Bab 1

238 17 0
                                    

Mimpi ini lagi!
                         
Jaemin memaki dalam hati dengan sangat frustasi. Ini sudah kesekian kalinya ia memimpikan hal yang sama. Sebuah desa kecil dengan bukit bunga yang sangat indah. Bunga kosmos merah jambu menimbulkan efek percikan cat di atas rerumputan hijau. Jari-jarinya, tanpa bisa ia kendalikan, menyapu lembut bunga-bunga kosmos itu, membuat mereka bergoyang manja. Matahari yang terik dan menyilaukan tapi udara yang masih sejuk menandakan bahwa musim semi sudah usai dan musim panas menunggu di ambang pintu. Benar-benar musim yang membahagiakan.
                         
Dulu—saat mimpi ini muncul pertama kalinya—Jaemin mengira ini adalah sebuah mimpi yang indah. Betapa tidak—pemandangan kebun bunga kosmos itu menghangatkan hatinya. Seperti selimut wol tebal di puncak musim dingin. Senyaman itu.
                         
Tak seperti mimpi pertamanya, kali ini Jaemin tidak tertipu. Ia tahu kehangatan itu tak berlangsung lama. Ia tahu, setelah itu, tak ada lagi kesenangan dalam mimpinya. Walaupun ia tak bisa menguasai dirinya, tapi paling tidak ia sudah mempersiapkan mentalnya. Maka, ketika tiba-tiba jantungnya terasa tercekik, ia tidak sekaget dulu.
                         
Keparat! Lepaskan aku!
                         
Ia ingin sekali berteriak lantang, tapi tak ada kuasa. Dirinya yang di dalam mimpi itu sudah sangat kesakitan. Sesak—sesak sekali rasanya. Kepalanya pening, perutnya panas. Kepanikan langsung menguasai dirinya dalam hitungan detik.
                         
Saat ia sadar, ia sudah berlari. Berlari melebihi apa yang kakinya bisa lakukan untuknya. Berlari, berlari, berlari. Yang ia tahu hanya berlari. Bunga-bunga kosmos tumbang di bawah langkahnya. Kakinya yang telanjang mulai perih, entah berapa banyak darah yang sudah mengalir karena kerikil-kerikil yang diinjaknya.
                         
Di sinilah ia mulai terjatuh, seperti yang sudah ia hafal. Kakinya tersandung sebuah batu besar. Jari kaki kelingkingnya patah. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras dan terguling dengan cepat menuruni bukit, menyapu semua yang dilewatinya. Hingga akhirnya ia terdampar dengan keras di tepi sungai. Satu gulingan lagi, ia pasti sudah jatuh ke sungai dan terseret arus. Untungnya ada yang menahannya.
                         
Untungnya? Lebih tepatnya, 'sialnya'.
                         
Setelah beberapa kali melihat mimpi itu, kini Jaemin mulai sadar—kalau saja tubuhnya jatuh ke sungai, pasti kelanjutan mimpinya menjadi lebih baik. Apapun itu, lebih baik dari apa yang harus ia lihat dan rasakan setelah ini.
                         
Dengan tubuh yang penuh rasa sakit dan darah mengalir di mana-mana, Jaemin—si-bodoh-Jaemin-di-dalam-mimpi—memaksakan dirinya untuk berdiri. Ya, dengan keadaan yang hampir sama buruknya dengan mati, Jaemin berlari kembali.
                         
Sakitnya tak tertahankan. Jaemin ingin menjerit tapi tak bisa. Tidak adil rasanya. Ia merasakan segala perasaan buruk di dalam mimpinya tapi ia tak diizinkan berteriak. Jangankan berteriak, ia bahkan tak bisa mendengar suara apapun di dalam mimpi itu.
                         
Mimpi itu benar-benar tuli dan bisu. Rasanya seperti menonton film yang mute.

The Immortal Apprentice [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang