Happy raeding, jangan lupa untuk follow dan vote yah.
Sudah satu bulan berlalu Yogi meninggalkan rumah, janjinya tak ditepati kembali.
Padahal Ibrahim tahun ini akan masuk sekolah pertamanya, sebenarnya Ibrahim belum cukup umur namun hampir setiap hari dia merengek ingin masuk sekolah dikarenakan dia sudah pandai membaca dan menghitung.
"pak Nana tolong ya Ibrahim biar bisa masuk tahun ini, dia nangis mulu pengen sekolah". Tutur Sopiah berusaha bernegosiasi kepada salah satu guru.
Dengan peraturan sekolah yang telah di tetapkan agar umur siswa yang hendak masuk di umur 7 tahun, namun Ibra masih umur 6 tahun.
"hm gimana yah bu". Jawab pak Nana sembari merautkan dahinya.
"ga apa-apa deh jadi anak bawang juga yang penting dia bisa masuk sekolah, kalaupun gak dinaikin setahun juga ga apa-apa. Anaknya ngerengek terus soalnya". Lanjut Sopiah.
"yaudah deh ga apa-apa kalo gitu". jawab pak Nana sembari tersenyum.
Tibalah di hari pertama Ibrahim sekolah, dia tampak bersemangat dengan tas barunya.
Namun dihari pertamanya Ibarim sekolah, Sopiah sudah berencana akan ke Bandung untuk menyusul Yogi karena tak kunjung pulang.
"assalammualaikum". Ucap Sopiah mengetuk dan memberi salam di rumah Aminah (ibunda Sopiah).
"waalaikum salam". Jawab adik Sopiah yang bernama Yuni.
"mamah mana yun?". Tanya Sopiah sembari matanya mencari keberadaan Aminah.
"mamah lagi tidur teh, bangunin aja ada dikamar". jawab Yuni sembari mengajak masuk.
"ah ga usah biarin, ini teteh mau titip Ibra insyaallah besok pagi mau ke Bandung sama Zulfa". Jawab Sopiah.
"iyah ga apa-apa Ibra disini aja, lagian dia mah apet(akrab dalam bahasa sunda) ini sama Yuni". Jawab Yuni sembari menaikan kedua halisnya dan menatap Ibra.
"yaudah teteh langsung pulang aja yah". Sopiah beranjak dari duduknya lalu berpamitan.
"iyah teh hati-hati yah". Jawab Yuni sembari menyalaminya.
"Ibra jangan nakal yah, mamah sama teh Zulfa pergi dulu". Jawab Sopiah sembari memegang kedua bahu Ibra.
"iyah mah". Jawab Ibra sembari menyaliminya.
Bermodal alamat di surat weselpos Sopiah berangkat dengan Zulfa.
Hatinya tak tenang bahkan semenjak perjalanan Sopiah tak tidur, Sopiah hanya memandang jalan dan sesekali memandang Zulfa yang sedang tertidur pulas.
"apa kalian bakal ngerasain dampak perceraian yah?". Gumam Sopiah sembari menatap Zulfa.
Pertanyaan ini sering terulang-ulang di benaknya, bahkan beberapa saat membuatnya tidak bisa tidur oleh pertanyaan tersebut.
Tak terasa air matanya jatuh, Sopiah membuka dompet yang berisikan foto berdua dengan Yogi ketika di Ancol.
Terlihat Sopiah dan Yogi menaiki jetski dengan senyum ikhlas dikedua wajahnya.
"aku ga nyangka kamu bakalan berbuat kaya gini". Gumam Sopiah sembari meletakan foto didada.
Bus yang dinaikinya kini sudah sampai terminal, terlihat polisi paruh baya sedang berdiri di dekat bangunan berwarna bau-abu dan biru yang bertuliskan "Terminal Cimindi".
"pak maaf kalo ke alamat ini naik angkot yang mana yah?". Tanya Sopiah sembari memperlihatkan tulisat yang berisi alamat lengkap.
"Cimindi yah?, angkot warna biru yang itu teh". Jawab pak polisi sembari menunjuk kumpulan angkot warna biru di sebelah barat.
"makasih yah pak". Jawab Sopiah dengan senyum sembari menundukan kepala.
Dipojok kanan dekat denan supir Sopiah dan Zulfa duduk, tak banyak yang berada didalam angkutan umum pada saat ini.
Tatapnya terfokus kepada satu keluarga kecil dengan sepasang suami istri dan anak umur 5 tahun didepannya.
Badannya seakan berat seolah dibahunya berada batu besar yang sedang Sopiah pikul.
"apa yang harus aku lakukan?, apa aku harus marah didepan isteri barunya?, Apa aku harus mengamuk?. Namun jika aku melakukan semuanya apakah masalah akan segera selesai?". Pikir Sopiah dilema.
Zulfa anya duduk terdiam dan sesekali melirik Sopiah seolah Zulfa paham akan kondisi keluarganya saat ini.
"sok mangga teh atos dugi (silahkan teh sudah sampai)". Ucap pak supir yang memecahkan lamunan Sopiah.
Terlihat warung sederhana dengan kayu di pinggir jalan, pria paruh baya dengan menggunakan kaos oblong di ablut sarung kotak-kotak berada di depannya sembari memegang secangkir kopi dan rokok.
"asslammualaiku maaf pak mau numpang tanya, kenal sama orang ini ga?". Tanya Sopiah sembari memperlihatkan foto Yogi.
"waalaikum salam. ini mah Yogi ya?, sok duduk dulu atuh!". Jawab bapak paruh baya sembari bergegas masuk kedalam.
Sopiah kebingungan dengan tingkahnya.
"sok diminum". Sembari memberikan dua gelas air.
"ini sodaranya yang dari Sukabumi atau Bogor?. Saya bapa endang kenal sama Yogi mah". Lanjutnya bertanya.
"dari Sukabumi pak kita, ini segala ngerepotin atuh". Jawab Sopiah.
"gak apa-apa, Yogi mah disini udah saya anggep sodara. Dia mah orang baik tukang adzan, suka jadi imam, suaranya bagus lagi. Saya jadi seneng kalo ada sodaranya yang dateng tuh. Nah kemaren juga ada sodaranya yang dari Sukabumi juga kan? Ini ibu pasti pengen ngejenguk dede bayinya Yogi?". Jawab pak Endang.
Sopiah terdiam sejenak seakan bingung apa yang harus dia rasakan, entah bangga karena masyarakat memuji Yogi atau kecewa karena penghianatan Yogi ternyata benar.
"Alhamdulillah yah pak kalo kaya gitu". Jawab Sopiah dengan senyum.
"bapak tau rumah Yogi? Bisa anter kita ga yah?, soalnya saya juga baru pertama kali kesini". Lanjut Sopiah tanpa basa-basi.
"iyah bisa atuh, tapi mending makan dulu atuh disini. Meni sok kos kasasaha wae (kaya kesiapa aja deh)". Jawab pak Endang.
"engga usah pak kita udah makan dijalan". Jawab Sopiah sembari bangkit dari duduknya.
"yaudah sebentar ya, bapak titip warung dulu". Jawabnya sembari bergegas ke belakang warungnya.
Seperti seseorang yang sedang kagum, pak Endang terus menerus membicarakan kebaikan Yogi sembari berjalan beriringan dengan Sopiah dan Zulfa.
"tuh Yogi, Yogi Yogi". Tunjuk pak Endang sembari berteriak kepada pria bermotor RX-KING warna biru.
Terlihat Yogi dengan wajah kaget melihat Sopiah dan Zulfa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecah
Non-FictionTrue story (Berdasarkan kisah nyata) Tempat dan kejadian nyata hanya nama saja yang di samarkan. Tentang seorang hamba yang berusaha taqwa dari segala cobaan yang ada