Bab 3 - Kalau Masih Sayang, Bilang

121 13 2
                                    


"NDUT?!"

Jantungku serasa berhenti berdetak saat mendengar sebuah suara yang sangat familier di telinga. Sumpah, aku bahkan tak perlu lagi menebak-nebak siapa pemilik suara yang baru saja menyapaku. Kata sapaannya yang khas cukup meyakinkanku siapa sosok seseorang itu.

Susah payah aku menelan ludah yang tersangkut di tenggorokan. Mati aku! Aku harus bagaimana sekarang? Pura-pura pingsan? Pura-pura amnesia? Lari atau tetap diam di tempat? Duh, aku harus kabur jangan?

Aku mendekap tiga bungkus mi instan. Tangan kananku mendadak terasa lembab karena berkeringat, sedang tangan kiriku menggenggam erat pegangan keranjang belanja. Sekuat tenaga aku mencoba untuk melangkah dan pergi dari lorong minimarket tempatku berada. Namun, kedua kakiku seperti terpasung di tempat.

"Hei, kok diem aja, sih?"

Aku merasakan tepukan lembut di pundak, tetapi jantungku bereaksi terlalu berlebihan. Aku terlonjak dan membuat tiga bungkus mi instan yang berada dalam dekapanku jatuh ke lantai, begitu pula keranjang belanja yang kupegang dan membuat seluruh isinya jatuh berserakan.

"Oh, ka-mu, hai!"

Akhirnya tubuhku sanggup bereaksi. Kupaksakan untuk menoleh ke arah seseorang yang baru saja menepuk pundakku. Aku segera berlutut dan memunguti barang belanjaanku yang berserakan di lantai dan bergegas memasukkannya ke dalam keranjang.

Jantungku bertalu-talu, aliran darah yang terlalu deras membuat tanganku gemetaran. Kepalaku terasa penuh, tetapi juga kosong dalam waktu yang bersamaan. Aku tidak bisa memikirkan apa pun.

Sialnya, laki-laki pemilik lesung pipit dan jambang tipis di wajahnya itu ikut berjongkok dan membantuku untuk mengambil barang-barang belanjaanku.

Sumpah demi apa pun! Kenapa aku harus bertemu dengannya? Di sini? Hari ini? Di waktu dan tempat seperti ini? Kenapa?

Dari jarak sedekat itu, aku bisa menghidu aroma parfumnya yang khas. Aroma yang pernah begitu menenangkan saat aku berada dalam pelukannya. Tangan kami bertemu pada bungkus mi instan yang terakhir. Refleks kami saling mendongakkan wajah dan beberapa detik lamanya kami menatap satu sama lain.

"Kangen, ya?" Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya yang seketika membuat jantungku kembali berdegup kencang.

Oh, Tuhan!

Aku kembali tersadar dan menarik tanganku saat dia melemparkan senyumnya yang tengil dan menggemaskan itu. Sungguh, sebenarnya aku ingin berlama-lama menatap wajah itu. Jujur saja aku rindu.

Oh, Tidak! Kendalikan dirimu. Sadar, Astuti!

Aku segera berdiri dan bergegas melewatinya untuk menuju ke meja kasir. Aku harus segera pergi meninggalkan tempat ini.

"Tunggu, Ndut!" Adam menahan tanganku. Anehnya, kedua kakiku kompak menghentikan langkahnya. "Kamu kok kurusan, ya?" Aku menundukkan kepalaku dan mengalihkan pandangan pada keramik minimarket.

Aku? Kurusan? Memangnya kenapa? Kamu peduli apa? Kamu tahu apa? Muara dari semua rasa pahit yang harus kutelan ini gara-gara kamu. Semuanya gara-gara kamu. Sekarang kamu nanya, aku kurusan? Ish, lupakan saja. Apa pedulimu!

Kepalaku selalu menemukan cara untuk berisik sendiri meski mulutku terkunci rapat.

Kurasakan sebuah tangan menyentuh daguku dan membuatku terpaksa harus mengangkat wajah, lelaki tengil di depanku itu tiba-tiba menyodorkan sebuah benda yang digenggamnya tepat di depan wajahku. "Tumben kamu beli yang biasa, bukannya selama ini selalu pakai yang ada sayapnya?"

Mataku membola begitu menangkap bentuk benda yang dia pegang. Aku menyambar satu bungkus pembalut yang berada di tangannya.

Laki-laki tengil itu, coba, bisa-bisanya dia ingat kebiasaanku? Perkara pembalut dia bisa ingat? Aku merasakan pipiku memanas, kugigit bibirku kuat-kuat.

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang