"Welcome home!" seru Giza sambil menarik konfeti ketika Deo membuka pintu rumahnya.
Semburat lelah di wajah pria itu berubah sedikit cerah ketika mendapatkan kejutan ucapan selamat datang dari tunangan bersama orang tua kandung pria itu. Deo memeluk erat Giza, lalu beralih menyalami papanya yang berada di kursi roda dan sang ibu yang duduk di sofa sedang menatap bingung cowok itu.
Ingatan sang ibu masih seperti dulu. Hanya bisa mengingat masa lalu. Hanya saja ada sedikit perubahan yang terjadi pada Bertha sejak Giza sering mengunjunginya. Wanita paruh baya itu mengingat Giza. Makanya begitu tahu fakta ini, Deo begitu iri pada pacarnya.
"Siapa kamu? Orang gila?" tanya Bertha dengan wajah sedikit panik.
Deo mengulas senyum sedih dan mengenggam tangan mamanya. "Ini aku, Ma, Dede. Aku udah selesai S2, sekarang udah kembali ke rumah. Maaf ninggalin Mama dan Papa selama satu tahun."
"Boong. Dede masih ke sekolah. Kamu orang gila!" seru Bertha dengan mata melotot.
Seperti kebiasaannya, ketika ingatan Bertha tentang anak tunggalnya hilang, Deo akan menunjukkan video perubahan dirinya sejak balita sampai dewasa. Ketika satu tahun tak berjumpa, cara ini masih berhasil.
"Jadi kamu anakku, Dede... kamu Deo?"
Deo mengangguk dengan air mata yang sudah penuh di pelupuk. Tetesan air itu jatuh ketika merasakan dekapan hangat sang ibu.
Giza yang melihat dari jarak satu meter, mengusap pipinya yang basah. Bi Sarti apa lagi, suara sesunggukannya nyaring terdengar. Kedua wanita itu tahu persis perjuangan Deo selama satu tahun di Eropa sungguh tak mudah. Harus membagi tenaga dan pikiran untuk sekolah, bekerja remote dan rutin setiap satu bulan sekali membuka kelas public speaking secara online agar menambah tabungan untuk jaga-jaga kalau orang tuanya mengalami kondisi urgent. Meskipun ada Giza yang selalu siap membantu, tetapi Deo tetap tahu diri. Orang tuanya adalah tanggung jawabnya.
Giza tak punya kewajiban mengurus orang tuanya apalagi bertanggung jawab terhadap finansial keluarganya. Mereka baru berstatus pacaran, belum suami istri. Sungguh, dua perawat yang didatangkan Giza saja sudah sangat membuatnya tak punya muka. Ia tak mau terlihat tak punya kemampuan finansial di hadapan pacarnya.
Mendapati kelegaan di wajah Deo yang bisa melihat dengan matanya sendiri bagaimana orang-orang yang ia percayakan merawat orang tuanya bisa diandalkan, Giza merasakan bahagia yang tak bisa dikatakan. Di saat yang sama, melihat bagaimana Deo memperlakukan orang tuanya dengan penuh kasih sayang, jantung Giza kembali bergemuruh hebat.
Untuk kesekian kalinya, ia jatuh cinta pada pria ini.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Giza.
Mereka sedang bersantai di teras rumah Deo setelah kedua orang tua pria itu tidur."Sebenarnya aku udah punya bisnis bareng teman yang baru dibuat dua bulan lalu, agensi marketing digital yang ditargetkan untuk para politikus. Sejauh ini kami baru punya satu klien." Deo menoleh pada Giza yang sudah lebih dulu menatapnya. Ia mengambil tangan pacarnya. Ia tersenyum ketika cincin yang ia sematkan di jari manis delapan bulan yang lalu, tidak dilepas gadis itu. "Kamu nggak masalah, kan, temani aku berjuang dari nol?"
"Asalkan nggak nol terus." Giza tertawa ketika merasakan tekanan sedang di jari-jarinya.
"Kamu boleh meninggalkan aku kalau aku gini-gini aja," balas Deo dengan ekspresi serius.
Giza nampak berpikir sejenak. "Kamu harus punya exit plan. Kalau bisnis ini nggak berhasil, langkah apa yang kamu ambil. Antara kembali bekerja di kantor atau tetap mencari peluang bisnis baru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumau Dia (Tamat)
RomanceGiza Safira Prautami, anak perempuan satu-satunya dari salah satu keluarga konglomerat, bermimpi memiliki suami seperti papanya yang merupakan suami idaman kebanyakan wanita; bertanggung jawab, tegas, berwibawa, lemah lembut, penuh kasih sayang, sel...