“Kalian harus menikah!”
Ucapan tegas Om Abi seperti oase di padang pasir bagiku.
“Alvi gak sudi, Yah!”
Ya, kecuali bagi Bang Alvi yang mungkin merasakan keadaan ini seperti jurang menuju neraka baginya.
“Kamu mau jadi laki-laki pengecut, Vi?!” sergah Om Abi lagi.
“Tapi aku gak ngelakuin itu, Yah! Aku dijebak sama dia!” Bang Alvi tetap pada pendiriannya.
Jantungku sudah ketar-ketir mendengar perdebatan mereka. Terlebih, Bang Alvi terang-terangan balik memojokkan.
Genggaman tangan Bunda kian mengerat. Kulirik wanita yang menyipitkan mata, tanda tersenyum.
Bunda, maaf bila suatu saat Bunda akan makin kecewa dari hari ini. Namun, sekali lagi, Abil ingin katakan kalau Abil tidak menyesali keputusan ini.
“Bang Alvi, masih gak mau ngaku juga?! Kok, Bang Alvi jadi laki-laki gak bertanggung jawab begini, sih, Bang? Sebagai adik, Alwi kecewa sama, Abang!” Kak Alwi yang sejak tadi diam di sebelah kakak perempuannya yang ikut menangis, kini angkat suara.
Pemuda berjubah putih yang merupakan kembaran Bang Alvi tampak mendengkus tetang-terangan. Tanda dia pun sama kecewa dan marahnya pada Bang Alvi, tapi sejak tadi memilih diam.
Aku kian tak sanggup menatap mereka. Terlalu banyak pembelaan yang kudapat. Namun, tak satu pun membuat hati lega. Meski tetap bahagia dirasa karena penantian akhirnya akan sampai pada garis finish.
“Astaga! Kalian ini kenapa?! Kenapa gak ada satu pun yang mau dengarin aku ngomong?!” Erangan frustasi disertai benda jatuh membuatku tersentak dan menggigil.
“Alvi!”
“Apa, Yah?!” teriak Bang Alvi begitu Om Abi menegur.
Pria dengan pecahan vas bunga di bawah kaki beralas pantofel itu, menghela napas kasar. Sebelum tangan besarnya meraih lenganku kasar.
Aku yang tidak siap, terseret berdiri. Dengan jantung nyaris berhenti berdetak, kutatap wajah merah padam Bang Alvi.
“Kalo kalian gak percaya dan gadis si*l*n ini gak mau bicara jujur juga, ayo kita ke Rumah Sakit sekarang! Kita buktikan, apa dia beneran hamil atau hanya mau nipu kita aja!” Seringai mengerikan di wajah tampannya membuatku gemetar dan berkeringat dingin.
Meski apa yang kuperbuat salah, tapi diam-diam hati melirih pada Sang Maha Tahu untuk menolongku dan meredupkan kebenaran untuk saat ini.
“Nak Alvi, sudah cukup!” Tiba-tiba Abbi yang sejak tadi bungkam, angkat suara.
Sontak kami melirik Abbi. Aku pun menatap memelas wajah tenang Abbi yang tak terbaca.
“Tidak perlu diperpanjang masalah ini. Tolong lepaskan tangan putri saya, karena saya tidak sudi tangan putri saya dijamah oleh laki-laki yang bukan mahromnya! Dia kesakitan, Nak Alvi.”
Hatiku bergemuruh mendengar ucapan Abbi. Bi ... ini putrimu yang telah mengaku telah dijamah oleh pria yang sedang mencengkeram tanganku. Ini, Bi, putrimu yang mempermalukanmu dengan kesaksian palsu. Tapi kenapa, mendapat pembelaanmu malah membuat hati Abil pedih, Bi?
Kutekan kegetiran yang menyelimuti dada. Namun, semua sandiwara ini harus tetap dilanjutkan.
Ya, harus!
“Nabila, sini, Sayang.” Abbi dengan tangan terbuka merentang begitu tanganku terlepas dari Bang Alvi.
Tanpa menunggu diintrupsi lagi, aku berlari menjatuhkan diri dalam pelukan Abbi yang hangat. Mencoba mencari perlindungan dari lelaki hebatku yang sudah kupermalukan sedemikian rupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Sempurna
Random"Kamu gila?!" Suara pria dengan balutan tuksedo putih menggelegar seolah mengentak dinding rumah. "Ya, kamu memang gila!" tudingnya lagi. "Perempuan waras mana yang memfitnah seorang pria di tengah acara ijab kabulnya dengan mengaku telah dihamili...