Jingga merasa lehernya tercekik. Jiwanya sudah kembali dari dimensi lain. Namun kini pasokan oksigen di dadanya seperti menguar. Sesak.
Tubuh gadis itu tersungkur di depan lemari kosong, sekuat mungkin berpegangan pada tepi ranjang. Kalau sesak itu terus dibiarkan, ia bisa kehilangan napas.
Dan kehilangan nyawa..
Ia harus segera berhenti menangis...
Secepatnya...
Atau ia akan berakhir di detik itu juga...
"Jingga! Nak, Jingga!" Neneknya yang kini berdiri di ambang pintu, sontak mengayun langkah secepat mungkin. Kaget bukan main melihat Jingga yang kesakitan seperti itu.
"Nak, udah jangan nangis lagi." Sang nenek lekas mengusap air matanya. Namun belum juga bekas air mata Jingga mengering, tangis gadis itu kembali berderai.
"Nek.. Nek.. A..ku nggak bi..sa ber..henti nangis," rengek Jingga dengan suara terpatah-patah. "Se..sak.. Aku nggak.. bi-sa na...pas."
Tak kehabisan akal, sang nenek merogoh-rogoh tas sekolah Jingga lantas mengeluarkan beberapa lembar kertas dari sana.
"Liat, Nak... Liat baik-baik," sang nenek meletakkan gambar-gambar yang dilukis Jingga. "Kamu mau jadi seperti mereka, kan? Pahlawan buat negara? Sesuai pesan papamu, Nak."
Tatapan Jingga menajam. Bola matanya masih berkaca-kaca. Namun tak lagi ada tetesan air yang jatuh di pipinya.
"Kenangan buruk memang terkadang melukai hati kita, Nak. Tapi jangan jadikan itu alasan untuk mematahkan mimpimu," jelas sang nenek sambil mengusap pundak cucunya. Tatapan yang teduh itu seketika membuat hati Jingga luluh.
"Maafin Jingga, Nek." Gadis itu menggeser tubuhnya lalu memeluk sang nenek dengan erat. "Aku janji nggak akan nangis lagi."
Setelah air matanya mengering, Jingga mulai mendapatkan lagi pasokan oksigen di dadanya. Selalu seperti ini.
Kalau boleh jujur, ia lelah diharuskan menahan tangis berulang kali ketika hatinya sedang sesak.
Tapi apa yang bisa ia lakukan? Hanya mengikuti skenario yang telah digariskan Tuhan kepadanya bahwa khusus untuk dirinya, ia tidak diperbolehkan menangis.
***
Kondisi Jingga tidak lebih baik dibanding saat ia di rumah. Pagi ini di sekolah pun, rasanya ia ingin cepat-cepat pulang.
Ketika langkahnya sampai gerbang sekolah, gadis itu termenung sejenak.
Tak peduli meski beberapa siswi menubruk lengannya, Jingga melanjutkan langkahnya dengan gontai.Tepat ketika ia hendak berbelok menuju kelas, bayangan sosok gadis berseragam menghadangnya.
"Lo Jingga, kan?"
Jingga tidak juga mendongak, yang di depannya jadi geregetan. Sebenarnya bukan karena Jingga tidak menghargai lawan bicaranya. Tapi memang karena ia butuh waktu meski hanya untuk mengangkat wajahnya.
"Ya ampun, emang bener-bener monster slow motion." Amerta berkacak pinggang. "Lo yang kemarin sama Kak Altair, kan? Emang kalian deket banget, ya?"
Sebelum menjawab, Jingga menarik napas panjang berulang kali. Hanya dua tarikan napas sebenarnya.
Tapi bagi Amerta, menunggu Jingga menarik napas saja sudah menghabiskan waktunya.
"Iya, kemarin aku pulang sama Altair." Jingga menjawab dengan suara kalem. "Aku sama Altair itu -"
Bukannya Jingga sengaja menggantung ucapannya untuk mempermainkan Amerta. Tapi dari satu kalimat yang dilontarkan Jingga, ia butuh menjeda per kata nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovember
TeenfikceBagi Jingga Langit Sore, November adalah bulan yang kelabu. Bulan itu hanya mengingatkannya pada kejadian kelam 8 tahun silam. Kejadian kelam yang membuatnya mendapatkan hal ajaib. Sedikit aneh tapi nyata. Setiap kali Jingga menyentuh air mata ses...