8

117 9 1
                                    

Wajah Sudewi yang nampak sangat letih itu, masih terus membujuk anaknya, mencoba mengalihkan perhatian si kecil Kusumawardani, agar berhenti rewel.

Sepanjang sisa hari kemarin, hingga pagi ini kusumawardani tak kunjung tenang. Demamnya sudah sembuh, tetapi jika masih rewel itu tak akan pernah membuat Sudewi bisa bernapas dengan lega. Itu membuat Sudewi melarikan putrinya menuju candi istana.

Sudewi sudah kehabisan akal. Ia berpikir ada roh jahat yang mengusik putrinya. Jadi dia meminta bantuan pendeta untuk mengusir roh jahat itu.

Di candi itu, para pemuka agama langsung melakukan beberapa ritual, mulai membaca doa-doa. Memegang puncak kepala Kusumawardani, menyipratkan air suci. Kegiatan itu berlangsung setengah jam. Ajib! Di menit ke tigapuluh satu, Kusumawardani mulai berhenti merengek. Baik-baik saja, seakan kejadian setengah jam lalu itu sebatas halusinasi.

Terlepas dari apapun itu, Sudewi menghela napas lega. Mengucapkan syukur. Menatap anaknya dengan senyum sekaligus mata berkaca-kaca. Kusumawardani langsung berhambur menuju dekapan ibunya.

"Apa yang terjadi dengan putriku, Pendeta?" tanya Sudewi dengan melihat Kusumawardani sudah bermain dengan anak-anak abdi lain di pekarangan. Tertawa dengan riang, seolah tak terjadi apapun sebelumnya. Permaisuri Majapahit itu dibuat bingung, tidak pernah Kusumawardani tantrum separah ini, itupun tak jelas alasannya.

"Sepertinya alam bawah sadar Gusti Putri Kusumawardani tengah merindukan ayahnya," Pendeta menjawab.

Ratu Tribhuaneswari menautkan alisnya. "Apakah hanya itu, Tabib? Apa tidak ada roh-roh jahat yang mengganggunya?"

"Itu juga bisa, Gusti Ratu. Perjalanan dari Kotaraja ke Tumapel bisa menjadi salah satu sebabnya."

"Sebab?" Sudewi menoleh. "Sebab apa, Tabib?"

"Kalian melakukan perjalanan, melewati banyak tempat. Mungkin saja, saat melintas. Salah satu energi yang tersisa, tertarik dengan Gusti Putri Kusumawardani, ingin 'bermain' dengannya."

Penjelasan Tabib membuat Sudewi bergidik, menatap putrinya yang tengah bermain dengan kelinci. Main yang dilakukan sosok itu sungguh bahaya bagi putrinya. "Lalu apa yang harus saya lakukan, Tabib?"

"Hindari membawa anak kecil bepergian atau keluar rumah saat manjing surup. Itu adalah waktu di mana portal antara dua dimensi terbuka. Seluruh mahluk ghaib, keluar dari sarangnya, berkeliaran."

Sudewi mengangguk. Mengerti. Ingatannya kembali pada kemarin. Seharusnya waktu itu dia membujuk suaminya untuk tinggal di istana ayahnya sampai pagi, atau setidaknya menuruti kata mertua dan iparnya untuk tinggal.

Tangan Ratu Tribhuaneswari menyentuh bahu Sudewi lembut, membuat ibu satu anak itu menoleh.

"Apa yang kau pikirkan, putriku?"

Sudewi tersenyum, menggeleng.

"Tenangkan dirimu, Nak. Kusumawardani sudah sehat. Waktunya kau mengurus dirimu sendiri agar tidak sakit." Ratu Tribuana Tunggadewi memberikan sepiring nasi. "Makanlah."

Sudewi tersenyum. Menerima piring pemberian ibu mertuanya. Memakannya dengan lahap, dengan nikmat. Sudah beberapa kali ia makan sekedar menelan. Mematikan indera perasa di mulutnya, karena khawatir yang terlalu aktif.

Dari kejauhan terlihat menteri istana mendekat. Tepat di depan Ratu Tribuana Tunggadewi dan Sudewi yang tengah duduk di pelataran candi, dia menangkupkan kedia tangannya, salam hormat. "Mohon ampun Gusti Ibu Ratu dan Permaisuri, hamba hanya ingin bertanya, apakah Permaisuri dan Gusti Ratu Ibu Ratu tahu, kapan kepulangan Gusti Prabu?"

Tanya itu berhasil membuat Sudewi mengigat Hayam Wuruk. Selama beberapa jam terakhir, ia sibuk dengan anaknya, lupa bahwa nanti sore suaminya akan pulang, sedangkan ini sudah siang. Dia harus segera menyiapkan makan malam untuk suaminya dan paman Mada yang akan berkunjung nanti.

Sudewi buru-buru menjelaskan kepada menteri itu sekaligus meminta tolong kepada Ratu Tribhuaneswari untuk mengawasi Kusumawardani. Dia akan menyiapkan makanan untuk suaminya dan Paman Gajah Mada.

Perempuan itu, yang dahulunya seorang Putri Wenger, kini menjadi permaisuri Majapahit. Tetapi itu tidak membuatnya sedikitpun merasa bahwa dirinya agung.

Sudewi tetaplah seorang istri, ibu dan anak seseorang, yang mana, melaksanakan segenap tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya. Sudewi jauh lebih banyak menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dari pada menikmati kemewahan sebagai seorang permaisuri yang diagungkan. Bagi Sudewi, menjalankan tugasnya sebagai ibu, istri dan anak dengan baik, mengurus keluarganya, melihat wajah-wajah bahagia mereka, itulah kemewahan sesungguhnya bagi Sudewi.

Seisi istana, begitu menghormati Sudewi, bukan sebab dia istri Hayan Wuruk atau anak Raja Wengker, tapi lebih kepada sikapnya, kepribadiannya. Dalam kesederhanaan yang ditampilkan Sudewi, itu menunjukkan betapa mahalnya dia.

Setiap laki-laki lajang, mengharapkan memiliki istri bertabiat seperti Permaisuri Majapahit. Setiap orang tua, mengharapkan anak gadisnya bisa meniru Sudewi. Setiap pasangan baru, berharap memiliki hubungan seharmonis hubungan Sudewi dengan Hayam Wuruk, menghapus keberadaan putri upeti yang memenuhi puri kaputren dalam rumah tangga mereka.

Sudewi adalah seorang wanita. Terkadang ia merasa kesal, cemburu, melihat puri yang sengaja Hayam Wuruk bangun untuk menempatkan putri-putri hadiah itu. Sekaligus merasa iba. Mereka dijadikan upeti oleh keluarganya sendiri, ditatap selayaknya barang. Dari pada kesal karena cemburu, perasaan Sudewi lebih besar kepada kesal terhadap orang tua mereka. Mereka mengaku sebuah penghormatan saat memberikan putrinya kepada orang asing, apa mereka tidak berpikir apa yang akan dialami, dirasakan oleh putrinya, bagian dari mereka.

Untunglah Hayam Wuruk bisa menghargai dan menghormati wanita. Itu yang Sudewi kagumi dalam diri Hayam Wuruk. Dunia mengenal Sudewi sebagai seorang permaisuri yang setia, tetapi sebenarnya Hayam Wuruk yang membuatnya bahagia dengan setia itu.

Di dapur puri utama, Sudewi memerintahkan beberapa abdi untuk membeli keperluan yang kurang. Ia akan menyajikan beberapa masakan, salah satunya jukut harsyan dengan pencuci mulut dawet. Akan ada beberapa sate-satean juga, kesukaan Hayan Wuruk. Tak ketinggalan aneka sayuran, umur Paman Gajah Mada yang mulai sepuh, membutuhkan banyak sayuran, tidak boleh banyak-banyak mengkonsumsi daging atau seafood. Tidak baik untuk kadar kolesterolnya.

Dengan cekatan Sudewi mencampur adonan untuk dawet, mengaduk dengan mantap, memasak dengan tepat. Sepanjang siang Sudewi habiskan di dapur, sebelum akhirnya menyuapi putrinya makan. Kusumawardani sangat lahap memakan dawet berkuah santan dengan campuran gula merah. Sudah tidak diragukan rasa masakan Sudewi, seluruh istana mengakui kelezatannya.

Matahari mulai lengser ke barat, belum senja. Di ruang tamu, Sudewi sudah duduk manis dengan memandang gapura di depan kediaman melalui balik jendela, tersenyum dengan sangat mempesona. Sudewi telah membersihkan diri, telah berhias, sudah juga makan siang. Sudewi telah menyelesaikan seluruh pekerjaan. Saatnya menanti kepulangan sang suami.

Dalam raut wajahnya, tidak ada sedikitpun guratan lelah yang nampak, bahkan tak ada yang mengira jika dua puluh empat jam sebelumnya perempuan itu tak tidur, tak istirahat atau bahkan tidak bisa minum dengan tenang.

Bersambung....

Sri Sudewi (Buku kedua Epoch Majapahit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang