03 - [ Setiap Anak itu Unik ]

174 25 40
                                    

Benar kata Bang Jeno, kalau Bang Nana pulang sebentar ke rumahnya di Cikarang ditemani Bang Ecan. Dan entah apa sudah terjadi di rumahnya, raut wajah Bang Nana saat kembali ke Bandung terlihat berbeda. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia senang habis bertemu dengan keluarganya atau mungkin akhirnya bisa makan enak dan terlepas dari yang namanya hutang.

Dan selepas Sholat Maghrib aku akhirnya tahu jawabannya. Ternyata, dia baru saja mendengar kedua orang tuanya bertengkar di rumah. Tidak hanya itu, dengan suara yang terdengar begitu lelah, Bang Nana mengungkapkan sebuah fakta menyakitkan dihadapan aku, Bang Jeno, dan Bang Ecan, bahwa setiap kali dia membawa temannya ke rumah, pasti Mamanya selalu membanding-bandingkan dirinya dengan temannya.

Aku yang mendengar langsung menghela napas.

Sebenarnya apa sih tujuan orang tua selalu membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain? Padahal jelas-jelas mereka berdua memiliki latar belakang dan pola pengasuhan yang berbeda. Mereka hidup di keluarga yang berbeda, lahir dari orang tua yang berbeda, tumbuh dengan lingkungan yang berbeda juga. Pun dengan kemampuannya. Setiap anak pasti memiliki kelebihan, kemampuan, dan keunikan yang berbeda-beda. Jika terus disamakan, kondisi psikis anak yang akan jadi taruhan.

Huft. Aku capek kalau ngomong soal ini.

Satu hal lagi, aku juga turut prihatin ketika Bang Nana mengatakan bahwa libur semester nanti dia tidak akan pulang ke rumah. Bahkan dia sudah membriefing Bang Jeno dan Bang Ecan untuk tidak mengatakan apapun pada Mamanya saat mereka pulang ke rumah besok. Aku awalnya ada rencana kumpul keluarga di Balikpapan---rumah asli Papa, tapi sepertinya rencana itu aku batalkan secara sepihak. Aku akan menemani Bang Nana disini.

"Cung, beliin gula sekilo gih di warung. Gue mau bikin teh gulanya habis dan gue mager mau beli."

Aku mendongak, menatap Bang Jeno yang berdiri di depanku dengan menyerahkan uang ceban 5 lembar ke arahku. Dengan sigap dan tanpa banyak ceng-cong, aku mengangguk dan menerima uang itu. Langsung melesat pergi. Tapi begitu sampai depan rumah, aku langsung celingak-celinguk. Mencari sandal swallow biru yang aku simpan di bawah kursi di teras kosan.

"Nyari sandal?"

Aku yang sedikit menungging dan kepalaku sedikit menelusup ke kolong meja, menoleh, kemudian melebarkan matanya.

Sandalku ada di kaki Bang Nana.

Aku langsung memundurkan kepalaku dan menepuk-nepuk tanganku yang kotor.

"Iya." jawabku, mulai berdiri.

"Mau kemana lo?"

"Ke warung, disuruh beli gula sama Bang Jeno." ku lihat Bang Nana hanya membulatkan mulut, membuatku mendengus dan mengalihkan pandangan. Kemudian aku berjalan ke depan, "Pergi dulu ya, Bang. Assalamu'alaikum." seruku lari keluar dari gerbang. Aku juga pura-pura tidak mendengar saat Bang Nana berteriak untuk menutup kembali gerbangnya.

Lagipula untuk apa ditutup sekarang? Kan nanti aku pulang lagi.

~ ~ ~ ~ ~

Hari menjelang sore, jam sudah menunjukkan pukul 16.05. Setelah sholat Ashar, aku memutuskan untuk menemani Bang Ecan ngeprint. Alasannya hanya satu, aku gabut, tidak tahu harus apa. Awalnya aku mau mengajak Bang Nana keliling komplek, tapi katanya dia mau maraton drakor. Ya sudah, akhirnya aku sedikit mengemis pada Bang Ecan untuk ikut pergi.

Bang Jeno sendiri belum pulang dari kampus. Tadi siang dia mengabari kalau dia akan pulang secepatnya, tapi sampai detik ini aku belum melihat keberadaannya. Aku tidak tahu dia ada urusan apa, tapi aku percaya dia tidak akan aneh-aneh.

STORY OF MY LIFE [PARK JISUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang