Waktu berlalu, semuanya kembali berjalan dengan semestinya dan perlahan menyembuhkan luka masing-masing atas kepergian Vaniya. Namun lagi-lagi Tuhan memiliki rencana lain. Devan mengalami gagal jantung.
Penyakit yang sama, rumah sakit yang sama, dan rasa sedih yang sama.
Bayangan tentang patient monitor dengan garis yang tidak beraturan dan suara nyaringnya membuat Vanya linglung. Dirinya seakan tertarik kembali pada hari kematian Vaniya. Berdiri di koridor dan menatap kosong lantai dingin berharap kembarannya segera sehat kembali. Saat dokter keluar dengan pandangan sedihnya, tubuh Vanya terasa mendingin.
"Vanya! " Vanya tersentak saat mendengar panggilan mamahnya. Ingatannya tentag masa lalu segera terhenti.
"Huh? Oh iya mah?"
"Kamu dipanggil dari tadi nggak respon. Mamah mau pulang sebentar buat ambil bajunya Devan. Kamu tunggu disini dulu, nanti eyang datang." Vanya hanya mengangguk dan sang mamah terburu-buru untuk pergi.
Entah berapa lama dirinya linglung dan mengabaikan segalaya. Vanya memilih melihat sekelilinginya. Tidak ada lagi dinding kaca, sekarang hanya ada ruangan dengan satu tempat tidur dan sofa di ujung ruangan. ini bukan ruang ICU ktanya dalam hati. Dilihatnya Devan yang terbaring pucat di tempat tidur pasien. Sekilas dirinya tidak melihat Devan, melainkan tuuh kembarannya. Vanya mengambil napas dalam dengan mata tertutup sebelum menghembuskannya perlahan.
"Devan harus kuat ya, kakak nggak bisa kehilangan lagi. Udah cukup Vaniya yang pergi, kakak harap bisa nemenin kamu sampai nanti udah ketemu jodohmu. Devan, kamu harus kuat ya. Devan, harus kuat."
Vanya menggenggam tangan devan dan menciumnya. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya tapi tidak ada yang terjatuh. Dirinya tidak ingin ada yang melihatnya menangis. Dirinya muak dengan pandangan simpati semua orang.
Perawatan Devan memakan waktu seminggu lebih sebelum diperbolehkan pulang. Meski Devan tidak bisa sembuh tapi bukan berarti tidak bisa diobati. Meski hanya untuk mencegah penyakitnya memburuk, itu lebih dari cukup daripada adik laki-lakinya bernasib sama seperti Vaniya.
Namun lagi-lagi takdir tidak terlalu baik untuk Vanya. Empat tahun kemudian, tepatnya saat Devan berusia 17 tahun dan dirinya 19 tahun keadaan kembali memburuk. Devan harus kembali memasuki ICU seperti empat tahun lalu. Lagi-lagi tempat yang sama, penyakit yang sama, dan bau yang sama.
Vanya yang saat itu berada di kampus segera pergi ke rumah sakit. Seakan menjadi trauma tersendiri, Vanya menjadi linglung saat mendengar kabar tentang Devan yang mengalami gagal jantung. Mungkin dirinya terlihat seperti Vanya yang bisanya namun tidak ada yang tahu bahwa pikirannya saat ini benar-benar kosong.
Dengan perlahan Vanya mengendarai motor miliknya. Dia seperti robot yang bergerak sendiri. Sayang sekali dirinya adalah manusia, bukan robot dengan sensor yang bisa menghindar atau berhenti saaat ada benda yang menghalangi jalannya. Kecelakaan tidak bisa dihindari.
Semuanya gelap dan rasa sakit hanyalah yang dia rasakan. Bau rumah sakit yang dihafal sekaligus dibencinya terhirup saat dirinya bernapas. Perlahan dilihatnya sang eyang yang berada di kursi sebelah tempat tidurnya.
"E...." Tenggorokannya terasa menyakitkan meski hanya untuk mengucapkan sepatah kata.
"Vanya!" Kedua eyangnya segera mendekat dengan mata yang sembab.
Meski terasa menyakitkan tapi Vanya mencoba memaksakan diri untuk menghapus air mata dari pipi keriput Eyang Uti. Badannya terasa sakit seperti remuk karana terhantam benda keras tapi entah kenapa dia merasa damai. Untuk pertama kalinya setelah 9 tahun kematian Vaniya, Vanya merasakan ketenangan.
"Maaf....sayang...semua....surat....organ..."
Hal terakhir yang diingatnya adalah suara nyaring patient monitor. Suaranya sama persis seperti hari kepergian Vaniya dulu. Saat suaranya nyaringnya menghilang, Vanya melihat Vaniya. Vaniya dengan drees biru muda berkerah putih sama seperti yang dikenakannya. Dress itu adalah favorit keduanya saat masih kecil sekaligus pakaian terakhir sebelum Vaniya memasuki rumah sakit.
"Jadi, kita bisa main lagi nih?" Tanya Vanya dengan riang
"Bisa dong, kita malah bebas disini. Eh, tapi aku mau jenguk Mamah, Papah, Devan sama Eyang dulu. Bolehkan An?"
"Bolehlah, kenapa juga aku ngelarang Ni." Vanya menggandeng tangan Vaniya menuju pintu keluar ruangan putih itu.
Melangkah melewati pintu, mereka berdua bisa melihat keluarga mereka berkumpul di ruangan Devan. Ruangan kali ini bukan sepertri ruangan yang pernah mereka kunjungi. Disini terlihat lebih modern dan pemandangan di luar jendela bukanlah kota yang selama ini mereka tinggali.
"Wah, kita ada di Korea. Tapi sayang kita nggk bisa jajan disni." Vaniya melihat kendaraan berlalu lalang di bawah sana melalui jendela .
"Ni, katanya mau jenguk. Kok malah liat luar sih?"
"Iiiih An, nggak seru." Vaniya mengerucutkan bibirnya sebelum duduk di kasur tempat Devan duduk bersandar.
Vanya hanya menggelengkan kepalanya dan ikut duduk di seberang Vaniya. Keduanya memperhatikan keluarga mereka dengan cermat karena mereka tidak akan memiliki kesempatan ini lagi. Senyum kecil menghiasi wajah Vaniya sebelum dia bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. Vanya mengikuti kembarannya tanpa ragu dan berdiri disampinya.
"Udah lama nggak ketemu ternyata aku punya adik lagi ya?" Vaniya berdiri ditengah pintu dan masih memperhatikan keluarganya.
"Yah. Namanya juga waktu, pasti jalannya ke depan nggak mungkin kebelakang. Udah uuk, aku mau tidur ngantuk nih."
"Iya, iya dasar bawel." Meski terdengar marah tapi Vaniya menjawab dengan senyum jahil.
Keduanya bergandengan tangan dengan senyum riang. Mereka berdua keluar dari ruangan Devan dan berlari menuju koridor. Sekali usil tetaplah usil, Vanya dan Vaniya menyapa seorang remaja laki-laki yang tengah mendorong kursi roda seorang remaja perempuan.
"Bang, kok berhenti sih?"
"Abang disapa anak kembar barusan. Mereka juga nyapa kamu lho."
"Ha? Mana ada anak kembar lewat, bang. Ih, kayaknya bang laper. Udah balik aja."
Vanya dan Vaniya tertawa girang saat melihat ekspresi bingung remaja laki-laki itu. Mereka berdua kembali berjalan riang sambil mengayunkan tautan tangan mereka. Sesekali menyenandungkan lagu favorit mereka dan menyapa beberapa orang meski kebanyakan tidak ada yang membalas.
Berjalan dan terus berjalan sampai siluet merkea tak lagi terlihat. Kali ini Vanya dan Vaniya benar-benar pergi. Jiwa mereka tidak lagi hanya separuh, hidup mereka tidak pula hanya setengah saja. Saat ini mereka berdua sudah lengkap. Jiwa mereka sudah kembali bersatu. Vanya dan Vaniya telah bersatu kembali dalam keabadian.
Si kembar pergi tanpa menoleh ke belakang saat keluarga mereka tengah menangis lagi. Sebuah surat yang ditinggalkan Vanya bukan hanya membuat mereka bersyukur namun juga menyesal. Surat yang membuat mereka sadar akan kelalaian yang tidak sengaja dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncomplete Twin
Short StoryMemiliki saudara kembar memang menyenangkan. Bisa melakukan hal apapun bersama kapanpun dan dimanapun. Bahkan kalian juga bisa berbuat onar tanpa orang lain menyadari siapa pelaku yang sebenarnya. Tapi pernah kalian memikirkan bagaimana rasanya hidu...