5 ─ Empire

98 32 2
                                    

┏━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━┓

HOW TO LOVE THE KING

┗━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━┛
.
.
.

[warning content sexual]

Mereka sudah sampai. Pagi itu embun masih merangsek masuk lewat celah-celah jendela yang terbuka di kereta. Ruden mengetuk pintu perlahan, mengabarkan bahwa mereka akan benar-benar sampai sebentar lagi. Shei berdebar bukan main. Tidak lagi seperti saat dimana dia mencoba kabur dari takdirnya malam itu. Kali ini, dia takut akan anggapan para rakyatnya yang baru.

Gejolak perjalanan tidak lagi membuat kepala pusing. Sendirian di dalam kereta setelah sekian lama cukup membuatnya sedikit stress. Sejauh ini, dia hanya berbicara dengan Ruden, lalu Jiel, dan Rosaline. Meski jatuhnya bukan berbincang tetapi saling melontarkan amarah.

Dia tidak tahu bagaimana nasib Rosaline sekarang. Terakhir melihat saat makan malam di kota kecil hari itu, dia tampak biasa saja. Kecuali matanya yang sembab dan rambutnya yang semakin acak-acakan. Shei menyeringai dengan senang. "Orang-orang akan berpikir kau sedang merencanakan pembunuhan sekarang." kuda Ruden mendekat di jendela, dia membubuhkan senyuman kecilnya. Wajahnya cerah, dengan mata cukup merah sebab kurang tidur.

"Ya. Aku sedang memikirkan rencana buruk untuk orang lain. Mau mendengarnya?" Ruden mendengus. Kebiasaannya yang baru-baru ini Shei sadari. "Lain waktu. Bersiaplah. Sebentar lagi kau akan benar-benar menjadi pengantinku. Lalu, tentu saja, dapat sepuasnya mengambil banyak tempat di ranjang." Shei melempar wajah Ruden dengan salah satu kue basah yang diletakkan di meja. "Kau! Masih dendam karena waktu itu?"

Mengingat hanya ada satu dipan yang terdapat pada penginapan tak layak malam itu. Awalnya mereka tidur satu ranjang. Canggung. Tidak dapat bergerak. Hingga Shei mulai tertidur dan tangan dan kakinya yang bergerak kesana kemari, Ruden harus tidur di lantas, beralaskan selimut bau apek nan tipis, berakhir dengan leher yang pegal dan tubuh yang sakit semua.

Shei sudah meminta maaf. Tentu saja. Mungkin.. Hanya kurang tulus, sedikit.

"Kau menyentuh segala hal yang seharusnya tidak disentuh. Aku akan membalasnya, lihat saja nanti." salah satu prajurit yang berada di sisi yang sama berdeham. Percakapan mereka cukup intim. Orang lain yang mendengar mungkin akan berpikir lain. Misalnya, Rosaline. Dia menggenggam tali kekang kudanya dengan erat, merapalkan mantra guna-guna kalau saja dirinya bisa sihir hitam.

Jiel menengahi perdebatan mereka yang tiada guna. "Yang Mulia, kita hampir sampai." saat itu juga, wajah Shei mengaga dalam kurun waktu yang bisa membuat burung gereja bertelur di rongganya. Mulai nampak sebuah gerbang besar, dengan batu sekelam malam, berpendar magis dan penuh energi. Banyak para prajurit Kekaisaran yang menjaga di sudut-sudut. Satu dua mengantongi pedang, busur panah berujung tajam dengan racun yang dibubuhkan.

Gerakan gerbang yang terbuka mengejutkan. Seram. Shei bergidik. Dia lupa satu hal. Kekaisaran menghancurkan Kerajaannya. Sekarang, dia masuk ke tempat koloni yang menghapus rumahnya. Kini, tempat ini akan menjadi rumah barunya, bersama suaminya, Ruden Sang Gagak.

...

Rakyat ternyata menyambut mereka! Confetti bertebaran, karangan bunga dilemparkan dengan serampangan, sorak-sorai menggema memuaskan. Teriakan mereka lebih terdengar bahagia. Anak-anak kecil melambai, Ibunya melemparkan senyuman tulus yang menyambut. Para pedagang di jalanan bersuka cita, membagikan dagangannya secara percuma, menawarkan permen manis yang menggoda.

How To Love The KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang