Seharian Jingga belum bertemu Rainbow. Entah ada di mana dan sibuk apa lelaki itu. Padahal biasanya Rainbow berseliweran di lapangan tiap jam istirahat untuk bermain bola. Tapi sampai bel pulang berbunyi lelaki itu masih belum terlihat batang hidungnya.
"Jadi kumpul di lapangan kan buat pelatihan baris-berbaris?"
Jingga baru keluar kelas ketika seorang siswi dari kelas lain yang kebetulan lewat menyapanya.
"Jadi, Fik," jawab gadis itu sambil tersenyum. "Duluan aja nggak papa, kok."
Fika merespon dengan suara pelan. "Iya, emang tadi cuma basa-basi doang sih. Yakali kudu nungguin keong jalan. Bisa-bisa kena hukuman senior karena telat."
"Lima belas menit lagi, loh!" Fika berpesan lalu menunjuk-nunjuk jam tangannya sebelum pergi meninggalkan Jingga. Tepat ketika Jingga hendak berbelok ke lapangan, gadis itu melihat sesosok gadis menangis di bangku depan kelas lain. Karena berada di dekat pintu, Jingga bisa melihat gadis itu terisak sendirian sembari meremas sesuatu di tangannya.
"Lo ada jadwal kumpul di lapangan, kan?"
Baru saja Jingga hendak menghampiri gadis itu, seseorang mencekal lengannya. Ketika berbalik, Jingga melihat sesosok lelaki yang sejak pagi tadi belum ia temui. Dan entah sebab apa Jingga merasa lebih aman. Lega. Padahal sebenarnya Jingga tidak mencari Rainbow. Namun begitu bertemu dengannya, perasaan kurang yang ia rasakan seharian ini tiba-tiba menjadi lengkap.
"Berhenti ngurusin orang lain dan fokus sama diri lo sendiri." Rainbow memberi penekanan di setiap kalimatnya dan tak lupa memberi jeda.
Bukan hanya gerakannya saja yang lambat, otak Jingga juga lemot. Maka dari itu Rainbow harus memastikan kalau gadis itu benar-benar memahami apa yang ia katakan.
"Lo pegang omongan gue. Kalau lo lolos jadi anak Paskibra, gue bakal bantuin lo buat ungkap kasus perampokan yang lo ceritain kemarin di telepon. Gue janji!" Rainbow mengangkat jari kelingkingnya.
Jingga masih diam saja. Lalu perlahan mengangkat tangannya.
Rainbow yang geregetan melihat gerakan lambat Jingga, langsung menarik tangan gadis itu.
"Dan lo harus ubah semua kebiasaan lambat lo ini karena nggak mungkin anak Paskibra lelet kayak lo!" sembur Rainbow di depan wajah Jingga.
Gadis itu hanya mengangguk kikuk. Mau bilang napas Rainbow bau tapi tidak enak. akhirnya hanya ditahan walau sambil membatin.
"Kenapa? Lo mau ngomong apa?" tantang Rainbow. "Bilang, Jing! Jangan cuma diem.."
Rainbow sengaja semakin mendekat. Jingga pasti tidak bisa lagi menahan diri karena tadi pagi Rainbow sarapan nasi goreng jengkol.
"Apa? Ha?" Rainbow membuka mulutnya lebar-lebar.
Jingga terpojok. Ia tak tahan lagi. Menahan napas pun percuma karena jaraknya dan Rainbow terlalu dekat. Hingga akhirnya kesabaran gadis itu mencapai puncaknya.
"NAPAS LO BAU!" Jingga berteriak dengan nada membentak.
Bukannya tersinggung, Rainbow malah tepuk tangan. "Bagus, bagus. Akhirnya lo bisa teriak juga. Satu bekal buat lolos seleksi Paskibra."
Sudah begitu saja. Jingga tidak tahu apa maksud Rainbow mengacak-acak rambutnya sebelum berlalu meninggalkannya. Tidak bertanggung jawab. Sudah membuat hati berantakan, malah pergi begitu saja!
"Aduh.." Jingga menoleh ketika seseorang menyenggolnya dari belakang.
"Siapa suruh berdiri kayak patung di sini? Tuh, teman-teman seangkatanmu udah kumpul di lapangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovember
Teen FictionBagi Jingga Langit Sore, November adalah bulan yang kelabu. Bulan itu hanya mengingatkannya pada kejadian kelam 8 tahun silam. Kejadian kelam yang membuatnya mendapatkan hal ajaib. Sedikit aneh tapi nyata. Setiap kali Jingga menyentuh air mata ses...