Giza tak tinggal diam. Ia menancapkan kuku-kuku panjangnya di tangan Deo yang melingkari pinggangnya hingga pria itu menjerit dan buru-buru melepaskan kungkungan itu.
"Aku antar." Deo memberi tatapan memohon di sela ringisan kesakitan.
"Kamu nggak dengar tadi aku ngomong apa di telepon?" Giza langsung meninggalkan Deo.
Deo buru-buru menyelesaikan pembayaran agar bisa mengejar Giza. Beruntung Giza tertahan di lift yang pintunya masih tertutup karena benda itu baru bergerak naik.
"Kamu udah punya pacar?" tanya Deo setelah mensejajarkan posisi dengan perempuan itu. Perasaannya tak tenang mendapati Giza akan dijemput seseorang.
Giza baru akan menjawab ketika masuk ke lift yang akan membawanya ke lobby.
"Apa urusanmu?"
"Aku akan minta maaf kepada pacarmu karena sudah mengajak kamu keluar tanpa izinnya." Ada ketidakrelaan ketika mengucapkan kalimat ini.
"Dia nggak akan marah," balas Giza sambil fokus mengamati huruf digital yang bergantian berubah di layar dekat pintu lift.
Deo melebarkan kelopak mata dan menoleh cepat pada Giza. "Secepat itu kamu melupakan aku?"
"Kenapa aku harus mengingat kamu terus? Kamu mengharapkan aku nggak bisa move on darimu? Mimpi!"
Deo mengusap wajahnya dengan telapak tangan kirinya. Ia benar-benar kehilangan kata-kata menghadapi mantan pacarnya yang kelihatan semakin keras kepala ini. Sungguh, ia seperti menemukan versi terbaru Giza yang belum pernah ia lihat. Jauh lebih tenang, tetapi tiap kata yang diucapkan selalu tajam menusuk jantungnya.
Deo dibuat tak bisa berkata-kata lagi ketika melihat sosok yang buru-buru keluar dari mobil dan membuka pintu penumpang dengan senyum mengembang. Belum lagi melihat Giza mengelus bahu Cakra dengan tatapan sayang.
"Hai, Deo. Makasih udah traktir pacar gue di tempat ini. Sebenarnya gue agak kecewa dia baru ngabarin setelah udah bertemu lo. Tapi nggak apa-apa, setidaknya dia nggak melupakan pacarnya dan minta gue jemput... makasih ya, udah nemenin dia makan di tempat yang udah dia pengenin dari dulu. Maklum sebagai pemilik bisnis baru, akhir-akhir ini gue sulit membagi waktu antara pacaran dan kerja. Sekarang aja gue baru punya wak---"
"Udah, ah. Banyak ngomong kamu. Yuk, masuk... Deo, makasih ya. Bye." Giza mendorong Cakra agar kembali duduk di balik kemudi agar segera beranjak dari tempat ini.
"Bye, Giza," balas Deo singkat sambil melambaikan tangan kaku.
Deo berdiri menunggu valet parking dengan perasaan kosong. Ia sudah benar-benar hilang kesempatan. Kalau dibandingkan dengan Cakra, ia jelas tak ada apa-apanya.
Sementara itu, di dalam Bentley Continental GT yang baru saja keluar dari kawasan ACB Tower, sang pengemudi tertawa lebar menceritakan tampang Deo yang menatapnya nelangsa.
"Thank you," ucap Giza tak ikut tertawa bersama Cakra.
"Untuk?"
"Mau berakting jadi pacarku."
Cakra menoleh dan memberikan kerlingan jahil. "Kita jadi pacar beneran aja, yuk!"
Giza menggibas tangan di udara. "Kamu belum masuk kriteria idamanku... sekalipun iya, sangat sulit kita memulai hubungan. Tembok kita terlalu tinggi. Aku malas ribet."
Cakra berdecak. "Ya, elah... nggak akan ribet, Za. Banyak orang yang bisa menikah, tetapi tetap memegang keyakinan masing-masing."
"Nggak mau. Enak aja. Punya pasangan seiman tuh enak tahu. Dulu aku sama Deo sebelum berangkat ke suatu tempat selalu doa bareng. Terus kita juga selalu doa bareng sebelum tidur walaupun lewat video call. Terus seminggu sekali punya waktu khusus sharing tentang firman Tuhan... aku seiman sama Deo aja bisa kandas, apalagi sama kamu yang berbeda keyakinan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumau Dia (Tamat)
RomanceGiza Safira Prautami, anak perempuan satu-satunya dari salah satu keluarga konglomerat, bermimpi memiliki suami seperti papanya yang merupakan suami idaman kebanyakan wanita; bertanggung jawab, tegas, berwibawa, lemah lembut, penuh kasih sayang, sel...