“Kamu g i l a?!” Suara pria dengan balutan tuksedo putih menggelegar seolah mengentak dinding rumah.
Sama halnya denganku yang tersentak gemetar.
“Ya, kamu memang g i l a!” tudingnya lagi.
Meski pening luar biasa, aku tetap mendongak menantang mata elangnya.
“Perempuan waras mana yang memfitnah seorang pria di tengah acara ijab kabulnya dengan mengaku telah dihamili! Kamu benar-benar s*nting, Abil!”
Kali ini teriakannya disertai menjambak rambutnya kasar.
Ya, aku memang telah g i l a. Warasku habis hanya untuk memikirkannya. Hingga nekat menjebak pria yang seharusnya telah menjadi milik wanita lain beberapa menit yang lalu.
Itu semua bisa terjadi, andai aku tidak datang dan mengacaukan. Namun, aku tidak menyesalinya.
Aku memang s i n t i n g kan? Ya, salahkan saja pria di hadapanku.
“Abil sayang sama, Bang Alvi! Abil gak rela, Abang nikah dengan perempuan lain!” balasku tak kalah sengit.
Ujung-ujung jari terasa begitu dingin ketika kugenggam erat. Berusaha kusembunyikan tubuh yang menggigil di balik tatapan tajamku yang menantang.
“Astaghfirullah, Nabila!” teriaknya usai menjambak rambut. Begitu frustasi.
Napas pria berambut cepak itu tampak memburu. Dari rahang yang mengeras hingga alis tebalnya yang menukik tajam, sudah terbaca jelas bagaimana murkanya Bang Alvi.
“Kamu itu perempuan, Nabila! Jadi jangan bersikap murah*n!” Meski diucapkan tidak dengan suara meninggi lagi, tapi tekanan pada setiap kata menyentakku begitu hebat.
Ah, ya, mur*h*n. Sontak saja senyum miring tersungging di bibir tipisku begitu aku menunduk sejenak. Sebelum akhirnya kembali menatapnya tenang.
“Aku bahkan kasihan pada, abi Yusuf dan almarhuma ummi Nindi. Anak gadis satu-satunya, yang dididik dengan ajaran agama, malah gak punya etika! Bahkan terang-terangan mencoreng arang di wajah keluarga!” desisnya lagi tanpa memberiku kesempatan menyanggah.
Aku hendak melangkah maju, tapi Bang Alvi lebih dulu mundur memberi tembok.
Kuhela napas pelan demi menerima semua amarahnya. Baiklah, di sini akulah pemeran antagonisnya. Tidak masalah. Biarkan dia meluapkan seluruh bara di hatinya yang tak sengaja kusirami bensin.
“Salah apa Ghia sama kamu, Nadia? Sampai tega kamu hancurkan pernikahan kami! Kamu juga perempuan, alih-alih berpikir layaknya perempuan yang punya hati nurani, kenapa kamu malah berpikir layaknya b i n a t * n g?”
Wah, sungguh luar biasa ucapan pelan penuh desisan tajam milik Bang Alvi.
Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu kalau pria yang kudamba selama empat tahun punya mulut setajam gergaji.
“Sudah?” ucapku setelah ke sekian detik bungkam oleh amukannya.
Pria yang masih memakai setelan toksedo putih dan T-shirt putih menaikkan sebelah alis. Mata elangnya masih memercikan api yang siap melahapku hingga tak bersisa.
Meski kaki sedikit gemetar dan tangan dingin luar biasa serta lembap, tapi tatapanku tak gentar ikut menantangnya.
“Dengar, Bang, meski kamu mencaciku hingga ke liang lahat pun, keputusanku untuk mencintaimu gak akan berubah!” tekanku dengan malu tidak lagi tersisa.
Keputusan yang kuyakini tidak akan kusesali. Meski kini terlihat sisi kejam pria itu yang bahkan sanggup merendahkanku. Keputusan sudah kuambil. Ini semua, karena aku tahu siapa Bang Alvi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Sempurna
Random"Kamu gila?!" Suara pria dengan balutan tuksedo putih menggelegar seolah mengentak dinding rumah. "Ya, kamu memang gila!" tudingnya lagi. "Perempuan waras mana yang memfitnah seorang pria di tengah acara ijab kabulnya dengan mengaku telah dihamili...