“Yakin gak mau berangkat bareng suamimu?”
Sekali lagi, pertanyaan itu terlontar. Dan sekali lagi, aku menghela napas panjang. Kali ini disertai melirik pria di samping, yang duduk di depan kemudi.
“Untuk sementara waktu, Abil mau sosial distancing dulu sama, Bang Alvi.”
Pria dengan wajah duplikat Bang Alvi tertawa lepas. Saking lepasnya, Tukang Kebun dan Satpam rumah sampai melongok dari balik kaca mobil yang setengah terbuka.
“Hust, Kak! Ketawanya kenceng banget, dimasukin laler nanti!”
Kak Alwi menoleh, kali ini tawanya berganti kekehan. “Emang kamu si paling ajaib ya, Bil. Emang udah paling bener, Bang Alvi nikah sama kamu.”
Oh, dibilang begitu sama adik ipar yang faktanya lebih tua dari aku, sontak menuai senyum bangga di bibir berpoles lipstik pink ini.
“Oh, ya, jelas dong! Sayangnya, Bang Alvi gak ada rasa bersyukurnya dapetin Abil, tuh!” cebikku lagi sambil melirik kaca spion yang memperlihatkan suami yang tengah berdiri di teras rumah.
Bapak Suami—yang semalam mirip kucing garong—udah ganteng dengan setelan jas abu-abu. Meski dipadukan dengan tatapan tajam ke arah mobil Kak Alwi yang sedang dipanaskan di depan teras rumah, tapi aura suamiku tuh, tidak main-main.
Kalau kata anak zaman sekarang, sih, berdamage.
Hahaha.
“Udah, jangan diliatin. Matanya Bang Alvi, udah kayak mau loncat itu melototin kamu,” tegur Kak Alwi disertai kekehan.
Memang sih, suami tercinta yang sayangnya gak cinta balik itu, kalau emosi matanya suka dipelototin. Aku saja sampai merinding. Tapi gimana ya, mata tajam melotot disandingin sama wajah tampan mirip-mirip Oppa-Oppa Korea antara mau menggigil takut sama klepek-klepek tuh, jadi satu banding satu.
“Udah, ah, jalan, Kak. Nanti aku telat ngampusnya,” kataku usai melirik arloji di lengan kiri.
Lagi pun, ketika melirik kaca spion, Bang Alvi sudah tak ada lagi di sana. Mungkin sudah masuk mobilnya menuju kantor.
“Beres, Tuan Putri!”
***
“Bil, ini tugas majalah kita mau wawancara siapa?”
Kutatap Tari yang sedang menyeruput cup es teh. Gadis dengan rambut dikuncir itu tampak menghela napas begitu selesai men-scroll handphone.
“Ini kok, susah banget, ya temanya? Aku mana punya teman pebisnis yang cukup layak buat dijadiin model majalah abal-abal ini.”
Gerutuannya kubalas tawa. Sudah pasti gadis berwajah tirus itu stres. Baru tadi Dosen memberi tugas membuat majalah menggunakan kertas karton hitam. Temanya pun beragam dan kami diminta untuk memilih tema yang sudah ada di list papan tulis.
“Ganti tema aja, ya?”
“Ya, oke-oke aja asal kamu berani ngomong ke Pak Haidar,” balasku sambil menyomot kentang goreng.
Gadis itu menggeram, lalu menelusupkan kepala ke meja kantin.
Aku hanya menggeleng pelan. Masih pagi, sudah stres saja. Dasar, Mahasiswa! Aku juga loh, stres, tapi dibawa santai aja.
Lagian aku punya Kak Qina, Ayah mertua, dan tentunya Suami tercinta untuk dimasukkan menjadi model majalah ala-ala ini. Haha.
Sesaat aku berdeham, lalu berucap, “Udah, gak usah pusing! Aku punya kenalan yang bisa banget buat dimintai tolong.”
Senyumku mengembang manis begitu Tari mengangkat kepalanya.
Mata gadis itu udah mirip anak kucing yang lagi minta makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Sempurna
Random"Kamu gila?!" Suara pria dengan balutan tuksedo putih menggelegar seolah mengentak dinding rumah. "Ya, kamu memang gila!" tudingnya lagi. "Perempuan waras mana yang memfitnah seorang pria di tengah acara ijab kabulnya dengan mengaku telah dihamili...