“Cindy, lo mau kemana? Gue ikut, dong.” Aku berlari mengejar sahabatku yang berjalan tergesa-gesa. Sekarang lagi jam istirahat, banyak siswa-siswi yang memenuhi koridor lantai dua ini.
“Cindy ….” Aku memekikkan namanya untuk kedua kali namun hasilnya nihil. Gadis bermata sipit itu berjalan sangat cepat menuruni tangga.
“Mau kemana sih, dia. Tumben banget misterius gini,” desisku sambil berlari pelan memotong keramaian.
Setiba di lantai satu, aku tak mendapati orang yang kumaksud. Mataku menyenter seluruh sisi lapangan tetap tak ketemu juga.
Dari arah jam sembilan, aku melihat Dita berjalan dengan langkah besar. Tatapannya lurus tertuju padaku.
“Sini, lo!”
Aku yang tak tahu menahu, menurut saja dengan tarikan dari tangan Dita.
“Kita mau kemana?” Kutanya ke gadis berperawakan pramugari ini. Rambutnya selalu rapi tergulung dengan jepitan rambut bertabur permata.
“Semua ini gara-gara, lo. Lo harus tanggung jawab!” Aku semakin bingung dengan pernyataannya yang sangat tegas.
Langkah besarnya membawa kami sampai ke belakang gedung kesenian. Di sana, sudah ada Savira, Mutia dan Cindy. Pantas saja aku tak menemukan jejak Cindy. Pasti dia tadi mengambil jalan potong dari celah gedung perpustakaan.
“Ini dia biang keroknya datang!” Ujar Savira dengan nada dan wajah yang angkuh.
Detik itu juga, aku terlempar karena dorongan Dita. “Aawwh …. Lo udah gila, ya!” Tegasku ke Dita. Gadis itu hanya memelototiku tak menyahut.
“Kurang ajar lo, ya. Berani-beraninya lo kerja sama dengan Aydan buat meras gue.”
Degh!
Jantungku seolah diremas oleh seseorang. Aku tahu arah pembicaraan ini.
“Saya nggak tahu tentang pemerasan. Waktu sore itu, murni urusan Aydan. Saya tidak tahu sama sekali,” kataku menjelaskan ke Savira agar dia tak salah paham.
“Nggak usah ngeles lo. Gue tahu kedok kalian. Berpura-pura pake jaket buat nutupin muka jahat lo itu, kan!” Savira mendecih. “Munafik, lo!” Tambahnya lagi.
Aku hanya terkesima melihatnya marah-marah seperti itu. “Mana duit gue, balikin!”
Savira merogoh saku seragam dan rokku secara brutal. Aku sangat tidak nyaman dengan ini semua hingga keberanianku hadir tiba-tiba.
“Lo bisa sopan, kan?” Kuhempaskan tangannya yang menyentuh area dadaku yang kurasa tak lazim. Rasa hormatku hilang bersama dengan dirinya yang bertingkah kurang ajar.
“Oh, jadi lo nantangin gue?” Savira mulai menambah intonasi suaranya. Aku tak panik. Sesuai obrolanku dengan Aydan kemarin, bahwa aku tak akan tersulut oleh anjing berisik mirip Savira ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADBOY KAMAR SEBELAH
Fiksi RemajaCERITA INI MURNI KARYA AUTHOR. DILARANG KERAS PLAGIAT. NERAKA MENUNGGUMU! Renata Tsalisatunnisa memutuskan untuk pergi dari rumahnya karena sang ayah membawa istri baru ke rumah mereka. Ia memilih untuk hidup mandiri dengan mengkos di salah satu kos...