Judul Forbidden Love
Genre Romance adult 21+Novel Forbidden Love sudah tamat di Karyakarsa silakan mampir ke sana ya.
Isi Novel Forbidden Love berbeda dengan Cerpen Forbidden Love.
Pdf redy silakan wa ke +62 895‑2600‑4971 atau wa +62 822-1377-8824
24.7.2024
Ruby membuka pintu balkon kamarnya, udara pagi ini cukup dingin menyapu kulitnya hingga ia sedikit menggigil, niatnya terurungkan tuk menikmati pemandangan alam berdiri di balkonnya. Ia memutuskan tuk masuk kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang, ia memperhatikan luka lecet di kakinya karena keseringan mengunakan sepatu heels bahkan Barra membantu Ruby mengobati lukanya saat mereka pulang dari perpustakaan. Wajah Ruby merona hanya perhatian kecil yang diberikan lelaki itu membuat Ruby mulai memahami seperti apa karakter seorang Barra Volker. Lelaki dingin yang sebenarnya romantis penuh kehangatan pada seorang wanita. Namun apakah sikap hangat itu memang ditujukan Barra pada semua wanita? Ruby mengerutkan keningnya ia tidak suka dengan tebakannya sendiri tapi kenapa hatinya harus marah bila memang benar Barra sangat hangat pada semua wanita.
'Iss... lupakanlah,' Ruby meringis dalam hatinya.
Tatapan Ruby mengarah pada jam dinding yang menunjukan pukul 8 pagi, Ruby pun memilih beranjak keluar kamar dari pada sedari tadi ia melamun hal tidak penting. Berkutat dengan alat masak membantu Bibi Rumi menyiapkan sarapan sepertinya menyenangkan meski sarapan disajikan hanya untuk Ruby, Bibi Rumi dan Paman Arwan. Karena Kaynen yang masih berada di luar kota dan Barra—dipastikan lelaki itu sudah berangkat sangat pagi sekali.Saat Ruby ingin menuruni tangga langkahnya tertahan menatap pada tangga penghubung ke lantai paling atas. Selama dua tahun tinggal di rumah ini Ruby sama sekali belum pernah mengunjungi lantai tersebut. Selain di sana memang tidak ada apa pun hanya ruangan yang dijadikan barang penyimpanan.
Namun kali ini kaki Ruby melangkah menuju tangga ke lantai tiga, ia menaikinya hingga langkah kakinya sampai ke lantai itu yang gelap tanpa penerangan karena tirai jendela yang dibiarkan tertutup menghalangi cahaya dari luar.
Ruby menyibak tirainya. Meski lantai paling atas ini hanya dijadikan gudang tapi kebersihannya selalu terjaga.
Ternyata tidak banyak barang tersimpan di ruangan ini, hanya perabotan lama dan beberapa mainan anak lelaki. Ruby meraih mobil-mobilan terbuat dari kayu. Pasti permainan ini milik Kaynen bersama Barra selagi kecil.
Tatapan Ruby berpindah ke tumpukan buku. Ia melangkah mendekati meraih sebuah buku yang ternyata kosong. Namun dari selipan buku itu menjatuhkan sebuah foto ke lantai. Ruby memungutnya—keningnya mengerut mengamati wajah lelaki yang tidak terlalu jelas memeluk seorang wanita. Namun wajah wanita ini cukup bisa dikenali— bukankah wanita ini Ibu Kaynen dan Barra. Namun siapa lelaki berfoto bersamanya? dari tinggi badan dan tubuh lelaki itu bukanlah Tuan Sean. Ruby pernah melihat foto beliau yang bertubuh jangkung dengan tinggi melebihi dari lelaki di foto ini.Ruby memperhatikan foto itu seksama dan tatapannya jatuh pada jemari lelaki itu yang mengenakan cincin. Mata Ruby menyipit—cincin ini seperti ia kenali. Mengingatkan cincin yang tersemat di jemari manis ayahnya Filbert.
Langkah sepatu yang menaiki tangga dan berdiri tidak jauh darinya mengalihkan perhatian Ruby. Tatapannya tenggelam pada pemilik netra legam itu.
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya serak hingga Ruby salah tingkah mengembalikan foto itu keselipan buku dan meletakannya ke tempat semula.
"Tidak ada, aku hanya terlalu jenuh," jawab Ruby mengulas senyum samar."Apakah kamu bermimpi buruk hingga pagimu menjenuhkan."
Deg, wajah Ruby datar. Ia memang setiap malam bermimpi buruk. Namun Ruby sudah menganggapnya biasa karena memang ia belum bisa berdamai pada rasa traumatik yang ia alami selagi kecil.
"Kenapa ruangan ini tidak pernah digunakan?" tanya Ruby membuka obrolan lebih santai.
"Kenapa kamu bertanya padaku bukan pada suamimu. Dia yang tinggal di rumah ini."
Ruby mengangguk samar, matanya memperhatikan langkah Barra yang mendekatinya dan berhenti di depannya menyisakan sedikit jarak.
"Apakah kamu terlalu segan dengan adikku Kaynen?" tanya Barra terdengar seperti sebuah bisikan.
"Apa? bukan seperti itu..." bantah Ruby tergugu mengantung kalimatnya saat Barra merunduk berbisik di telinganya.
"Gestur tubuhmu tidak bisa berbohong adik ipar." Tubuh Ruby meremang, suara Barra terasa menggelitik di
pendengarannya hingga membuatnya merinding.
Ruby mundur selangkah seraya merundukan kepalanya hingga Barra menyeringai—menegakan tubuhnya menatap Ruby lekat."Sebaiknya... aku siapkan sarapan dulu," kata Ruby tanpa menatap Barra lagi memilih berlalu cepat menuruni tangga.
***
"Kakak hiks kumohon jangan pergi!" Remaja lelaki itu berlari kencang berusaha mengejar mobil hitam yang melaju keluar dari gerbang rumah di mana saudaranya berada di dalam mobil itu.Remaja lelaki itu terjerembab ke jalanan hingga kedua lututnya terluka, tangisannya semakin kencang menatap mobil hitam itu semakin jauh dari pandangannya.
"Kakak!"Netra coklat pekat itu melebar saat terbangun dari kenangan yang singgah di dalam mimpinya. Kaynen Malik Volker bangkit dari pembaringan mengusap wajahnya yang berkeringatan serta menetralkan napasnya yang terasa sesak.
Kaynen menyibak selimut memperlihatkan otot tubuhnya yang sempurna hanya berbalut celana hitam panjang, ia melangkah ke jendela menatap pada ombak pantai yang bergulung menepi ke persisir.Hampir sepekan Kaynen menetapkan di kota ini untuk menyelesaikan pekerjaannya yang hampir rampung. Namun sepertinya ia akan bertahan sedikit lebih lama sebelum memutuskan pulang.
Kaynen menoleh pada ponselnya di atas meja. Ia melangkah meraih benda pipih itu. Memeriksa panggilan tak terjawab serta pesan yang masuk. Tak ada satu pun dari 'dia,' Kaynen menghela napasnya, ia menyentuh dadanya yang berdenyut sakit saat ingatannya merekam mimpi kenangan di masa lalu.
Mengambil napasnya seraya memejamkan matanya setidaknya perasaannya sedikit lebih baik, hingga ia menekan nomor dari layar komunikasi itu menghubungkannya pada telepon rumahnya.
"Hallo."Tubuh Kaynen membeku, suara lembut menyapa di balik telepon sangat Kaynen kenali.
"Hallo sayang."
"Kaynen, kenapa tidak menelpon ke ponselku?"
"Aku ingin menelepon Bibi Rumi hanya mempertanyakan keadaan rumah."
"Bibi Rumi sedang pergi ke pasar. Semua baik-baik saja."
"Syukurlah.""Kamu...." Kalimat Ruby menggantung hingga Kaynen mengerutkan keningnya menunggu wanita itu bicara kembali. Namun Ruby masih terdiam hingga Kaynen mempertanyakannya.
"Ada apa Ruby?"
"Kapan... kamu pulang?" Akhirnya pertanyaan itulah yang dinantikan Kaynen hingga senyumnya nampak di sudut bibirnya.
"Secepatnya.""Apakah pekerjaanmu belum selesai?"
"Sedikit.""Baiklah. Jaga dirimu."
"Kamu juga, aku mencintaimu."
"Ya Kaynen."Telepon berakhir Kaynen menjauhkan ponselnya tenggelam pada kalimat terakhir Ruby ucapkan tanpa membalas kata cinta darinya. Tatapan Kaynen mengarah pada cincin yang tersemat di jemari manis kanannya simbol pengikat dirinya dalam pernikahan bersama Ruby.
"Aku tahu kamu pun mencintaiku dan menjaga pernikahan ini," gumam Kaynen. Bagaimana pun keadaannya ia harus percaya pada takdir kebaikan, dan ia akan mempertahankan apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak bisa dipisahkan selamanya. Meski.... kelak akhirnya tidak sesuai dengan harapan.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Love (Novel)
RomanceRomance~ berbeda dengan Cerpen Hati Ruby terombang ambing dalam mahligai pernikahannya bersama Kaynen Malik usai kehadiran Kakak iparnya Barra Volker yang tinggal di rumahnya. Barra Volker- lelaki itu menyimpan sejuta pesona yang perlahan meluluh la...