6. Masa Orientasi Hantu

14 3 0
                                    

Darla menyesali keputusannya untuk berteman dengan Felix.

Pasalnya, hantu itu tetap saja jahil.

Sudah seminggu ini Darla membiarkan Felix berada di dekatnya. Tidak terhitung berapa kali ia muncul secara tiba-tiba dan mengagetkan Darla.

"Boo!"

Darla hampir berteriak di perpustakaan. Untungnya ia segera menutup mulutnya menggunakan tangan. Kalau tidak, bisa saja ia diusir dari ruangan itu.

"Besok hari ke tujuh trial kamu jadi temen aku. Aku udah capek dikagetin terus. Kamu aku pecat jadi temen." Darla berjalan cepat keluar dari perpus sambil membawa buku yang dicarinya.

"Hehehe. Menurutku kamu aneh tau, La."

Darla mendelik kepada Felix yang terbang mengikutinya dari samping. "Maksudnya apa?"

"Masa udah seminggu aku kagetin tapi belum terbiasa. Kamu gak lolos masa orientasi hantu."

Gadis itu menghela nafas. Sudah cukup. "Liat aja, besok aku ke dukun. Biar kamu beneran ditangkep dan dimasukin ke botol. Terus dibuang ke kawah gunung."

Felix hanya cengengesan.

Perjanjian pertama mereka sebelum berteman adalah Felix tidak boleh menakut-nakuti Darla dalam bentuk apapun. Tapi ternyata, hantu itu melanggarnya. Ia benar-benar senang membuat Darla menderita.

Bukan hanya mengageti secara tiba-tiba. Tiga hari lalu, Darla diperkenalkan dengan Om Wowo, penunggu pohon mangga tetangganya oleh Felix. Katanya Om Wowo kurang suka kalau mobil Changbin parkir di depan pohon itu, menghalangi pemandangan. Makanya Felix memperkenalkan Darla dengan Om Wowo agar tidak salah paham.

Ada lagi, kemarin sore Tante Puti yang tinggal di pohon belakang rumahnya bilang ia rindu saat Darla berkebun di belakang. Katanya ia kesepian. Ia rindu menyerap energi negatif Darla saat menangis melampiaskan emosi sambil berkebun.

Darla benar-benar pusing. Ia merasa tidak ada tempat yang aman dari hantu. Terutama saat Felix berada di dekatnya.

Felix kelewat ramah dengan hantu lain. Tak jarang banyak yang tiba-tiba muncul saat mereka sedang berdua. Terutama di tempat sepi.

Sangat menyebalkan. Ia merasa begitu sial seminggu ini.

Darla mengetikkan pesan untuk Changbin. Mereka sudah berjanji untuk makan siang bersama di kantin siang ini. Gadis itu telah sampai terlebih dahulu.

"Kamu udah lama pacaran sama Changbin?" Tanya Felix yang duduk di hadapannya.

"Kepo."

Felix mengerucutkan bibirnya sebal. "Galak."

Changbin tiba sekitar lima menit kemudian. Saat lelaki itu mendekat ke meja Darla, Felix menghilang.

Satu perjanjian lainnya yang telah mereka sepakati adalah Felix tidak boleh muncul dan membawa teman-temannya saat Darla dan Changbin sedang berduaan.

Darla benar-benar tidak mau moodnya rusak diganggu hantu saat sedang pacaran.

"Lama ya?"

"Nggak kok." Darla menyodorkan buku menu kepada Changbin. "Kamu mau pesen apa?"

Mereka berdua menghabiskan waktu makan siang sekitar satu jam karena sembil mengobrol. Belakangan ini Changbin jadi semakin sibuk. Kalau tidak mencuri waktu seperti ini, mereka akan sangat susah bertemu.

Setelah selesai makan, mereka kembali berpisah untuk melanjutkan aktivitas. Darla memutuskan untuk pergi ke studio mengerjakan tugas.

Selama satu jam Ia begitu fokus memotong-motong mockup designnya di atas cutting mat. Suasana studio sepi pada saat itu, hanya ada dirinya dan dua anak lelaki yang nampaknya sudah bersiap untuk pulang.

"Boo!" Felix kembali muncul.

Cutter yang Darla genggam menggores jempolnya sendiri karena ia kehilangan kendali. Cukup panjang dan dalam hingga mendekati telapak tangan.

"Argh!!" Darla menjerit kesakitan.

Perih.

Felix mematung. Dua laki-laki teman sekelas Darla menghampirinya.

"Lo kenapa, La?" Mereka ikut panik.

"Tangan gue." Darah mengalir dari tangannya, cukup banyak hingga menetes ke atas mejanya.

Salah satu dari mereka memberikan sapu tangan untuk membalut lukanya. Satunya lagi bersikeras mengantar Darla ke klinik untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Felix masih diam memperhatikan ekspresi Darla yang tengah kesakitan.

Ia lupa bagaimana merasakan rasa sakit. Ia lupa bagaimana rasanya memiliki tubuh.

***

Kalau mandi kembang tujuh rupa benar-benar manjur untuk menghilangkan sial, Darla akan melakukannya saat ini juga di hadapan dokter yang sedang menjahit luka jempolnya.

Rasanya sakit sekali. Menangis rasanya tidak cukup. Ia ingin menyerah.

Oknum tak kasat mata yang tadi mengagetkannya itu kini menghilang. Benar-benar tidak bertanggungjawab.

Darla diantar oleh kedua temannya ke klinik tak jauh dari kampus. Beruntung dokternya sedang tidak ramai pasien sehingga ia tidak perlu menunggu.

Kini Darla sedang antri di apotek. Gadis itu menyerahkan resepnya kepada apoteker saat gilirannya tiba.

"Obat pereda nyeri ya? Sebentar ya."

Tak butuh waktu lama, ia sudah mendapatkan obatnya.

Darla sedang menunggu ojek online menjemputnya saat sebuah mobil hitam yang ia kenali berhenti tak jauh darinya.

Klinik itu bersebelahan dengan sebuah bakery shop. Pengemudi mobil itu keluar dan turun di sana.

Nafas Darla serasa terhenti. Itu mantannya, Chris.


***

Boo! - Felix LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang