"Jakarta, 2023"
Setelah menempuh perjalanan tujuh jam lebih dari Tokyo menuju Indonesia akhirnya, Ragha sampai juga di tanah kelahirannya. Bandara Soekarno-hatta pagi ini terlihat sangat ramai agak sedikit membuatnya kesulitan mencari teman Marlo yang sudah dimintai tolong untuk menjemputnya.
Ragha memperhatikan satu persatu orang yang berjajar menunggu di dekat pintu kedatangan. Sayangnga ia lupa meminta foto teman Marlo.
"Ini orangnya yang mana. Di telpon juga nggak di angkat." Ragha menggumam sambil memperhatikan ponsel yang tertera nama Yafi teman Marlo.
Dari kejauhan Ragha melihat sosok pemuda seumuran Marlo tengah duduk di kursi tunggu. Semoga dugaan Ragha tidak salah. Lagian foto profil Yafi juga burem jadi nggak terlalu kelihatan wajahnya. Tapi, kalau di lihat lihat pemuda tersebut agak mirip sedikit. Ragha mendorong kopernya menuju pemuda tersebut.
"Kak Yafi!"
Merasa terpanggil pemuda dengan setelan jas dengan dalaman putih tersebut mendongak. Lelaki itu menurunkan sedikit kacamata yang ia pakai. Seperti tengah meneliti Ragha dari atas ke bawah.
"Ragha, ya. Buset aslinya lebih cakep timbang di foto. Sini-sini duduk dulu. Oh, ya tadi si Marlo pesen katanya lo di minta istirahat dulu di rumah gue besok baru gue anter ke rumah lo." Jelasnya, sedikit membuat kerutan di jidat Ragha.
"Kenapa nggak langsung ke rumah aja, kak?"
Yafi mengedikkan bahunya, "Entah, emang lo tau rumah lo dimana? Gue belum di kasih alamatnya sama si Marlo."
"Belum tau juga sih, Kak. Ya udah ke rumah Kakak dulu aja sambil nunggu Om Marlo."
"Okay, let's go."
***
Beberapa hari sebelum keberangkatan Ragha ke Indonesia.
Apakah Marlo merasa sangat bersalah? Tentu saja.
Sudah hampir tiga hari Ragha terbaring di rumah sakit. Selama itu pula anak itu mendiamkannya. Ragha drop ketika mengetahui hal yang ia sembunyikan.
Sebenarnya Marlo akan memberi tahu Ragha secepatnya. Tapi, karena ia tengah sibuk jadi belum sempat bilang pada anak itu. Ragha tau kebenarannya ketika anak itu pergi ke kamar Namira. Awalnya hanya ingin tidur di sana karena merindukan mamanya. Namun, ia malah menemukan fakta mengejutkan yang di sembunyikan Namira selama ini.
Kemarin ketika Ragha membuka mata tentu saja membuat Marlo lega seketika. Tapi, pandangan mata anak itu kosong di ajak bicara pun enggan menyahut. Sempat terjadi hening beberapa jam hingga akhirnya Ragha membuka suara.
"Om, pasti udah tau, kan?"
Sejak tadi Ragha tengah bergelut dengan pikirannya. Mencoba menerima dan memaafkan Marlo jika memang dia sudah tau kebenarannya. Bagaimana pun Ragha juga berhak tau siapa keluarga kandungnya. Dia tidak membenci Namira, sama sekali. Ragha malah berterima kasih pada wanita itu karena sudah sangat tulus merawatnya sejak kecil meski ia tau jika Ragha bukanlah anak kandungnya. Sekarang Ragha tau kenapa dulu papanya sangat tidak suka dengan hadirnya. Laki-laki itu tak pernah lembut ketika menatapnya. Bahkan tak jarang ia selalu di pukul dan di kurung tanpa tau apa salahnya.
"Maksudnya?" Percayalah di dalam sana dada Marlo tengah bergemuruh hebat, ia takut.
Laki-laki itu kemudian mendekat pada kursi di samping ranjang Ragha karena sebelumnya ia duduk di sofa sembari bekerja.
"Aku bukan anak kandung, Mama." Hancur sudah hati Marlo, debar dalam dada pun semakin menggila. Bingung, apa yang harus ia katakan sekarang. Mulutnya ikut kelu karena perasaan panik yang menyerang.
"Ga."
"Om, tolong jelaskan biar aku nggak salah paham." Meski begitu Ragha masih belum ingin melihat ke arah Marlo.
Marlo membenahi posisi duduknya. Mungkin sudah saatnya Ragha tau semuanya. Ia juga berhak akan itu.
"Gue juga nggak terlalu tau kejadian detailnya kaya gimana. Cuma waktu itu Mbak Nami ngasih tau gua kalau lo bukan anak kandung dia. Hitonori Tanadjaja, kata Mbak Nami mereka orang tua kandung lo. Mereka tinggal di Indonesia. Setau gue mereka salah satu pengusaha yang cukup berhasil. Cuma itu yang gue tau lo boleh percaya dan nggak. Tapi, gue janji bakal bantuin lo buat nyari tau."
Ragha bisa melihat kejujuran dari mata Marlo. Mungkin memang Namira hanya memberitahunya sebatas itu.
Ragha nampak diam sembari memperhatikan jendela yang di luar sana tengah menampilkan titik-titik salju turun. Cukup lama mereka dalam posisi diam. Bahkan yang terdengar hanya detik konstan jarum jam serta deru napas keduanya yang bersahutan pelan. Cuaca yang sangat cocok untuk menyesap coklat panas dan berkumpul dengan keluarga di rumah. Namun, hal itu tak akan lagi Ragha rasakan. Biasanya mereka bertiga akan duduk di ruang tengah sembari menonton berita serta bercanda sembari menyesap coklat dan memakan beberapa cemilan.
Marlo hendak kembali pada laptop yang ia tinggalkan di meja. Merasa tak ada lagi yang perlu ia bicarakan pada Ragha. Hingga saat bokongnya hampir menyentuh sofa telinganya kembali menangkap ucapan dari anak itu.
"Aku mau pulang, Om." Tatap memohon Ragha layangkan pada Marlo yang kini sudah sepenuhnya duduk di sofa.
"Kondisi kamu belum terlalu pulih nanti kalau..., " Sayangnya ucapan itu terpotong oleh perkataan Ragha yang membuat dirinya mematung tak percaya.
"Pulang ke Indonesia. Aku mau bertemu keluargaku, Om. Aku ingin bersama mereka."
Marlo tau hal ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat Ragha pasti memintanya. Tapi, Marlo juga tidak menyangka jika akan secepat ini. Marlo sudah menganggap Ragha seperti adiknya sendiri. Ia tulus menjaga dan menyayangi anak itu. Rasanya pasti akan aneh hidup berjauhan dengannya. Apalagi sedari kecil mereka sudah bersama sama.
"Om, ayo kita cari mereka. Aku ingin bersama mereka."
"Ragha,"
Tapi, mereka tak menginginkanmu. Lanjutnya dalam hati.
"Om, aku mohon. Aku ingin bersama mereka Om sudah berjanji akan membantuku tadi."
Ah, Marlo jadi menyesali perkatannya tadi.
Melihat Ragha yang matanya sudah berkaca-kaca dan kepala terus menunduk membuat Marlo tak tega apalagi melihat tatap kosong anak itu tadi yang berganti dengan sedikit binar ketika mendengar cerita Marlo bahwa ia masih memiliki keluarga.
"Bagaimana dengan karirmu di sini,"
"Ragha percaya sama, Om. Pasti bisa ngatasin itu." Selamat datang masalah besar.
"Baiklah, setelah kau sembuh kita pulang ke sana. Tapi, sepertinya untuk sementara kau di sana sendiri tak apa, kan. Aku harus mengerjakan pekerjaan ku di sini dan mengumumkan pada media jika kau akan pensiun dini."
Senyum Ragha merekah begitu mendengar perkataan Marlo. Anak itu kembali berbaring dan menutup matanya. Rasanya tak sabar ingin bertemu dengan keluarga kandungnya.
Marlo meliriknya sekilas kepalanya berdenyut sakit. Banyak hal yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata. Sebaik apa kita menyembunyikan kebenaran semua akan terungkap pada waktunya. Semua sudah menjadi takdir Tuhan dan kita tidak bisa mengelaknya.
-Yafi Satriatama-
Dokter, agak playboy dikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala
Teen FictionSemua hanya tinggal menunggu waktu dan aku akan kembali mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku. --Sandyakala-- Pertemuan waktu;