Chapter 3 | Ilya Fatmah

6 1 0
                                    


Hari ini, keindahan senja kembali terlihat menghiasi cakrawala setelah beberapa hari ini hanya mendung yang terlukis.

Asma yang tengah duduk lesehan dengan berkas penilaiannya, sedang mengobrak abrik lemari buku mencari catatan keseharian anak-anak didiknya. Namun tanpa sengaja, Asma malah menemukan buku bersampul hijau yang dipenuhi stiker panda dan kucing kesayangannya.

Asma mulai membuka setiap lembarannya, ia menilik setiap ukiran wajah yang tercetak dalam lembaran berwarna itu dan mengelusnya satu demi satu. gambar-gambar yang penuh kenangan itu mengingatkan ia pada keindahan saat sekolah dulu.

Asma mengambil satu gambar, dimana terlihat dua orang yang sedang berfoto bersama, yang satu terlihat malu-malu dan yang satu terlihat mengganggu temannya.

Asma ingat, foto ini diambil ketika bersama salah satu temannya yang malu-malu. ya, namanya Ilya Fatmah, seorang gadis rupawan penghafal al-qur'an yang menjadi penyejuk untuk setiap teman-temannya. sosok yang cerdas yang bermimpi menjadi seorang guru bahasa arab, dan  sang pemilik mimpi yang ingin mengejar pendidikan di negeri piramida.

Ilya, gadis baik hati yang memiliki jiwa kepemimpinan itu adalah seorang anak piatu yang tinggal bersama neneknya. Ayahnya merantau ke luar kota untuk menghidupinya, besar dalam asuhan sang nenek dan bibi tidak membuatnya merasa iri dengan anak yang lain.

Ilya, salah satu teman terfavorit Asma yang sangat suka diajak berdiskusi baik hal ringan ataupun hal berat. Asma juga menyukainya, karena Ilya adalah teman terwaros yang ia punya. Selain baik agamanya, Ilya juga sangat baik dalam pendidikan. she was the best friend her ever had.


"Asma!" Panggil Ilya, saat melihat Asma keluar dari perpus.

"Apa?" Tanya Asma. "Naon (Apa)? Bade naon (Mau apa)? Gak ada yah aku ikutan kumpul!" Gerutu Asma.

Sebelum istirahat pertama tadi, Ilya bilang setelah pulang sekolah nanti akan rapat rohis untuk membahas diklat anggota baru dan pemilihan pengurus rohis yang baru. Asma yang punya rencana nonton bersama saudara-saudaranya tentu saja ingin menolak. Meskipun bukan sore hari, tapi masih ada banyak hal yang harus dikerjakan sebelum melepas penatnya setelah di sekolah seharian.

"Ihh, kamu teh! Harus! Gak ada penolakan!" Perintah Ilya, tanpa mau dibantah.

Ilya yang melihat Asma ingin menolak kembali bersuara.

"Ta,,"

"Ada kue" seru Ilya, sambil menaik turunkan alisnya.

"Ada basreng sama peutiseun juga!" Lanjutnya lagi, ketika melihat Asma yang mulai tertarik.

Asma yang menelan ludah, sedikit berfikir keras.

"Beneran? Bohong dosa loh" tanya dan ujarnya, sedikit tak percaya karena takut itu hanya rayuan semata untuk menarik perhatiannya.

"Ya Allah, Asma! Beneran, tadi aku sendiri yang beli buat anak-anak disuruh sama pak Haris" jawab Ilya meyakinkan sahabatnya yang satu itu.

Asma yang bertingkah seolah berfikir keraspun akhirnya mengangguk.

"oke deh, tapi jangan lama ya kumpulnya" putus Asma sambil tersenyum dengan sedikit tengil.

"In Sya Allah, kita lihat situasinya dulu" jawab Ilya, tak habis fikir dengan Asma.

"Kalau sedikit lama, aku pulang duluan, oke?" Asma mencoba membuat kesepakatan, dengan menaik turunkan alisnya.

"Astaghfirullahaladziim, oke deh" pasrah Ilya, yang mulai lelah dengan tingkah temannya itu.


Dan benar saja, selama pembahasan rapat itu Asma hanya sibuk dengan makanan di depannya. Ilya dan salah satu guru pembina hanya menggelengkan kepala mereka sambil terkekh saat melihatnya.

Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Asma dan Ilya sudah berteman semenjak mereka duduk dibangku SD.

Bagi Asma, Ilya seperti udara sejuk dipagi hari. Terasa tenang dan nyaman saat bersama dengannya.

Bagi Ilya, Asma seperti bianglala. Terkadang orang takut mendekatinya, tetapi ketika sudah mulai dekat dan nyaman, ia bisa memberi keindahan warna dalam kisah hidup yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

Begitulah mereka.



***

TBC

Sebuah Kisah dari Lima SekawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang