Aku merebahkan diri di tempat tidur dengan rasa kantuk yang menyerang, tapi berusaha ku tahan demi menyaksikan wajah lelap istri ku yang begitu polos dan lugu.Ku tundukan kepala melihat wajah cantik itu, ku dapati guratan lelah disana. Memantik rasa iba dan kasihan dalam diri, sebab Asmara-ku pasti lelah mengurus diriku yang penyakitan ini.
Di tambah dia harus berkorban meninggalkan pekerjaan nya di Tevaga demi merawat ku dan memastikan aku berobat dengan baik disini.
Kasihan Asmara-ku, dia turut menderita dalam kesengsaraan yang aku terima.
Maafkan aku Asmara, tak seharusnya aku menyeret mu dalam hidup ku yang penuh duka ini, tapi sayang... aku sangat menginginkan bahagia yang tak pernah ku rasa, dan bahagiaku itu hanyalah bersama mu semata.
Tak ada keinginan lain di ambang batas kehidupan yang aku punya, selain kebersamaan kita dalam menyemai cinta dan membina rumah tangga. Walaupun tak bertahan lama, setidaknya kita pernah bahagia, sayang.
Maaf aku terlalu egois memaksa cinta ini untuk bersemi, namun aku tau bahagia itu tak hanya miliku sendiri. Kamu juga sangat mencintai ku kan, Asmara? seperti katamu kemarin.
"Aku tidak menyesal sama sekali telah menjatuhkan hatiku padamu, Zam... Aku bahagia dicintai dan mencintai dirimu, kehadiran mu adalah satu dari sekian banyaknya hal, yang aku syukuri dari pemberian Tuhan. Kau adalah kebahagiaan, keagungan dan pujaan seumur hidup ku."
"Kamu tak perlu meminta maaf, Azam. Sebab hadir mu adalah anugerah bagiku, memiliki mu adalah kemuliaan bagi ku."
Begitu tulus dan mulia hati mu, sayang. Bagaimana aku tidak jatuh cinta? Kasih mu yang seluas samudera, menghanyutkan ku dalam bahtera cinta yang tak berbatas dan tak akan kandas di tepis masa.
"Asmara-ku..." ku gumam kan nama kasih ku dengan ku cinta sambil membelai lembut rambutnya.
Sedetik kemudian aku lihat kening Asmara berkerut dalam. Alisnya bertaut tajam, namun mata itu masih terpejam. Perlahan bibir ranum Asmara bergerak, bergumam tak karuan.
Aku tajam kan pendengaran dan aku turunkan tubuh ku sedikit, demi meniti apa yang menganggu tidur istriku. Tarikan nafas Asmara-ku memburu seperti di kejar sesuatu, lalu dia melenguh sambil bergerak gelisah.
"Azam...."
Dia mengelukan namaku. Dia.... -Dia memanggil namaku dalam tidurnya. Aku semakin bertanya-tanya apa yang berlaku dalam tidur Asmara.
"Sstt... aku disini, sayang. Tenanglah," bisikku di telinganya, berharap Asmara dapat mendengar dan kembali tenang.
"Azam... jangan, Jangan pergi, Zam...." Rintihan itu begitu lirih menggamit pilu hati.
Asmara-ku bermimpi buruk seperti nya. Mimpi tentang sesuatu yang menarik ku pergi dari sisi, hingga membuatnya takut begini.
"Asmara... tenanglah, sayang. Aku disini, aku tak akan kemana-mana." Ku belai lembut puncak kepala hingga keningnya yang mulai mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin. Berharap dengan itu dia bisa tenang kembali.
"Zam!!" Kelopak mata itu akhirnya terbuka, menampilkan sepasang netra bak permata mulia yang kini berkaca-kaca. Nafasnya tersengal seperti sehabis berolahraga, hal pertama yang di lihatnya adalah diriku yang tengah menatapnya cemas bercampur iba.
Tanpa aba-aba dia bangkit dan merengkuh tubuh ini. Di dekap nya dengan erat tanpa menyisakan jarak di antara kami.
"Zam.... Aku takut," rintih Asmara begitu kalut.
Aku balas pelukan itu tak kalah erat sambil mengusap punggung sempit nya dengan lembut untuk menyalurkan perlindungan dan menjanjikan kenyamanan.
"Sudah, sayang. Jangan takut, aku tak akan kemana-mana. Tenang, ya?" bujuk ku.
"Aku bermimpi buruk, Zam. Aku mimpi kamu pergi, kamu...- Seseorang membawamu pergi jauh dariku. Aku tidak mau, Zam. Jangan tinggalkan aku," rengek Asmara dengan suara bergetar dan tubuh yang gemetar dalam peluk ku.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Mara. Itu hanya mimpi, sayangku... jangan takut lagi ya?" Aku berusaha sebisa mungkin menenangkan Asmara dan menepis rasa takut yang menyelimuti hati.
Asmara lebih dahulu mengurai pelukan kami dan bersandar disisi ranjang. Tangannya masih bertumpu di pundakku, dia tatap mata ku dengan sorot sendu hingga aku menyandari sesuatu. Istriku ternyata sudah menangis sejak tadi, lantas aku tangkup wajah cantik itu dan aku hapus jejak air mata di pipinya.
"Maaf, sayang. Aku menganggu tidur mu," ucapnya dengan suara serak.
Aku menggeleng pelan sambil membelai wajah ayu Istriku.
"Aku belum tidur, sayang. Aku masih setia memandang wajah lelap mu seperti biasa, tapi tiba-tiba kamu mengeluhkan namaku dalam tidur mu," jawabku sembari tersenyum tipis.
"Aku lah yang seharusnya meminta maaf. Rasa cemas mu padaku membuat mu terbawa sampai ke alam mimpi, bahkan menganggu tidur mu yang seharusnya damai tanpa memikirkan ku," sambungku dengan raut bersalah.
Asmara jelas tak terima dengan perkataan ku. Dia bungkam bibirku dengan satu ciuman singkat, lalu dia usap pundakku perlahan. "Bukan salah mu, Zam. Aku hanya terlalu mencintaimu, sehingga pikiran ku enggan melepaskan dirimu barang sedetikpun, bahkan dalam tidur saja aku masih memikirkan dirimu."
"Itu tidak membuat ku keberatan. Apalagi terganggu, karena yang aku tau aku sangat mencintaimu, suamiku..." ucapnya penuh rayu.
Begitu lembut turut bahasa dan laku istri ku ini, memperlakukan ku dengan halus dan penuh cinta. Walaupun diriku tengah lemah tak berdaya, tak sedikitpun dia melepaskan genggaman tangan nya. Kini aku rasakan sentuhan lembut nya menyentuh satu sisi kepala ku, menyingkirkan helai rambut ku yang menjuntai.
"Zam... boleh aku minta sesuatu?" tanyanya pula.
Ah, Asmara-ku.... Kamu tak harus bertanya begitu. Mintalah sesuka mu, maka aku akan berikan apapun yang kamu mau.
"Apapun, sayang. Mintalah apapun yang kamu inginkan dariku," balas ku tak kalah syahdu.
"Aku rindu tidur di peluk olehmu. Boleh aku tidur dalam pelukan mu lagi, Zam?" pinta Asmara mendayu manja.
Aku tersenyum sendu. Tanpa berkata-kata, segera aku rengkuh tubuhnya dan aku bawa ke pelukan, kemudian kembali berbaring di atas ranjang. Tangan Asmara melingkar erat di pinggang ku sambil bersandar nyaman di dada ini.
"Tidurlah, sayang. Kapanpun kamu mau beristirahatlah di pelukan ku. Diri ini sepenuhnya milik mu, Asmara. Kamu bisa menjadi kan ku rumah ternyaman untuk mu melepas lelah dan gundah," bisikku sembari membelai rambut hingga punggung nya. Seolah melupakan fakta yang mengancam nyawa di hadapan sana.
Asmara mengeratkan pelukannya pada diriku. Tersirat rasa takut bercampur rindu dari lingkaran tangan itu.
"Berjanjilah, kamu tak akan pernah jauh dariku, Zam. Karena aku setakut itu kehilanganmu," tuturnya.
Aku memejamkan mata sembari menghembuskan nafas ke udara. Memilin bibir yang bergetar akibat hujaman angin dingin. "Aku berjanji, sayang. Aku tak akan kemana-mana."
Maafkan aku, Asmara.
Maaf jika aku tak mampu menempati janji itu nanti, tapi percayalah, sayang. Hati ini sangat ingin menetap bersamamu di dunia yang fana. Maka jika nanti aku pergi, itu bukanlah keinginan ku. Itu adalah suratan tuhan yang telah terukir jauh sebelum kita bersatu.
Dalam tautan raga, malam itu kami sama-sama terlelap. Membenamkan diri di alam bawah sadar, berharap mimpi akan lebih indah dari pada kenyataan. Berharap di kemudian hari ada keajaiban yang mampu mengubah sendu menjadi ria, walaupun hanya sebatas fatamorgana.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓
RomantikAku umumkan pada dunia, bahwa kisah ini tentang mereka yang mengikat cinta dengan sebuah ikatan suci di depan tuhan. Sayang, tuhan pulalah yang menarik raga salah satunya, hingga yang tersisa hanya secercah cinta dalam genggaman. Cinta yang akan men...