▪︎▪︎▪︎
Seumpama perselisihan dengan Lisa diibaratkan obat, Jennie mungkin bisa mati karena overdose. Saking berulangnya tiap hari, Jennie hampir saja gila menyikapi bagaimana lelah dan luka yang saling mereka lempar. Untungnya, semalam dia bisa kembali berbicara dengan wanita itu. Menjelaskan sekaligus meminta maaf atas keteledoran dirinya dalam menyepelekan waktu untuk hubungannya.
Jennie tahu, belakangan ini mereka tidak punya waktu berdua. Saking sibuknya job yang mengikat Jennie, sampai rasanya dia sulit hanya untuk sekadar seharian di apartemen. Beda lagi dengan kekasihnya itu. Lisa hanya terikat satu kontrak kerja yang mana akan lebih banyak waktu luang barang untuk beristirahat atau bermain keluar.
Lisa tidak pernah tahu jika mati-matian Jennie juga mencari celah agar waktunya dapat terbagi dengan baik. Tapi, apa boleh buat saat dia tak dapatkan itu? Ini bukan keinginan Jennie. Karena impiannya sama-sama saja sebagai perempuan yang sama mencintai, yaitu; menghabiskan waktu sebaik mungkin dengan kekasihnya. Karena Jennie takut, semakin lama, semakin habis masanya.
Coba bayangkan, ini weekend, tapi pekerjaannya masih menjebak Jennie di ruangan. Mana dia datang pukul 7 tepat. Belum sempat sarapan, bahkan Lisa saja masih ngorok di kamar, ini pun Jennie pergi mengendap-endap karena dia tak tega membangunkan napasnya yang sedang nyenyak. Banyak data-data yang tiba di sana, dan harus Jennie selaraskan dalam dokumennya.
Mau sampai jam berapa-pun sepertinya Jennie tidak akan mendongak jika tidak ditegur seseorang.
"Miss. Jennie?" Mbak Fajri nongol dari balik pintu. Jennie praktis mendongak dan melepas kacamatanya sejenak.
"Ya, Mbak?" Jennie melempar senyum, begitupun Mbak Fajri yang langsung masuk sembari membukakan pintu.
"Hari ini ada jadwal pemotretan, masih ingat dengan pihak pemilik jewerly-nya?" Angkatan alis Mbak Fajri mengundang tanda tanya Jennie jua. Apalagi mengejutkannya saat seseorang masuk.
"Halo!"
"Kak Irene!" Jennie bangkit dari kursi. Perempuan itu langsung berlarian menghampiri Irene. Dan mereka berdekapan erat, membuncah rindu satu sama lain. "Long time no see, kemana aja?"
"Gue nggak kemana-mana selain di toko. Selain itu, lo sendiri yang minta desain kalung untuk pemotretan lo. Lupa?" Sedetik, Irene mendorong pelukannya hanya untuk menarik hidung Jennie. Lantas kembali lagi mereka berpelukan.
Mbak Fajri cuma bisa cengar-cengir aja lihat dua bidadari lagi berkumpul. Dari awal dia dipanggil resepsionis bahwa ada seorang tamu yang hendak bertemu atasannya, dia langsung turun ke bawah. Maha hebat keterkejutannya saat ditemui dengan perempuan sekelas Irene. Dia yang sudah terbiasa melihat kecantikan Jennie harus pingsan lagi melihat orang ini. Definisi di atas langit masih ada langit. Memangnya, ada ya orang secantik ini di dunia? Batinnya bergumam disaat memandangi persatuan wajah mereka.
"Jisoo apa kabar? Udah lama banget gue nggak ketemu dia." Tanya Irene seraya memberi ruang setelah berdekapan.
"Kak Chu masih di Korea. Lagi padet tawaran syutingnya." Jennie menyipitkan mata dan senyumnya.
"Okay... sekarang, kita langsung berangkat aja?" Irene ikut menyipitkan mata.
"Let's go!" Seru Jennie. Perempuan itu praktis berbalik hanya untuk mengambil tasnya yang tersampir di sudut gantungan, kemudian tak lupa meminta Mbak Fajri agar keluar lebih dulu. "Mbak, duluan aja. Kita berangkat pakai mobil saya."
"Nggak pakai mobil kantor, Miss?"
"Nggak usah." Jennie menggeleng.
Sesaat Mbak Fajri langsung melengang sendiri, Jennie menggandeng tangan Irene keluar ruangan. Hal pertama yang langsung mengundang para mata menoleh padanya. Menanggapi itu, Jennie tak bisa menahan rasa gemasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What If | Jenlisa✔
Fiksi Penggemar(E-BOOK ONLY) Jika Lisa diberi satu kesempatan untuk kembali ke masa lalu, hal yang paling ingin Lisa perbaiki adalah dirinya sendiri. Cara percayanya pada Jennie, kasih sayangnya yang besar, permohonannya, dan kepulangannya. Lisa ingin pulang dan m...