Bagian 8; Apa kita benar-benar ada?

334 49 19
                                    

Bandung, September 2019.

Tak jauh berbeda dengan september tahun lalu, agenda hujan memenuhi tiap permukaan. Seakan enggan absen barang sebentar, gemerciknya selalu menjadi pembuka diawal hari kadang menjelma penutup kala tiap pasang mata memejam. Satu tahun terlewat, jenaka terbawa suasana pada tahun lalu tentang pertemuan yang dipenuhi ketidak sengajaan berevolusi mengais pertemanan. Ya, setidaknya kata itu lebih pantas menggambarkan mereka sekarang. Meski disudut hatinya ketidak nyamanan kerap hinggap, betapa ia berandai dapat memenuhi setiap momen bersama sang pria dengan status berbeda. Namun agaknya orang lama masihlah juara membuatnya hanya mampu meratap dengan isi kepala penuh tanya 'mengapa bukan aku yang dengan leluasa menggenggam tanganmu?' Atau 'tak cukupkah hanya ada aku dalam setiap ingatmu?'

Tiga bulan ini ia kerap didera frustasi, ingin menyerah pada realita namun sosok pujangga kerap hadir tanpa diminta membuat lara yang sempat terukir secuil mengabur. Namun tak sekali pria itu tanpa sadar menjatuhkannya selepas dengan riang membawanya menyambangin nirwana, lalu tanpa perasaan logika mencekiknya tak karuan. Henry sebal, egonya kian menggerogiti pikiran. Kendati demikian semesta masih berbelas kasih dengan mengirim Bagas memenuhi episode hidupnya beberapa bulan kebelakang. Membuat ia secuil meredakan gejolak patah hati yang tak bertuan.

Ia dan katingnya memang semakin dekat, tak jarang Bagas menawarinya tumpangan atau mengelilingi jalanan Bandung disiang hari. Seperti siang ini, pria 23 tahun itu memberi janji untuk menyambangi kawah putih ciwidey. Dengan riang dan sesekali mengajak yang lebih muda untuk sama-sama menyenandungkan lagu kesukaan mereka, Bagas membawa maticnya membelah jalanan.

"Pernah kemana aja Ry selama di Bandung?" Yang didepan melempar tanya dengan sedikit berteriak.

"Banyak si, Braga, Dago Pakar eung apa lagi ya?" Jawab yang lebih muda sembari memikirkan sebentar membuat Bagas secuil tergelak menatap pantulan Henry lewat kaca. "Oh iya pernah ngedaki juga hehe .."

"Widih keren banget bocah Inggris yang satu ini."

Penuturan Bagas membuat keduanya dilanda tawa bersama. Katingnya dengan sikap keterbukaannya membuat Henry tak merasa terbebani, ia cukup nyaman berada disekitar pria itu. Bahkan Bagas kerap kengajaknya bergabung saat tengah menongkrong membuat pria asal Britania Raya itu kini memiliki banyak kawan.

Sesampainya dikawah, Bagas membawa lengan Henry untuk berkeliling. Cuaca yang tak begitu terik membuat suasana begitu nyaman.

"Jadi inget ranu kumbolo .." Yang lebih muda berujar asal membuat Bagas disebelahnya mengalihkan perhatian. Sejujurnya bukan ranu kumobolo yang amat ia rindukan, namun sosok lain yang hari ini undur diri dengan beberapa kesibukan, entah benar atau sekadar alibi guna bersapa ria dengan masalalu sang pria.

"Kalo lu suka ngedaki nanti gua ajak ngedaki bromo deh!" Pernyataan Bagas berhasil membawa realitanya naik kepermukaan. "Gua kebetulan punya kawan yang punya kenalan hobi traveling gitu, next moment pen ngunjungi bromo denger-denger." Jelas Bagas dengan antusias membuat Henry mengangguk paham. Seperti yang sudah-sudah, mereka kian diliputi canda tawa. Bagas yang memiliki humor receh itu membuat Henry tak hentinya menggelang kepala dengan senyum yang tak pernah pudar.

_

Gelap sepenuhnya menyelimuti kala seorang pria membawa langkahnya memasuki sebuah kedai. Dengan secuil dilanda keterburuan ia membuka pintu asal, mendudukan diri disudut ruang dengan tatapan heran yang kawannya layangkan. Langit Bandung sedang gemar sekali berlukis abu, namun tak kalah mendung dari raut wajah sang pria yang kini tengah mengapit sebatang rokok dijemarinya.

"Minggu-minggu ini gua liat muka lu asem banget, bahkan ngalahin cuaca dibulan ini." Nora satu-satunya wanita dicirclenya melayangkan tanya membuat yang lain menyetujui ucapan sang wanita.

Edelweiss [AlexHenry]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang