Sesungguhnya mahligai itu tak pernah berlabuh apalagi berlayar.
Sesungguhnya mahligai itu hanya nama
dari apa yang tak pernah ada.***
Bau anyir darah tercium pekat, saat Sudewi melihat lapangan bubat.
Matahari telah naik satu tombak, menyiram ratusan mayat yang terkapar mengenaskan. Burung-burung gagak mulai turun satu persatu, berlomba dengan prajurit yang bertugas memindahkan dan mengumpulkan mayat-mayat untuk di bawa ke pemakaman, dikremasi.
Dini hari, saat mereka akan mengunjungi candi pendharmaan mendiang Ratu Gayatri Rajapatni, ada kabar bahwa terjadi geger di Bubat. Hayam Wuruk langsung bergerak menuju Bubat, diikuti seluruh rombongan ziarah.
Setibanya mereka sampai, saat matahari sayup-sayup mulai menunjukkan diri, pemandangan mengenaskan ini menyambut mereka. Jasad-jasad bergelimpangan. Seluruh rombongan Sunda Galuh merenggang nyawa beserta beberapa prajurit Majapahit.
Laki-laki terbunuh karena perang, perempuan memutuskan melakukan bela pati. Tak terkecuali Dyah Pitaloka Citraresmi yang saat itu ditemui merenggang nyawa dalam pangkuan Hayam Wuruk. Membuat Raja itu meratap sejenak, sebelum akhirnya mengambil tindakan.
Saat ini, tengah terjadi pertemuan penting di aula utama, membahas tragedi mengenaskan ini. Hayam Wuruk mencari jawaban, mencari keadilan.
Matahari makin terik. Burung pemakan bangkai makin banyak. Keindahan altar yang ada di ujung, yang kemarin disiapkan penuh keindahan untuk puja, berubah menjadi mengerikan.
Dari sisi lain, seorang abdi istana mendekat dengan hormat, melapor. "Mohon ampun, Gusti Putri Wenger, perempuan yang ditemukan tadi sudah sadar."
Sudewi yang menanti hal itu terjadi, tersenyum, senang. Ia segera beranjak dari pelipiran Bubat, menuju bangsal pengobatan, tempat gadis yang satu-satunya masih bernyawa, yang ditemukan dalam puing-puing jasad korban geger di Bubat.
Gadis itu bisa menjadi saksi yang bisa menjelaskan segenap tanda tanya, memudahkan penyelidikan Hayam Wuruk. Pasalnya, bagaimana bisa surat-surat itu tak sampai, justru surat lain yang sampai.
Sudewi tidak bisa membiarkan kesalahpahaman bergelayut di atap-atap Majapahit, membuat renggang hubungan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada.
Di ambang pintu, Sudewi melihat gadis itu tengah duduk, menatap kosong ke depan. Matanya merah, bengkak, tapi tak menangis. Sudewi menghampirinya, menyapa ramah, dengan senyum hangatnya. Gadis itu bergeming.
"Aku Sudewi, kau siapa?" Sudewi tetap pada karakternya, ramah, penuh senyum yang tulus.
Gadis itu menoleh. Menjawab datar. "Lopika."
"Kami minta maaf atas apa yang terjadi."
Lopika menyeringai sengak. "Maaf? Setelah kalian menghancurkan segalanya, membunuh seluruh rombongan, kalian hanya meminta maaf?" Mata Lopika berkobar-kobar api murka.
"Maaf kalian tak akan bisa mengembalikan ayahku, sahabatku dan semua orang yang telah kalian bunuh!" Wajah Lopika tetap datar, meskipun amarah terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Sudewi tak marah, ia mengerti benar perasaan Lopika. "Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kalian tiba-tiba datang tanpa berkabar?"
Lopika menatap Sudewi lekat-lekat.
"Menjijikan! Kalian mengirim surat, mengabarkan percepatan pernikahan lima hari lagi, kami datang. Tepat di hari keempat kami sampai, tetapi kalian menyambut kami dengan sangat licik, melebihi ular. Memalukan!"
Sudewi berpikir. Surat percepatan pernikahan lima hari?
Urung Sudewi berpikir lebih dalam, Lopika beranjak dari pembaringan. Menatap seluruh pasang mata yang ada di kamar dengan kemarahan yang sulit dideskripsikan. Amarah, luka dan kecewa berkemelut pekat dimata Lopika.
"Apapun yang kalian dapatkan dengan penuh tipu muslihat, itu tak akan pernah abadi.
"Majapahit akan seperti namanya, PAHIT!" Usai mengatakan kalimat tajam, itu Lopika beranjak.
Langit tiba-tiba mendung, guruh menggelegar dengan kuat, petir berkilat-kilat, angin segera mengungkung kedaton Majapahit, membuat seluruh penghuninya heran, apalagi pasang mata yang ada di kamar, dibuat khawatir, terkhusus Sudewi. Hatinya berkecamuk dengan melihat Lopika yang menjauh.
Wahai Sang Maha Pelindung, lindungilah kami, dari segala keburukan apapun. Sesungguhnya hanya Engkaulah tempat kami berlindung.
Bersambung....
Author note
Selamat siang, pagi, sore, malam, teman-teman. Alhamdulillah. Setelah hampir satu tahun, atau bahkan lebih, ya? akhirnya aku update cerita baru. Maaf banget, ya atas keterlambatan yang lama ini.
Beberapa bulan kemarin, ada banyak hal yang membuat waktuku menulis terkendala. Tetapi apapun itu, akhirnya bisa menulis cerita baru.
Ini masih ada hubungannya dengan Epoch. Atau bisa dibilang ini adalah buku kedua dari Epoch [Majapahit]. Untuk teman-teman yang baru membaca karyaku, terkhusus Sudewi ini, ada baiknya membaca Epoch dahulu, melihat dengan jelas siapa itu Sudewi dalam hidup Hayam Wuruk di buku sebelumnya.
Terima kasih untuk teman-teman yang telah membaca karya-karyaku. Terima kasih banyak. Semoga, Tuhan selalu menjaga kalian. Tetap semangat dan jangan lupa bahagia.
Oktafiya Khn
Tuban, 27 Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Sri Sudewi (Buku kedua Epoch Majapahit)
Historical Fiction"Adapun Prameswari yang terpilih buat menyandingi Sri Paduka adalah seorang putri Wijayarajasa. Tiada terperikan keagungan putri pendamping setia Sang Prabu tersebut, yang keelokannya menyamai Susumnadewi." -Desawarnana, saduran Mien Ahmad Rifa'i A...