“Lo yakin, ni cewek masih bisa diandalin?”
“Sumpah ya, Vin. Gua nggak habis pikir sama lo. Jelas-jelas tadi gua liat si Sela sama Intan ketemuan sama Rizal di kafe, udah pasti mereka itu kerja sama!” Entah apa yang sedang aku alami saat ini, namun rasanya seperti ada suara yang terdengar begitu nyata.
Tak hanya itu, seluruh tubuhku terasa sakit, kepala pusing dan mata sedikit berat hanya untuk sekedar terbuka. Bisa dibilang aku merasa seperti ketindihan. Tapi, yakali ketindihan bisa mendengar suara sampai sejelas ini?
“Kita bakal tahu setelah dia sadar. Kalo emang bener si Sela ada kontrak sama Rizal. Gua pastiin dia nggak akan pernah bisa bangun selamanya!” Seketika bulu kudukku meremang. Kok nyeremin?
“Alah! Kelamaan, Bos! Langsung bawa aja dia ke markas terus siram air biar bangun. Lagian ngapain juga sih dibawa ke rumah sakit segala. Ngabisin duit gua aja lo.”
“Lo mau protes?” Suara orang ketiga yang tadi berbicara, kali ini terdengar sedikit berubah.
“Hehe, bercanda.”
“Saran gua, kita kumpul bareng. Habis itu kita bahas setelah Sela bangun, gua nggak nyaranin kalian buat make kekerasan, gimanapun Sela itu cewek dan kita cowok.”
“Gua setuju sama saran Jastin.” Tu–tunggu? Jastin? Aku merasa jantungku justru berdetak lebih cepat.
Rasanya ingin tertawa sambil menangis, saking susahnya move on. Bahkan, nama mantan saja sampai terbawa mimpi. Sadar Sil, ini hanya mimpi, sampai kapanpun kamu nggak akan tahu wajah dia itu kayak gimana. Dia itu tukang ghosting, sedangkan kamu korban ghosting, sudah sepatutnya resiko pacaran virtual.
“Nggak bisa gitu dong! Inget, Rizal udah berulang kali mau nyelakain gua sama Jastin!”
“Udah-udah! Lo semua kalo berdebat kayak gini, justru bakal ganggu Sela. Ini rumah sakit, biarin dia istirahat.” Pria yang kutahu salah satu bos di antara mereka, seakan memberi arahan agar menjauh untuk melanjutkan perdebatan mereka di tempat lain. Sedangkan aku? Aku sudah tidak mendengar suara apapun.
Ruangan terasa cukup hening dan sunyi.
~oo0oo~
Cahaya putih tanpa tahu arah terasa cukup menyengat di penglihatanku. Aku berusaha membuka mata yang masih mengabur sambil sesekali mengeluh kala nyeri di kening menyerang begitu saja. Perlahan, aku mencoba untuk duduk dan mengumpulkan nyawaku kembali.
Aroma obat-obatan mulai tercium, selang infus, perban di dahi, serta ruangan bernuansa putih dengan jendela yang sedikit terbuka. Apa aku hilang ingatan? Nggak mungkin.
Coba kuingat-ingat. Namaku Sesil, umurku 18 tahun, putus sekolah demi nyari duit biar kaya, cita-cita jadi istrinya Cheng Yi, tapi muka pas-pasan. Aish! Aku nggak lupa kok, tapi kenapa aku bisa berada di sini?
Sejenak, aku mencoba memutar kembali memori. Ah iya, sebelumnya aku tidak sengaja menabrak pohon ketika naik motor setelah pulang dari pasar. Tapi siapa yang bawa aku ke rumah sakit? Bapak? Ibu? Nggak mungkin dong, jarak kami saja cukup jauh, karena aku sedang merantau. Mengubah nasib, sekalian berlayar mencari jodoh.
“Palingan salah satu warga yang bawa gua ke sini. Terus tinggal nunggu Bapak sama Ibu jenguk, beres deh,” gumamku seraya menoleh ke arah jendela berkaca gelap, namun pemikiranku tersingkirkan saat aku melihat wajahku dari pantulan kaca jendela.
“Kyaaaa!” Refleks aku berteriak histeris dan langsung menutup mulut serapat mungkin. Saat itu pula pintu rumah sakit terbuka dan memberiku pemandangan yang sangat tidak biasa.
Mulutku ternganga lebar. Enggak mungkin! Jelas-jelas ini bukan garis wajahku dan juga ... ngapain ada banyak cowok nangkring di depan ruangan?!
Eh, tap–tapi mereka ganteng-ganteng.
“Udah sadar lo?” Pria berbaju hitam polos dengan celana jeans berwarna hitam, namun bagian dengkulnya terdapat sobekan, berjalan mendekat ke arahku, sementara diriku celingukan ke kanan dan ke kiri. Sedang mencari apakah ada pasien lain di ruangan ini selain diriku. Tapi aku sadar dan sangat-sangat sadar bahwa ranjang di sini hanya ada satu dan itu sedang kutempati. Masa iya aku.
“Gu–gua?” Aku menatap polos sambil menunjuk diri. Aslinya mah, polos-polos bangsat.
“Iyalah, emangnya siapa lagi Lampir di sini selain elo, ha?!” Idih, ngegas. Nggak! Nggak jadi kubilang ganteng, dia jelek!
Jelek banget malah.
“Ngaku, Lo ada kontrak 'kan sama Rizal?!” Kali ini, cowok berkulit sedikit gelap dengan muka di bawah standar berjalan mendekat dan berdiri tepat di depanku. Tatapannya terlihat sangat garang.
“Ha?” Aku menatap mereka bertujuh secara bergantian. Ya! Jumlah mereka ada tujuh orang.
“Emangnya gua ada kontrak apa sama Rizal?” Jujur, aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang mereka katakan. Bisa dibilang kini aku seperti terjebak di dalam tubuh orang lain dan jiwaku terperangkap di tempat Sela, tubuh yang sedang kutempati.
Mereka semua saling memberi tatapan malas, bahkan ada yang mendesis kesal. “Jak, kayaknya ni cewek hilang ingatan deh. Rasanya pengen gua gibeng kepalanya sampe putus.”
Sialan!
“Ini.” Pria lainnya lagi berdiri satu langkah mendekat ke arahku. Aku meneguk saliva, tatapan sang pria terlihat berbeda dari teman-temannya. Sementara salah satu tangannya menunjukkan ponsel dengan casing pink imut bertema hello kitty.
Astaga! Tidak mungkin sekali cowok se-cool dia menggemari casing seperti itu.
“Di HP lo pasti ada rahasia kita yang mau ditunjukin ke Rizal, iya 'kan? Untungnya Rafan lebih dulu dapetin HP lo. Sela, kita udah ngasih lo kesempatan, tapi ternyata lo emang nggak tulus temenan sama kita.” Rafan? Kenapa aku seperti merasa mengenal mereka.
Namun, kepalaku mendadak kembali pusing saat kupaksa untuk mengingat. Sela, Rafan, Jastin, Intan dan juga Rizal. Mereka sangat familiar di telingaku.
“Jangan banyak drama mending lo ngaku sebelum terlambat.”
“Ka–kayaknya kalian salah orang deh. Gua mau pulang, Bapak sama Ibu udah nunggu di rumah, permisi,” kataku berpamitan. Ini adalah pertama kalinya aku bersikap sopan di depan pria, padahal sebenarnya ingin kugaruk wajah mereka pake cangkul.
Namun sepertinya, Dewi Fortuna tak berpihak padaku. Tubuhku di dorong hingga kembali tertunduk. “Untuk sementara ini gua sita HP lo. Tapi sebelum lo pergi, hapus dulu video Intan sama Elvin. Gua nggak mau rencana kita rusak gara-gara lo!”
“Ribet banget. Hapus tinggal hapus, ngapain harus gua segala yang lakuin? Gua mah bodo am—” Belum selesai berbicara, pergelangan tanganku dicekal sangat keras dan ponselku di letakkan di telapak tangan dengan kasar.
“Hapus!”
Melihat tatapannya, aku jadi terdiam dan mengangguk patuh. Seperti ... dihipnotis.
Mataku melotot lebar saat tombol power sudah kunyalakan. Masukkan kata sandi, tiga kata yang hampir membuatku pingsan di tempat.
Mati gua.
Aku tersenyum manis, gimana ya cara ngomongnya?
“Kenapa lo diem aja? Berubah pikiran?” tanya Elvin. Ya, setelah kuamati beberapa saat, dia yang paling condong dalam berbicara dan mengatur-atur temannya. Sok jadi bos banget. Namanya adalah Elvin.
“Hehe.” Aku menyengir. Mereka semua menatapku dengan tanda tanya dan kecurigaan yang besar.
“Gu–gua ... lupa kata sandi.”
“APA?!”
Sebenarnya bukan lupa sih. Tapi gua aja nggak tahu kata sandinya.
.
.
.Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Above Mystery
Teen FictionKorban ghosting, siapa sih yang tidak tahu istilah kata itu. Ya, semua orang pasti hampir pernah mengalaminya. Hal tersebut salah satunya menimpa seorang gadis bernama Sesil Aprilia. Karena kecintaannya terhadap Jastin-mantan pacar virtualnya yang m...