Chapter 7 | Lana| Tanya

8 2 0
                                    


Lana yang tengah sibuk dengan soal fisikanya terus direcoki oleh sahabatnya, Asma. Asma terus mengganggu Lana yang masih betah diam di sekolah, padahal jam pulang sudah berlalu sejak setengah jam yang lalu.

Asma terus merengek karena takut tertinggal bus, dia tidak mau menunggu karena itu membuatnya kesal. Belum lagi kakak kelas yang selalu merecoki temannya ini, membuatnya semakin larut dalam kekesalan.

"Na, ayo pulang! betah banget kamu di sekolah!" Gerutu Asma, sambil membereskan buku-buku temannya.

"Ihh, iya iya! Ini pulang! Gak sabaran banget kamu!" Sembur Lana yang kesal diganggu terus.

"Bukan gitu! Ini udah setengah jam loh kita pulang, nanti mamah sama bapak nanya 'kenapa baru pulang?' gimana? Emangnya kamu mau gantiin aku buat dimarahin? Enggak, kan?" Sembur Asma, tak kalah galak.

"Iya iya, maaf!" Timpal Lana, tampak tak ikhlas karena terus kena marah.

Tidak, bukan itu masalahnya. Asma tidak mau bertemu dengan mereka, Asma tidak mau bertemu dengan kakak-kakak kelas yang membuatnya tak nyaman. Terlebih, Asma tidak mau bertemu dengannya.

Asma tidak mau mengatakan yang sebenarnya karena enggan, tapi, tanpa Asma katakan pun Lana tahu apa yang mengganggu temannya itu.

Lana menatap Asma dengan dalam, ada lara yang tergambar dalam manik matanya.

"Sesuka itu kamu, As?" Gumam Lana, tanpa terdengar temannya.

"Hah? Tadi kamu ngomong apa?" Tanya Asma, yang samar-samar mendengar Lana berbicara.

"Enggak.." jawab Lana, yang mengikuti temannya dari belakang.

Sejujurnya, Lana tak nyaman dengan kemampuannya. Menjadi berbeda, tidak selamanya mendapat respon yang baik dalam masyarakat. orang-orang yang mendekatinyapun, tertarik padanya karena mereka tahu tentang kemampuan Lana, yang dapat membaca orang. Termasuk beberapa kakak kelasnya, tidak sedikit dari mereka yang bertanya pada lana tentang hubungan bahkan tentang orang yang mereka suka.

Lana tidak masalah dan dia tidak merasa keberatan akan hal itu. Tapi untuk menggunakan kemampuannya terus menerus, itu tidak terlalu baik karena terlalu banyak menguras energinya, yang berdampak pada kesehatannya. Dan hal itu, hanya Asma yang tahu.

"Kadang aku juga males, As, kalau ditanya-tanyain kayak gini terus! Emangnya aku apa? Aku juga, kan manusia biasa. Gak semuanya aku tahu!" Seru Lana, memulai sesi curhat.

"Terus kenapa gak kamu tolak aja permintaan mereka?" Tanya Asma.

"Gak enaklah, As! Merekakan kakak kelas, bisa-bisa kena buli aku!" Jawab Lana, dengan tawanya.

Asma hanya ikut tertawa, tak mampu menjawab atau hanya sekedar menimpali sahabatnya. Lana punya keputusan dan pemikirannya sendiri, meskipun Asma melarangnya untuk tidak menjawab semua pertanyaan kakak kelas mereka, rasanya itu mustahil untuk Lana lakukan. Seperti saat ini, mereka kembali dihadang dan diserbu dengan berbagai macam pertanyaan.

Dan lihatlah Lana, ia dengan setianya memasang rona wajah yang tak pernah luntur dengan senyum itu. Lana terus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang memborbardirnya. Berbeda dengan Asma yang sudah kesal sejak tadi. Dilain sisi karena jam pulang sudah berlalu lama, Asma juga harus berhadapan dengan kakak kelas yang sangat tidak ingin ia temui.

Dan parahnya, Asma harus berhadapan dengannya.

Bukankah tadi Lana melihat ada lara dalam manik mata Asma? Dan sekarang, biarkan Lana kembali memastikannya lagi, dari manakah luka itu bermula?

Lana benar-benar tak paham, kenapa harus sedalam itu? Kenapa harus menanggung luka itu sendiri? Ada banyak tanya dalam benaknya, namun siapa yang bisa menjawab itu semua? Lana tidak ingin memulai pembicaraan soal perasaan Asma lebih dulu, sampai Asma mulai menceritakannya sendiri.

Karena Lana tahu, Asma bukanlah orang yang mudah terbuka dengan perasaannya.

Biarlah waktu yang menjawab semua pertanyaannya nanti.



***

TBC

Sebuah Kisah dari Lima SekawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang