🥀 || 29

37 18 0
                                    

HAPPY READING! 🦋❤️

000

Dua hari kemudian...

Vano dan kedua temannya sudah bersiap di stasiun, menunggu keberangkatan. Mereka bertiga sengaja tidak membawa mobil, mengikuti ide Rio yang lebih memilih menggunakan kendaraan Sasa untuk perjalanan menuju pegunungan. Rio juga dengan tegas melarang Vano dan Chandra untuk membawa mobil masing-masing.

Chandra menenteng dua plastik kresek berisi camilan ringan dan tas besar yang tampaknya lebih berat dari dirinya sendiri. Ia melirik ke arah Rio dengan nada usil, "Lo nggak berniat bantu bawa tas gue, ya?" tanyanya sambil menatap Rio yang cuek.

Rio hanya meliriknya dengan tatapan kosong, "Mata lo buta? Gue juga bawa tas," jawabnya sambil menunjuk tas punggung yang tergeletak di lantai.

Chandra mendengus, "Tapi kan lo nggak bawa!" ujarnya kesal.

Rio melangkah mendekat, "Lo nggak pakai otak, ya? Udah tahu kita nunggu lama, malah tas lo bawa terus. Taruh aja di situ!" ucapnya dengan nada setengah marah.

Chandra membalas dengan gurauan tajam, "Ngomong aja lo nggak mau bantu! Lo emang nggak paham balas budi! Ibarat pepatah, AIR SUSU DIBALAS DENGAN AIR TUBA!" serunya, sambil meludah sedikit ke lantai.

Rio menatap tajam, mendekat, "Apa lo bilang? Gue nggak balas budi?!" jawabnya dengan suara yang meninggi, memancing perhatian orang-orang di stasiun.

"Gue udah ngelarang lo buat bawa barang sebanyak itu!" tegas Rio.

"Pokoknya lo nggak ngerti balas budi!" sentak Chandra.

"Lo aja yang ribet! Kayak emak-emak!" jawab Rio tanpa mau kalah.

Melihat kedua sahabatnya bertengkar, Vano memilih untuk diam, beranjak menuju tempat antrian. Ia sudah lelah dengan tingkah Rio dan Chandra yang seperti anak kecil.

"Benar-benar memalukan!" gerutunya dalam hati.

Vano memilih duduk sendiri, memasang earphone dan memutar lagu favoritnya, terkadang ikut bersenandung mengikuti irama yang mengalun. Ia duduk di kursi tempat antrian, melepaskan pandangannya ke atas dengan desahan kecil. Kalau saja mereka membawa mobil, mungkin sudah sampai tujuan.

Lagu yang sedang diputar mulai membawa ingatannya pada Inggit. Lima hari tanpa kabar, pesannya yang hanya centang satu, membuatnya khawatir. Matanya terpaku pada seorang gadis yang melambaikan tangan dari kejauhan, dan tanpa sadar, hatinya berdebar. Saat gadis itu berlari menuju tempat Vano duduk, jantungnya serasa berhenti berdetak. Itu adalah Inggit, kekasihnya.

Inggit tiba di depan Vano, masih melambaikan tangan kanan, sambil tersenyum cerah. "Kak Vano, ini aku Inggit," katanya dengan ceria, namun Vano hanya diam, terdiam dalam kebingungannya.

"Hey! Ini aku, Inggit!" serunya dengan kesal, mencoba menarik perhatian Vano. "Udah lupa sama aku?"

Vano tetap diam, menundukkan pandangannya.

Chandra dan Rio yang melihatnya segera mendekat. Rio tersenyum sambil berbisik, "Lo udah keduluan, nih. Jangan pura-pura, gue tahu kok, lo pasti pengin peluk Inggit!" katanya sambil sedikit mendorong Vano.

Ucapan Rio membuat Vano tersadar, ia menoleh ke arah Rio dan memang benar, Inggit ada di sana, berdiri di samping sahabatnya. Ini bukan mimpi.

Namun Vano hanya memasang wajah datar, tanpa senyum sedikit pun.

Inggit yang melihat reaksi itu terdiam. Hatinya ragu, apakah dirinya telah melakukan kesalahan yang membuat Vano menjauhinya?

Chandra, yang merasa suasana semakin kaku, mencoba mengubah topik, "Eh, Inggit, lo baik-baik aja kan?" tanyanya dengan senyum manis.

Inggit mundur selangkah, meletakkan tasnya di lantai dan mencoba tersenyum, "Alhamdulillah baik," jawabnya, meski terlihat agak gugup.

"Lo kesini sama siapa?" tanya Rio, tak ingin terlihat terlalu serius.

Inggit sedikit ragu sebelum menjawab, "Aku tadi naik taksi," katanya sambil menyembunyikan kegugupannya.

Rio hanya mengangguk, kemudian melirik Vano, "Pacar lo udah datang nih. Nggak usah sok dingin, gue tahu kok, lo pengin banget peluk dia!" ledeknya sambil sedikit mendorong bahu Vano.

Inggit terdiam. Apakah dirinya terlalu mengganggu? Ia berusaha untuk sabar, melirik Vano yang tetap terdiam dengan tatapan kosong.

"Kak, aku penting nggak di kehidupan kak Vano?" tanya Inggit, dengan suara yang hampir tak terdengar.

Vano tetap diam, menatap lurus ke depan, seakan tidak mendengar. Hatinya dipenuhi kebingungan dan kemarahan yang tercampur jadi satu.

"Maafkan aku, kak, beberapa hari ini aku nggak ngabarin kakak," ucap Inggit dengan nada menyesal, tapi tetap tak ada reaksi dari Vano.

Hati Inggit semakin sesak, merasa dirinya benar-benar terabaikan. Ketika ia berusaha bangkit, langkahnya terhenti. Sebuah tangan menggenggam erat pergelangan tangannya, menghentikannya untuk pergi.

"Duduk!" perintah Vano dengan suara tegas, matanya tajam menatap Inggit, namun sulit untuk diartikan.

"Ingin pergi?" tanya Vano dengan nada dingin, namun tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.

Inggit menoleh dan dengan suara pelan menjawab, "Aku kemarin..."

Namun, Vano yang tampak kecewa menghentikan kalimat Inggit dengan tatapan tajam, "Kalau udah bosen sama gue, bilang. Gue nggak suka lo sok-sok suka, tapi sebenernya bosen."

Inggit terdiam. Hatinya merasa dihantam keras, tak mengerti dengan kata-kata Vano yang begitu menyakitkan.

"Kalau kakak kecewa, aku minta maaf," ucap Inggit dengan suara bergetar.

Vano menatapnya dengan senyum tipis, namun sorot matanya tetap terasa hampa.

Keheningan menyelimuti mereka berdua, hanya suara kereta dan desiran angin yang menemani.

Tiba-tiba, Rio datang berlari dengan napas terengah-engah, "Sasa nggak jadi kesini!" serunya, menyebabkan Vano menoleh cepat dengan kening berkerut.

"Maksud lo?" tanya Vano, suara sedikit meninggi.

"Sasa udah berangkat tadi malam," jawab Rio, sambil mengatur napasnya yang masih tersengal.

SEE YOU NEXT CHAPTER


SEPOTONG HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang