Bagian 2; Braga

484 73 19
                                    

Bandung, September 2018.

Arunika menyapa Bandung dengan ceria. Biasnya berusaha mencuri-curi pandang pada sosok pria yang masih tenggelam dalam mimpinya. Niat sang pria ingin terus bercumbu dengan selimut yang membelai tubuh eksotisnya, namun ia lupa akan janji temu dengan 'kekasih hatinya'. Dengan kantuk yang masih setia, ia membawa langkahnya menuju kamar mandi. Membersihkan diri sembari memilah pakaian mana yang akan ia kenakan untuk 'kencan' mereka.

Lima belas menit berlalu, pria itu melabuhkan pilihannya pada kaos lengan pendek dan celana jeans. Entah karena pakaian yang ia kenakan berkualitas bagus atau memang dirinya yang menawan, style simple seperti itu saja membuat pasang mata sedap memandang.

"Morning mom .." Sapanya sembari ikut andil mendudukan diri untuk memulai sarapan.

"Morning sweatheart .." Ibunya menjawab dengan senyum manis yang terpatri diwajahnya.

"Ucapan selamat pagi buat gua mana?" Wanita berusia hampir berkepala dua yang duduk disebrangnya itu melayangkan protes sembari mengabsen makanannya dengan ekspresi tak suka.

"Ngenes amat hidup lu mbak, makannya cari pacar."

"How dare you Mr. Alex? Apa perlu gua beliin lu kaca, hn?" June merotasikan bola matanya. Tiada hari mereka lewatkan dengan damai dan tentram memang. Jikapun ada mungkin orang tua mereka akan membawa orang pintar kerumah lantaran mengira ketempelan. Seolah menjadi rutinitas biasa, sang ibu; Ellen Claremont hanya mampu menggeleng kepalanya dengan senyum yang masih setia. "Oh I forgot something, lu kan punya doi kiwkiw."

Alex menatap tajam mbak laknatnya itu. Ia heran dapat dari mana persfektif tak masuk akal yang terus June layangkan sejak semalam. Sanking kesalnya, bahkan ia sempat memblokir nomor June sementara.

"Lu tuh dapet gagasan dari mana coba ngomong begitu? Ko bisa gitu, heran gua." Alex dengan mulut penuh makanan berujar sembari menatap sengit kearah June.

"Bau parfume lu beda bro."

Detik berikutnya Alex hanya mampu menjatuhkan rahangnya mendengar pernyataan June yang diluar angkasa. Oh ayolah, perkara parfume saja June sudah seheboh ini? Yang benar saja. "Mbak, kawan-kawan gua kan juga sering pake parfume dan parfume gua juga ngga cuma satu-"

"Tapi yang ini beda tuan Alex. Coba gua tanya, kawan lu yang mana yang bau parfumenya Jean Patou Joy yang harganya bisa nyampe belasan juta Alex Claremont-Diaz? Bahkan Jacob anak Britania Raya aja baunya ngga begitu." Perkataannya penuh dengan penekanan seolah sedang mengajari anak sekolah dasar. Sedang lawan bicara menghentikan acara makannya sejenak. Ia menatap June dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Tapi kayanya bukan pribumi deh, iya kan?" Lanjut June menebak asal.

"Jadi apa yang dibilang mbakmu bener sayang? Who's her hn?" Bahkan sekarang ibunya ikut andil dalam gagasan tanpa dasar yang June lontarkan.

"Mom, percaya June sama dengan musyrik."

"Halah ngeles mulu anaknya Oscar Diaz, gua ga mau tau si lu kudu bawa tuh cewe kedepan muka gua biar gua liat manusia beneran apa jelmaan setan."

Alex melempar tawa hambarnya dengan wajah kesal. Meluruskan June seperti meluruskan beton, keras dan terasa mustahil. Maka dari itu ia lebih memilih mengiyakan apa ucapannya dan segera menghabiskan sarapan yang sempat terjeda beberapa detik tadi.

__

9.25, pagi menjelang siang. Kini Alex sedang berjalan-jalan seorang diri, menenteng kamera ditangan kanannya sembari menyusuri trotoar jalanan. Sebenarnya ia sempat mengajak Dimas, tapi bocah itu ternyata ada kelas. Ia bukan manusia yang tidak bisa kemana-mana sendiri memang, namun bila ada kawankan dapat ia manfaatkan menjadi fotografer dadakan, pikirnya begitu. Tapi bukan berarti planningnya harus diurungkan.

Edelweiss [AlexHenry]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang