3

213 15 1
                                    

Setiap pekan, segenap perangkat pemerintahan istana libur. Tak terkecuali sang Raja. Biasanya, setiap liburan akhir pekan, keluarga kecil Hayam Wuruk akan berkunjung ke Tumapel atau ke Wengker, sowan kepada orang tua.

Berhubung Minggu kemarin mereka telah berkunjung ke Wengker, saat ini mereka akan berkunjung ke Tumapel. Menemui kedua orang tua Hayam Wuruk, Bhre Tumapel Kertawardhana dan Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi.

Mereka berangkat setelah sarapan, membawa beberapa talam kudapan yang Sudewi buat sendiri untuk dijadikan buah tangan kepada mertuanya serta aneka buah dan beberapa pakaian.

Sudewi bisa saja menyuruh abadinya membuat kudapan-kudapan itu, tetapi hasilnya tak akan lebih baik jika dia membuatnya sendiri. Mertuanya sangat menyukai kudapan yang dibuat Sudewi. Itu khas.

Mereka berkunjung dengan menaiki kereta kuda. Tak lupa, si kecil Kusumawardani juga diajak. Keluarga kecil yang bahagia itu, di atas kereta kuda, melesat menuju Tumapel.

Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk sampai. Ketika matahari masih terlihat, mereka telah sampai. Keduanya disambut hangat. Sudewi dan Ratu Tribhuaneswari saling berpelukan, melepas rindu. Tak lupa kepada Kusumawardani yang menyita seluruh perhatian kakek-neneknya. Sepertinya mereka lebih menanti kehadiran sang cucu dibandingkan putranya.

Tak lama, Nertaja dan sang suami datang. Bersama Wikramawardhana, putranya yang telah berusia lima tahun. Selisih dua menit, Indudewi dan suaminya yang merupakan Bhre Matahun merapatkan kereta kudanya. Siang ini, genap sudah puri Tumapel penuh dengan seluruh anak, menantu dan cucu mereka.

Di taman istana, keluarga besar itu berkumpul. Duduk di atas kursi kayu jati utuh yang diketam dengan halus, dihiasi beberapa ukiran bunga sulur yang indah. Para laki-laki, masih membahas pekerjaan meskipun satu-dua kali mereka tertawa, bercanda. Ayah, ipar, dan mertua yang harmonis.

Tak kalah, para perempuannya juga berbicara satu-dua hal mengenai cara mereka mengurus rumah, membahas kenakalan anak, kerinduan, sambil melihat Wikramawardhana dan Kusumawardani yang bermain dengan kelinci. Sesekali, saat kelinci itu lari, Kusumawardani yang masih imut-imutnya, berlari mengejar. Sedangkan Wikramawardhana sudah cukup besar, menangkapnya. Kembali bermain bersama.

Wikramawardhana telah dikirim ke sebuah kadewaguruan khusus bangsawan di sebuah lereng gunung, untuk menyiapkan Wikramawardhana dalam mengemban tanggung jawab atas jabatan yang akan diberikan padanya kelak. Ibunya seorang penguasa Pajang, ayahnya seorang bhre Paguhan, tak menutup kemungkinan Wikramawardhana akan memimpin juga. Selain harus mampu bermain pedang, ilmu kanuragan juga katuranggan, di sana juga dididik ilmu pemerintahan negara.

Wikramawardhana tidak sendirian. Di sana, seperti sekolah pada umumnya ada banyak anak-anak bangsawan. Mereka akan digembleng hingga anak-anak itu mampu memimpin sebuah wilayah. Bukan hanya laki-laki, perempuan juga. Putri-putri bangsawan lainnya, yang telah cukup umur untuk masuk ke kadewaguruan, dikirimkan. Tak terkecuali Kusumawardani.

Anak menggemaskan itu, yang bahkan belum bisa bicara dengan jelas, satu tahun lagi akan dikirim ke tempat yang sama, dimana Wikramawardhana dikirimkan.

"Apa yang kau pikirkan, Adikku?" Sudewi menghampiri Indudewi yang duduk tepekur di sudut taman, mengamati Wikramawardhana dan Kusumawardani yang sedang asyik bermain.

Indudewi menoleh. Dalam air mukanya nampa kesedihan. Dengan segera ia tersenyum, tetapi luka itu masih terpahat jelas di kedua bola matanya.

"Tidak ada, Yunda.

Sudewi duduk di sisi adiknya. "Kau bahagia bukan?"

Sudewi menoleh. Tersenyum. Kali ini, senyumnya dari hati. "Tentu saja aku bahagia, Yunda."

"Lantas apa yang kau gundahkan?"

Indudewi ingin berucap, tapi urung. Dia memilih memenjarakan perasaan itu saja. Ini bukan sesuatu yang serius. Hanya Sang Kuasa saja yang belum mempercayainya menjadi seorang ibu.

Walaupun usia pernikahan Indudewi dan Sudewi hanya terpaut beberapa hari, ada sesuatu yang menjadikan selisih antara keduanya, anak. Sampai saat ini, Indudewi tak kunjung dikaruniai seorang anak, membuat hatinya nelangsa saat melihat keponakannya atau anak-anak kacil lain.

Sudewi merengkuh adiknya. Mencoba mengalirkan kekuatan kepada Indudewi. Ia tahu benar apa yang sedang dipikirkan adiknya ini, tetapi Sudewi tak memiliki jalan keluar apapun selain memintanya bersabar.

Bersambung...

Sri Sudewi (Buku kedua Epoch Majapahit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang