3. Fate or Coincidence?

10 10 0
                                    

Malam sudah tiba, waktunya untuk para pegawai Lily’s Florist pulang. Cerah melambaikan tangannya pada Gina yang katanya dijemput oleh pacar barunya, sekalian mau kencan katanya. Sedangkan Andin menelpon pacarnya, Cerah duduk di kursi kasir menunggu Bumi yang sedang berkemas di kantor florist.

Sebenarnya jam kerja hanya sampai pukul tujuh belas tetapi karna mereka ingin menghabiskan waktu bersama terlebih dahulu, maka malam-malam begini barusaja pulang. Bumi juga baru datang satu jam yang lalu. Biasanya memang Cerah sering tinggal lebih lama di florist hanya untuk sekedar menghirup aroma bunga yang menyejukkan sekaligus menenangkan.

“Ah, aku duluan ya Cerah. Jo udah nunggu di depan,” pamit Andin yang sekarang memberesi barang-barangnya.

“Oh Mas Joko udah jemput?” Tanya Cerah.

“Ih jangan panggil Joko dong. Mas Jo gitu loh,” Andin mengerucutkan bibirnya.

“Kan emang namanya Joko,” ujar Cerah sembari memiringkan kepalanya.

“Ya udah deh khusus kamu. Aku pulang dulu ya Cerah! See you,” Andin meninggalkan Cerah sendirian.

Cerah berdiri dari duduknya lalu berjalan pelan menuju depan konter kasir. Cerah berdiri diam memejamkan matanya sejenak, insting Cerah mengatakan ada yang mengamatinya. Cerah percaya dengan instingnya maka dari itu Cerah melemparkan senyum lebarnya.

“Kenapa?” Cerah mengalihkan pandangannya ke arah kanan, tempat di mana sekarang Bumi berbica padanya. Cerah tersenyum lalu menggelengkan kepalanya singkat.

“Mau pulang sekarang? Ah atau mau beli martabak manis kesukaan kamu itu?” Tawar Bumi mengingat bagaimana lahapnya Cerah saat memakan martabak manis di tempat langganan mereka dari dulu.

“Boleh?” Tanya Cerah bersemangat. Sudah satu bulan lebih lidah Cerah tidak merasakan sensasi lembut dan berminyak martabak manis yang selalu menjadi kesukaannya itu. Bahkan jika diberikan martabak manis setiap hari, Cerah tidak akan bosan.

“Boleh dong, yuk!” Ajak Bumi yang langsung menggandeng tangan Cerah. Cerah mengikuti langkah Bumi yang menuntunnya. Penjual martabak manis itu tidak jauh dari Lily’s Florist, cukup berjalan kaki lima menit maka sudah sampai.

“Duduk sini. Aku pesen dulu,” mengikuti instruksi dari Bumi, Cerah mendudukkan dirinya di bangku kayu sedangkan Bumi memesan martabak.

“Itu cewek buta? Kasihan banget cowoknya,”

“Iya. Cowoknya ganteng kayak gitu eh ceweknya buta. Cantik sih tapi kalau buta buat apa?”

“Mending sama gue aja deh tuh cowok ya? Hahah,”

Sudah biasa.

Cerah sudah biasa mendengar omongan seperti itu. Baik saat sendiri maupun bersama Bumi seperti saat ini. Cerah berusaha tidak memasukkan ke dalam hati segala omongan yang didengarnya itu karena Cerah sadar, pada kenyataannya apa yang mereka sampaikan memang benar adanya.

Alih-alih menangis atau berwajah murung, Cerah malah tersenyum lebar dengan ekspresi wajah yang bahagia. Bahagianya Cerah itu sederhana, bisa menghirup udara segar saja Cerah sudah bahagia, ingatkan?

***

Malam memarkirkan motornya di basement apartemennya lalu berjalan santai ke unit apartemennya. Langkah Malam melambat beberapa langkah sebelum sampai di unitnya saat melihat seorang wanita dengan mini dress berwarna maroon berdiri di sana.

“Kamu tau nggak berapa lama aku nunggu kamu?” Tanya seorang wanita bernama Stella iku kesal pada Malam. Bertambah kesal saat Malam hanya diam saja, seperti biasa.

Let's See The Star TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang