28

158 41 0
                                    

Judul Forbidden Love
Genre Romance adult 21+

Novel Forbidden Love sudah tamat di Karyakarsa silakan mampir ke sana ya.

Isi Novel Forbidden Love berbeda dengan Cerpen Forbidden Love.

Pdf redy silakan wa ke ‪+62 895‑2600‑4971‬ atau wa +62 822-1377-8824

5.7.2024

"Barra!" Ruby mengetuk pintu kamar yang di tempat lelaki itu sembari memanggil namanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Barra!" Ruby mengetuk pintu kamar yang di tempat lelaki itu sembari memanggil namanya. Namun Ruby tidak mendapatkan sahutan. Keningnya mengerut sembari menatap arloji di pergelangan tangannya yang menunjukan pukul 8 malam.
Kalau tidak salah dengar ia mendengar deru mobil milik Barra berhenti di depan halaman—berarti lelaki itu sudah pulang.

Tatapan Ruby mengarah pada handle pintu, entah kenapa tangannya terulur memutar handle itu hingga perlahan terbuka. Ruby melangkah masuk memindai di dalam ruangan yang nampak sepi tanpa ada tanda keberadaan Barra.
Seharusnya Ruby menutup pintu itu kembali lalu pergi. Namun kakinya malah melangkah semakin masuk ke dalam ruangan dan sejenak terpaku saat menghirup aroma cemara yang hampir membuatnya terlena. Wangi cemara ini seperti bius melumpuhkan setiap saraf di aliran tubuhnya.

'Oh Tuhan!' Ruby mengembalikan kewarasannya, ia mendekati meja kerja Barra dan tatapannya terpusat pada barisan buku di rak yang tergantung di dinding kamar.
"Buku bisnis," gumam Ruby mendongakkan wajahnya—membaca judul di punggung buku.
Barra mempunyai buku tentang bisnis tapi kenapa malah mengajak Ruby setiap harinya membaca buku tentang bisnis ke perpustakaan. Bukankah lelaki itu bisa meminjamkan padanya.

Kaki Ruby berjinjit berupaya mengambil buku itu tapi sangat kesusahan karena tinggi rak yang melampaui tinggi tubuhnya.

"Apa yang kamu lakukan?" Suara berat dari lelaki tepat berdiri di belakangnya melebarkan pupil Ruby yang berhasil mengambil buku itu, saat ia berusaha memutar tubuhnya tapi sialnya Ruby kehilangan keseimbangan. Barra yang berniat membantu dengan merengkuh tubuh wanita itu malah ikut jatuh ke sofa dengan posisi Ruby di bawah tubuhnya yang kekar.

Deg, wajah Ruby memerah saat tatapan keduanya bertemu dan tak teralihkan dengan jarak yang begitu nyata. Bisa Ruby hirup aroma cemara yang semakin kental seketika menghentikan poros pikirannya.

Ruby bisa merasakan jemari Barra bergerak menyusuri tangannya yang berada di antara kepalanya. Sentuhan itu selembut sutra menggerayangi permukaan kulitnya hingga Ruby membeku saat Barra mengambil buku yang berada di genggaman tangannya.

"Bukankah tidak sopan mengambil barang di kamar orang lain tanpa izin," bisik Barra serak.

Ruby meneguk salivanya tanpa berkata-kata, bahkan ia merasakan jarak Barra semakin rapat di tubuhnya hingga membuatnya sesak.

"Barra..."

Manik legam lelaki itu semakin pekat seakan menenggelamkan tatapan Ruby. Jemari Barra bergerak mengusap permukaan bibir Ruby yang memejamkan matanya.

"Saatnya kita pergi ke perpustakaan," bisik Barra sembari menjauh dari tubuh Ruby.

Ruby membuka kelopak matanya, menetralkan degup jantung yang berdetak cepat. Tatapannya melirik pada Barra yang melangkah meletakan buku ke raknya kembali.

"Kamu mempunyai buku tentang bisnis," kata Ruby perlahan bangkit dari sofa.

Barra melirik ke samping tempat ke arah Ruby tanpa memutar tubuhnya.
"Kamu pasti ingin mempertanyakan kenapa aku tidak meminjamkan buku milikku padamu," kata Barra memasukan kedua tangannya ke saku celana.
"Ya... apa alasannya. Aku tahu itu hak kamu tapi bukankah kita tidak perlu mengunjungi perpustakaan setiap hari kalau aku bisa membaca buku bisnis di rumah."

"Kamu tidak menyukai ke perpustakaan, bukankah keinginanmu ingin pergi setiap hari ke sana?"

"Bukan... maksudku seperti itu. Aku hanya..." Ruby tertunduk memelas. "Tidak ingin merepotkanmu. Kamu sangat sibuk pasti lelah saat pulang bekerja seharusnya beristirahat bukan malah menemaniku."

"Aku sama sekali tidak keberatan, malah sebaliknya."
Deg, Ruby bergeming menatap punggung Barra yang berjalan ke meja kerja meraih kunci mobil.
"Aku tunggu di luar." Barra berlalu keluar dari kamar.
Ruby menghela napasnya, sepertinya lelaki itu marah karena Ruby memasuki kamar ini dan menyentuh barangnya tanpa permisi.

***
Selama di perjalanan menuju perpustakaan Barra hanya diam fokus menyetir mobilnya. Ruby merasa tidak nyaman dan sedari tadi tertunduk memainkan jemarinya di atas pangkuannya.
Hingga mobil berhenti di parkiran area gedung perpustakaan. Tanpa menyadari Barra telah lebih dulu keluar membukakan pintu untuk Ruby hingga wanita itu terkesiap.
"Sudah sampai."

Ruby keluar dari dalam mobil yang ditutup Barra kembali.

Lelaki itu berjalan lebih dulu di depan Ruby yang mengiringi. Namun beberapa langkah jalan Ruby menjadi lambat karena menahan sakit di kakinya. Ruby bertahan memperhatikan ke arah kakinya yang mengenakan sepatu heels, sepertinya kakinya lecet.

"Ada apa?" tanya Barra yang menghentikan langkah menatap Ruby yang tidak jauh jaraknya berdiri. Tatapan Barra mengarah ke kaki Ruby.
"Tidak ada apa-apa," jawab Ruby.
Barra menghampiri yang membuat Ruby terkesiap lelaki itu mengendong Ruby.

"Barra turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri."
"Dengan kaki yang lecet hanya semakin memperparah rasa sakitnya. Tenangnya aku hanya berusaha menolongmu," kata Barra melangkah menuju pintu gedung perpustakaan.
Ruby hanya merunduk di dalam pelukan Barra. Tentu ia malu menjadi bahan pandangan orang-orang di sekitar perpustakaan. Namun Ruby lega pengunjung malam ini hanya sedikit tidak biasa dari malam sebelumnya selalu penuh.
Barra mendudukan Ruby di salah satu kursi. Bahkan lelaki itu mengambilkan buku tentang bisnis yang belum selesai Ruby baca.
Barra kini duduk—kali ini di samping Ruby dengan buku sejarah di tangannya.

"Kamu juga suka sejarah?" tanya Ruby hingga Barra membalas tatapan wanita itu.
"Kadang-kadang, dan kamu?"
Ruby menggeleng dengan senyuman getir di sudut bibirnya.
"Kenapa?"
"Bukan aku tidak suka, hanya sejarah pasti menyembunyikan fakta kebenaran di baliknya."
"Tidak ada sejarah maka tidak ada cerita. Seperti aku dan kamu."

Deg, netra coklat itu nampak bersinar dan mengejap heran. Lalu tawa samar Ruby menghiasi di wajahnya.
"Ternyata Kakak ipar bisa bercanda."
"Aku serius."
Tawa Ruby berubah datar, ia tak mampu berucap lagi memilih menenggelamkan pikirannya dengan buku di hadapannya, meski nyatanya kini ia sulit berkonsentrasi karena Barra terus menatapnya.

"Apakah Kaynen sering menghubungimu?"
Pertanyaan Barra hanya dibalas anggukan Ruby.
"Kapan dia kembali?"
"Dia masih sibuk, entahlah."
"Kamu merindukannya?"
Deg, tangan Ruby tertahan saat berniat membuka lembaran buku halaman selanjutnya.
"Tentu," jawab Ruby singkat sekilas menatap pada Barra dan kembali pada buku bacaannya.

Barra beranjak hingga Ruby mencuri pandang ke arah Barra melangkah, lelaki itu meraih buku di rak dan kembali menyodorkannya ke atas meja pada Ruby.
'Forbidden Love.' Judul buku itu tertulis jelas hingga Ruby bergeming.
"Karya novel seorang penulis Amerika yang cukup terkenal," kata Barra duduk kembali di kursinya.
"Lalu?"
"Kamu tidak ingin membacanya?"

"Tidak, genre ini pasti menyesakan. Aku tidak suka. Aku lebih suka alur yang romantis dan berakhir bahagia."
"Berarti kamu tidak suka tantangan dalam hidupmu."
"Maksudmu?"
"Ya seperti kukatakan. Hingga hidupmu sejak kecil terlalu datar karena kamu tidak suka berontak, selalu berusaha memenuhi keinginan semua orang dan menyampingkan keinginanmu."

Ruby terdiam, ya... memang benar apa yang dikatakan Barra, ia selalu mengalah dan memendam apa yang diinginkannya hingga ia tak mengerti seperti apa bahagia itu. Terlalu datar dan hambar.

Tbc

Forbidden Love (Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang