalan menyusuri tepi dermaga hingga sampai pada sebuah speed boat cabin cruiser yang cukup mewah dan besar. Seorang lelaki berusia awal dua puluhan berada di sana. Seperti telah menunggu mereka.

"Mas, tumben siang-siang, biasanya pagi-pagi." Lelaki itu menyapa. Dengan sigap, ia membantu Samudera menaiki kapal.

Danisa masih linglung. Ia bingung, bukankah mereka mau pergi ke acara ulang tahun? Apa jangan-jangan, Samudera punya pulau pribadi?

Tak mengerti, Danisa mau tak mau mengikuti Samudera naik ke atas kapal berwarna putih dan merah tersebut. Keduanya masuk ke dalam kabin ber-AC sebelum kapal mulai bergerak ke laut.

"Acaranya di mana? Pulau Seribu? Kenapa pakai speed boat?" tanya Danisa polos.

Senyum terkulum tampak dari bibir Samudera. Ia tak menjawab. Hanya menatap Danisa dengan tatapan lembut. 

Danisa tak mengerti. Ia berulang kali melirik ke arah Samudera dengan tatapan bingung. Lelaki itu juga tampak begitu gelisah. Seolah seperti khawatir akan terjadi sesuatu.

Kapal terus berlayar hingga ke tengah laut lalu berhenti. Samudera menarik napas gugup ketika perahu berhenti. Ia berdiri. Dengan langkah terseok, ia berjalan ke luar kabin menuju dek.

Dari atas, ada banyak kumpulan kelopak bunga tampak tertabur di atas laut. Danisa tercekat. Ia tahu tempat apa yang sekarang sedang ia pijaki. 

"Nyokap gue, di sini." 

Suara lirih dari Samudera membuat Danisa tercekat. Ia butuh waktu sedikit lebih lama untuk memproses kalimat itu.

"Kakak gue juga di sini."

Detik berikutnya, Danisa menjatuhkan dagunya. Ia selama ini berpikir kakak dari Samudera berada di luar negeri, mungkin itu alasan si kakak dan Gwen berpisah. Siapa sangka bahwa kakaknya juga di sini yang artinya, kakak dari Samudera itu sudah meninggal.

"Ada di rumah abu juga, sih. Tapi, gue takut bokap ke sana." Samudera berucap lagi. "Lagipula, sebagian besar abu dibuang ke sini, yang disimpan di rumah abu cuma sebagian kecilnya, kan?"

"Lo nggak mau ketemu bokap lo?" tanya Danisa mengerutkan dahi.

Samudera menggeleng. "Hubungan gue sama bokap nggak baik, Sa." Ia diam sejenak. "Dan gue lebih suka di sini. Nyokap suka laut. Makanya dia namain gue Samudera. Waktu hamil gue, rencananya kita bakalan pindah ke rumah di Puri Marina itu. Tapi, ternyata, nggak jadi karena nyokap nggak ada setelahnya."

Danisa tak bisa berkata-kata ketika melihat Samudera tersenyum sedih. Angin yang menerpa rambut dan wajahnya membuat suasana semakin melankolis. Lelaki itu mengambil bunga tabur yang sudah berada di dek. Ia menyebarkan bunga itu perlahan. Membiarkan kelopaknya bertaburan dan mengambang di atas air.

"Hai, Ma... apa kabar?" Samudera berucap pelan. "Lo juga Kak, apa kabar? Gue hari ini mau ketemu Mama, bukan lo, nggak usah ge-er ya!"

Danisa menggenggam tangan Samudera ketika mendengar suara lelaki itu mulai bergetar.

"Ma, selamat ulang tahun! Mama gimana di sana sekarang? Mama baik-baik? Bahagia?" Samudera berucap dengan nada menahan isak. "Di sini, Samudera baik-baik, Ma."

Samudera menarik napas sejenak. Ia menatap langit berawan di atas.

"Ma, ini, Samudera mau ngenalin Danisa. Dia cantik ya, Ma? Samudera naksir sih, tapi anaknya masih gamon sama gebetan lamanya." Samudera tertawa.

Sialan! Danisa hampir ingin memukul bahu Samudera. Hingga...

"Danisa yang bikin Samudera ngerasa lebih berarti dan bikin Samudera pikir, mungkin Samudera nggak jadi nyusul Mama sama Kak Khafa."

Deg! Detik itu juga, Danisa benar-benar memukul bahu Samudera. "Ngomong apa lo?"

Samudera menengok. Ia tersenyum ke arah Danisa sejenak. Senyum itu begitu sedih dan rapuh. Sisi lain dari Samudera yang tak pernah Danisa tahu.

"Lo mau mati?" tanya Danisa dengan emosi yang meluap.

Samudera menarik napas pelan. "Yah, rencananya, setelah festival ini selesai."

"Sam..."

"Sebenarnya setelah balik ke Indonesia, sih. Terus, gue diminta jadi panitia sama Kiano. Karena nggak enak, gue iyain. Gue pikir, sampai acara ini selesai, terus gue udahan hidupnya," terang Samudera ringan.

Mendengar nada yang begitu tanpa beban itu membuat Danisa bingung. Ia ingin menghajar Samudera, tetapi di satu sisi, ia mengerti, Samudera setenang itu bukan karena mengecilkan hidup. Ia justru sudah terlalu muak hingga merasa lebih baik mati.

"Lo mau mati cuma karena kaki lo nggak bisa jalan?" tanya Danisa sedikit mencoba mengurai masalah. "Gue tahu sih, lo pemain basket dan lain-lain. Tapi, apa hidup cuma ditentuin dengan kaki bisa jalan apa nggak? Sekarang, lo juga udah mulai bisa jalan lagi, kan?"

"Bukan, Sa." Samudera mengulum senyum. "Kalau cuma karena masalah kaki gue nggak bisa jalan, mungkin, gue masih bisa bertahan."

"Terus?"

"Karena sekarang pun gue hidup, semua orang sudah menganggap gue mati. Eksistensi gue nggak ada, kan?" Samudera diam. "Gue udah mati, tinggal fisik gue aja yang masih hidup begini. Terus apa bedanya kalau fisik gue mati juga?"

Danisa kelu. Ia tak bisa berkata dengan mata berair. "Sam... nggak gitu."

Keduanya saling tatap. Pandangan Samudera begitu tersirat menyedihkan. Ia tampak mengambil napas sejenak.

"Apa ada orang yang bisa menganggap gue ada?"

PERFREAKTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang