Aku menghadang pria yang menjadi sumber masalahku saat ini. “Maksud lo apa-apaan bilang ke Savira kalau gue mampu ngerjain tugasnya dia?” Aku mendecak. “Lo pikir gue jenius apa?”
“Buka wajah lo!” Bukannya menjawab pertanyaanku, Aydan malah memerintahkanku hal lain.
“Enggak!” Aku memalingkan wajah.
“Buka!” Pintanya dengan sedikit memaksa.
“Lepasin tangan lo. Gue nggak mau buka jaket ini!” Aku berusaha menjauhkan tangan Aydan dari simpulan kerut jaket.
Selamat! Aydan berhasil. Kerutan jaket ini perlahan menampakkan wajahku yang masih tersisa kemerahan. “Siapa yang ngelakuin hal ini ke lo?” Tatapan Aydan yang intens begini, membuatku tersudut.
Jujur, aku malu sekali.
Lagi burik gini malah diliatin sama Aydan kayak gitu. Ya ampuuuun. Pengen menghilang ke Mars aja deh. Biar nggak dilihat sama dia lagi.
“Apa peduli lo? Lagian nggak usah mengalihkan pembicaraan deh. Sekarang jawab gue kenapa lo pede banget ngomong ke Savira kalau gue jago belajar. Lo mau membuat gue jadi korban bullyan dia di sekolah, iya?”
Aku tak memperdulikan tentang panggilanku yang seharusnya ‘kakak’ pada perempuan yang mengacaukanku hari ini.
Aydan mengambil buku Savira yang ada di tembok pembatas antara rumahku dengannya.
“Okey, kalau lo nggak mau jawab, nggak apa-apa. Buku ini, justru gue sengaja mengatakan hal itu dengan Savira supaya lo bisa balas dendam sama orang yang sudah melakukan ini semua ke lo!”
Aku mengangkat wajah kembali. “Maksud lo apa?” Tanyaku cepat.
“Lo nggak usah ngelak lagi. Memar tangan lo kemarin karena dipukul Mutia, ‘kan?”
Ah, iya, waktu aku berpapasan sama Aydan di lorong kelas XII dia sempat menanyakan apa yang terjadi dengan tanganku. Aku malah membohonginya.
“Lo tahu dari mana?”
“Dan lo juga dateng pagi-pagi buat ngebersihin meja mereka, ngelakuin semua hal yang dikatakan mereka dalam tiga hari hanya karena kesalahan yang nggak lo sengaja. Emangnya lo udah jadi jagoan, ngerasa bisa ngelakuin semua perintah dakjal Savira itu?”
Keningku mengernyit. Padahal aura Aydan tadi sangat bahagia menatap Savira. Seolah cintanya masih bersemi pada gadis yang sudah jadi mantan kekasihnya itu. Tapi, kenapa saat ini dia malah membongkar aib dan mengatainya dengan sebutan ‘dakjal?’
Aku diam membisu. Otakku masih mencerna jawaban yang tepat untuk kuutarakan atas pembenaran dari kebodohan yang kulakukan.
“Dan tadi, lo disiram pakai cat merah, mana permanen lagi. Wajah lo udah mirip kayak buto merah tau, nggak.”
Aku tak mampu menyembunyikan gelak. Detik itu aku tersenyum geli.
“Nggak usah ketawa! Emang bener kan?” Ceramah Aydan kali ini mengalahi pidato presiden dalam pembukaan KTT ASEAN. Panjang luar biasa.
“Lo kok malah ceramahin gue sih. Gue capek banget hari ini. Please! Biarin gue istirahat.”
“BENTAR DULU!”
Aku terkesiap. Kutatap mata cowok yang lebih tinggi dariku ini lekat-lekat.
“Apa lagi?” Aku menghela napas.
“Lo harus segera menyelesaikan kebodohan ini. Dan buku ini, gue anggap sebagai jalannya.”
Aku menerima buku yang disodorkan Aydan. “Balas dendam apa? Gue nggak mau lagi berurusan sama dia, Aydan. Lo aja sana yang ngerjain. Gue capek, mau tidur!”
Aku memberikan buku Savira kembali pada Aydan.
“Renata! Dasar, ya. Lo emang siswi paling bodoh yang gue kenal.”
Aydan maju selangkah. “Lo pikir gue ngajakin dia ke kosan kita ini tanpa maksud dan tujuan tertentu?”
Dia menyentil dahiku. “Ya enggak lah. Gue sengaja bawa dia kesini supaya dia masuk ke umpan gue. Sejak kemarin gue ditelepon oleh Cindy, gue udah nyusun rencana buat balas dendam ke Savira.”
Aku menyela. “Oooh, jadi yang mulutnya bocor di sini itu, Cindy. Awas aja anak itu. Tunggu bagian dia!”
“Lo jangan marahin dia. Justru dia udah baik mau bantuin lo buat bangkit. Jangan mau jadi pesuruh orang lain hanya karena kesalahan yang seharusnya sudah beres dengan permintaan maaf.”
“Jadi, maksud lo apa?” Tanyaku lekas.
Jujur saja, aku tertegun saat Aydan mau membantuku membalaskan kegeramanku pada Savira.
“Lo hancurin aja tugas Savira supaya dia bisa dapet nilai yang merah dengan begitu dia akan dipanggil oleh guru dan diceramahi. Gue yakin dia bakal kapok dan nggak akan gangguin lo karena lo adalah gadis pemberani.”
Aku hanya terdiam. “Bentar, gue minum dulu.” Kuteguk sebotol air mineral yang kutenteng sejak tadi.
“Oh, jadi lo mau gue dihajar habis-habisan sama dia, iya, begitu?”
Aku berpaling. “Ogah, gue. Yang ada itu malah nambah masalah, Aydan.”
“Enggak. Justru hal itu jadi ultimatum buat Savira. Lo tau apa? Gue udah ambil salinan rekaman cctv sekolah saat kalian tabrakan, dan saat lo disuruh ngepel di kelas mereka semalam.”
Aku terkejut. “Di lokal mereka ada cctv juga?”
“Enggak. Tapi, rata-rata anak sekelas mereka emang malas banget sama Savira. Hal itu mereka manfaatkan untuk ngerekam semua kejahatan Savira dan dilaporkan ke guru. Mereka belum punya bukti kuat. Makanya hal ini yang jadi penentunya.”
Aydan mengeluarkan ponselnya yang ternyata merekam semua perkataan Savira meminta tugasnya untuk dikerjakan olehku yang ia beri upah.
Seketika senyumku terangkat. “Ternyata lo bisa diandelin juga, yah!” Hatiku seketika menghangat.
“Makasih banget Aydan. Lo baik banget sama gue.” Aku menatapnya dengan mata berbinar.
“Sama-sama. Sekarang waktunya ngerjain tugas.” Aydan memberikan kembai buku itu padaku.
“Lo bebas mau nulis apapun di sana. Boleh ledekan, cacian, makian atau ceramah panjang lebar kayak gue ini.”
Aku tersenyum lega. “Makasih sekali lagi, Aydan. Gue nggak tahu harus ngomong apa ke lo.”
Cowok itu mengibaskan tangannya. “Santai, ah. Lo kayak sama siapa aja.”
“Ngomong-ngomong, kenapa lo benci banget sama Savira? Bukannya dia adalah mantan pacar lo, ya?”
Aydan tertegun sejenak sebelum mengembuskan napas berat.
“Gue pernah disakitinya. Jadi gue mau balas dendam juga sama dia.”
Aku terdiam. “Emangnya dia ngelakuin apa sama lo?”
Mendengar itu, Aydan mengacak rambutku. “Udah, ah. Jangan kepo baymax merah.” Dia terkekeh.
“Aku mencubit perutnya yang datar. “Apaan sih, geer banget. Siapa juga yang kepo. Sorry, ya. Nggak level banget bahas begituan tentang dia.” Kugulung buku gadis itu dan memukulkannya ke Aydan.
“Udah, gue mau masuk, istirahat. Lo jangan lupa makan, ya.”
“Gue belum makan nih. Makan siang bareng yuk.”
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku menolak. “Enggak, deh. Gue lagi capek banget. Pengen rebahan dan istirahat.”
Aku meninggalkan Aydan sambil membawa buku Savira. Entah apa yang akan dia pikirkan, yang jelas aku tak mau.
Selesai bersih-bersih aku melompati ranjang. Meregangkan otot adalah cara merefresh tubuh agar segar kembali. Itu sangat nikmat dilakukan. Apa lagi pas
KAMU SEDANG MEMBACA
BADBOY KAMAR SEBELAH
Teen FictionCERITA INI MURNI KARYA AUTHOR. DILARANG KERAS PLAGIAT. NERAKA MENUNGGUMU! Renata Tsalisatunnisa memutuskan untuk pergi dari rumahnya karena sang ayah membawa istri baru ke rumah mereka. Ia memilih untuk hidup mandiri dengan mengkos di salah satu kos...