CHAPTER 11: BERTUKAR PILU

62 6 0
                                    


"Oh sepi terasa
Setelah cinta pudar di hati
Tak mungkin dapat ku melupakan
Kerana dialah kekasihku
Dan di saat ini
Ku masih terus menyintaimu
Melupaimu tak mungkin ku mampu
Terdengar suaramu memanggilku
Dahulu kita sungguh mesranya
Bergurau senda saling menyayang
Kita berjanji sumpah setia
Hingga ke akhir hayat ingin bersama
Kita merancang Tuhan tentukan
Tiba masanya kau pergi tak kembali
Tinggal aku keseorangan
Tiada lagi gurau sendamu
Siang malam sepi kurasa
Aku rindu kemesraanmu"

Lagu yang berjudul buat seorang kekasih aku lantunkan di studio pribadi yang ada di lantai dua rumah kami, sembari mengulang-ulang lirik dan chord gitar agar tidak lupa, sebab aku akan membawakan lagu itu nanti.

Beberapa kali nyanyian ku terhenti sebab rasa sesak kian mendesak, membuat ku terbatuk berkali-kali. Sudah tiga kali aku mengulang lagu ini, namun tak satupun berakhir selesai.

Agaknya memang kondisi ku belum memungkinkan, pantas saja Asmara melarang keras diriku bekerja dan bepergian hari ini. Dia mengurungku di rumah seperti anak perawan, membuat ku cukup bosan. Jadi aku memilih bermain di studio sambil berlatih, namun itu juga tidak membantu sebab terganggu dengan batuk ini.

Menyerah, aku pun meletakkan gitar yang aku pangku lalu beranjak keluar dari studio itu. Aku turun ke bawah untuk mengambil air putih di dapur. Setelah aku dapatkan. Aku pergi ke kamar untuk mencari Asmara-ku, karena rasa rindu sebab belum memeluk nya hari ini.

Begitu sampai di kamar tak ku temukan sosok bidadari pujaan ku, bahkan setelah mengelilingi semua ruangan yang ada di rumah, aku tetap tidak menemukan Asmara-ku. Aku bertanya pada sopir dan pembantu, tapi mereka pun tidak tau kemana perginya istriku, mereka hanya sempat melihat Asmara pergi dengan tergesa-gesa.

Gelisah pun melanda hatiku dengan perasaan risau dan cemas, aku berdiri di teras rumah memerhatikan sekitar sambil menunggu kepulangan Asmara.

Kemana agaknya istriku pergi? Kenapa dia tidak izin padaku terlebih dahulu? Apakah dia tau jalan negeri ini? Bukankah dia baru sekali ke sini? Itupun aku yang mengajaknya. Ah, bagaimana bisa Asmara pergi sendiri? Aku takut dia Kenapa-napa. Aku takut dia tersesat, takut menjadi sasaran orang-orang jahat.

Tuhan... jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada istriku, tolong jaga dia saat jauh dariku. Perasaan ku benar-benar tidak enak sekarang, pikiran ku hanya terpaku pada Asmara-ku saja. Di mana dia? Kenapa dia pergi tanpa memberitahuku? Apa dia....

Ah, Asmara. Itu dia. Asmara-ku pulang. Dia datang dengan langkah perlahan dan wajah yang tertunduk, hingga helai rambut nya menutupi keindahan paras itu. Segera aku hampiri dirinya dan bertanya, "Sayang, kamu darimana? Aku mencari mu ke setiap sudut rumah, tapi kamu tak ada. Kenapa tak bilang mau pergi? Aku bisa mengantar mu kalau kamu mau."

Asmara tak menjawab, tapi aku melihat pundak nya bergetar membuat hati ku tercubit sakit. Ku raih dagu istri ku dengan lembut, hingga aku dapati wajah cantik itu sembab dan memerah. Mata indah nya basah karena cairan duka.

Oh, Tuhan.... Asmara-ku menangis.

"Mara, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyaku terkejut bercampur cemas.

Asmara tak menjawab, dia malah semakin terisak saat aku bertanya begitu. Rasa bingung semakin mendera saat Asmara tiba-tiba memeluk tubuh ku dengan erat. Walaupun kebingungan, tetap aku balas pelukan istriku tak kalah erat.

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang