3. Kucing Garong

21 2 2
                                    

~ Sebenarnya, Abil itu sederhana loh, Bang. Sesederhana Abang buka hati aja buat Abil, gak perlu langsung cinta, Abil udah ikhlas banget.~

Nabila Khaira Zahra

***

“Saya terima nikah dan kawinnya, Cut Ghia Ayunda—”

“Pernikahan ini gak boleh dilanjutkan!” teriakku memotong ucapan kabul yang kuharap tidak sampai mengundang murka-Nya.

Bisik-bisik tamu undangan mulai terdengar.

Sekuat mungkin kutahan genangan air di pelupuk. Menelan kembali rasa malu.

“Abil!” Abbi yang duduk di dekat meja Penghulu, bangkit dan membawaku sedikit menjauh.

“Apa yang kamu lakukan, Bil?” bisik Abbi dengan gigi sedikit gemeletuk. Pertanda pria yang menatapku nanar itu tengah menahan amarah.

Tanganku terkepal menatap mata Abbi. Hingga akhirnya aku kalah, menunduk dalam.

“Pernikahannya gak boleh dilanjut, Bi," kataku seperti berbisik. Namun, aku yakin Abbi dapat mendengarnya dengan jelas.

Begitupun beberapa orang yang masih duduk di dekat meja Penghulu.

“Abil ....” Suara lembut yang mendekat membuatku melirik sejenak sebelum kembali menunduk.

“Sudah, Suf. Biar aku yang urus.” Bunda Aisha meraih bahu kananku, hendak membawaku menjauh dari keramaian.

Sebelum kaki kami beranjak, aku sudah lebih dulu mengungkapkan sebuah kalimat dengan suara bergetar dan lirih.

“Abil hamil, Bun. Bang Alvi, gak boleh nikahin, Kak Ghia.”

Tangan yang memegang bahuku terasa sedikit meremas. Dapat terlihat mata Bunda Aisha yang membulat kaget.

“Apa?!”

“Jangan ngaco kamu, Bil!”

“Astaghfirullahal'azim!”

Mataku terpejam erat mendengar berbagai sahutan dari segala penjuru.

“Alvi, kamu?!”

“Gi, itu gak benar! Kamu percaya sama saya!”

“Brengs*k kamu Alvi!”

Kepergian Kak Ghia yang diikuti teriakan kedua orang tuanya kutatap nanar. Hingga netra ini bertemu dengan mata elang milik Bang Alvi.

Pria dengan peci putih bermotif tidak mengejar calon pengantinnya, tapi sibuk menatapku tajam.

Sebelum ada yang bereaksi lagi, Bang Alvi lebih dulu menarik pergelangan tangan hingga membuatku terseok-seok mengejar langkah kaki panjang itu.

Ruang kerja Om Abi menjadi pilihan karena hanya ruangan itu yang kedap suara dan berada di lantai satu.

Aku yakin, di luar sana semua orang tengah riuh dengan perbuatan memalukan tadi. Meski kemungkinan pengakuan dengan suara lirihku tidak dapat didengar oleh para tamu undangan, tapi kepergian Kak Ghia bersama keluarga sudah cukup menjelaskan bahwa pernikahan tidak bisa dilanjutkan.

“Kamu g i l *?!”

Suara menggelegar yang memekakan itu terasa berdenging di telinga, menyalurkan rasa pening sekaligus sakit di kepala. Susah payah kubuka mata yang entah sejak kapan terpejam.

“Dia sudah g i l *, Bun! Pantas kalau, tante Riska sampai kalap begitu.”

Pandanganku masih mengabsen ruangan yang rupanya kamar begitu suara Bang Alvi menyahut.

Pria yang duduk di sofa depan jendela, balas menatap saat aku meliriknya. Netra legam itu terlalu kentara memancarkan kebencian.

“Sudah, Bang! Jangan dikasari lagi! Nabila, siuman ini.” Bunda yang duduk di sisi ranjang membantuku duduk bersandar di kepala ranjang.

Cinta yang SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang