7| Boston Cafe

15 2 0
                                    

"Aku merasa, sebelumnya kita sepertinya pernah bertemu, di suatu tempat yang jauh." 

 Kemudian kursi kosong disebelah ku ditarik mundur dan bokong seorang lelaki menghujaninya. Mengisi segala ruang dingin dalam kayu kusen itu. Aku mengerjap beberapa saat, seakan roh diseret angin pendingin ruangan yang berlalu sebelum akhirnya kembali dan tersadar, aku buru-buru merapikan barang yang bergeletakan di meja kami, kayu panjang yang menempel pada kaca jendela besar transparan dimana salju berderai diluar sana. Dingin yang beku jalanan diselimuti oleh kehangatan lagu live action dalam café bernuansa retro persimpangan jalan seberang Sungai Charles dari distrik Back Bay, Boston. 

 "Maaf," Kataku sembari memasukkan binder dan beberapa alat tulis ke dalam totebag sedang lelaki itu hanya mengangguk santai. Sosok itu tak berbicara apa-apa lagi selain menikmati senyapan minuman kopi panasnya—kutebak dari gelas plastic yang polos, kecil, dan khas milik café ini. 

 "Dari Indonesia juga?" Itu kalimat pertama yang kulontarkan. Lelaki itu tersentak sedikit mundur, bergeming cukup lama. Kemudian dia tergelak. Suara tawa yang benar-benar nyaman untuk didengar. Cukup membuatku tersipu. "Mengapa tertawa?" Tanyaku ragu.

 "Bukan apa-apa. Nggak salah juga. Aku memang dari Indonesia." Lelaki itu menatapku tepat di bola mata, membuatku tenggelam dalam lautan obsidiannya. "Kerja? Kuliah? Atau dua-duanya?" 

 Aku sontak mengerjap, menaikkan sebelah alis, bertanya seakan bagaimana lelaki itu bisa menebaknya, namun lelaki itu segera menjawabnya dengan sundulan dagu yang menunjuk layar laptopku berisi codingan program database. Aku segera ber-oh ria. "Opsi ketiga. Part time sebagai sains data di start-up Indonesia sekaligus S2 di MIT jurusan business." 

 "Luar biasa." Hanya itu saja komentarnya. Sedang aku larut dalam meneliti seluruh inci wajahnya, alis yang tebal, hidung mancung, bibir tipis, dan lesung pipit timbul setiap kali ia tersenyum maupun menyesap kopi, ia kembali menatapku kembali. Segera aku membuang muka. 

 "Ngomong-ngomong aku minta maaf karena tiba-tiba mengajak bicara, just in case kau ingin mengatakan aku orang aneh." Tawanya miris. "Hanya saja aku merasa wajahmu tidak asing." 

 "Namaku Shafa. Kamu?" Potongku cepat. 

 "Raga." 

 Napasku tercekat. Kini memandang wajahnya lagi-lagi lebih lekat. Gestur, rahang, dan struktur wajah yang tampak familiar. Nama yang rasanya pernah diingat jauh-jauh sekali. 

 "Apa yang kamu lakukan disini Raga?" Tanyaku penasaran. 

 "Bisnis. Tadi meeting sama beberapa klien di kursi sana." Tunjuknya ke kursi bunderan di pojok ruang café lainnya. "Aku melihatmu cukup lama." 

 Aku mengangguk paham. "Ya, kurasa kita pernah bertemu." 

 "Benarkah?" Kini giliran lelaki itu yang menatapku sedikit tak percaya dan kaget. Aku tertawa renyah, "Iya, Raga. Kamu familiar."

Kemudian senyum manis itu timbul dari wajahnya. Raga menyesap kembali kopinya dan memandang jalanan luar bersalju yang seakan menghangat hanya dengan tatapannya. "...begitu ya." 

 "Berapa umurmu?" 

 "Dua puluh empat, kamu?"

 "Ya, sama."

 "Benarkah?" Aku terperanjat. Raga melirikku sambil terkekeh dan mengangguk. 

 "Mukaku ketuaan ya?" Aku menggeleng, "Perawakanmu kayak bujangan yang sudah melewati banyak hal."

 "Aku nggak bilang itu salah," Raga tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu kira aku umur empat puluh tahun?" 

 "Kamu pakai jas begini sih, tiga puluhan lah ya." Raga tergelak hingga mengusap air mata yang tercuat sedikit disudut kelopaknya. Aku tersipu malu. Kemudian lelaki itu menatapku lamat-lamat. "Asal kota mana?" 

INSIDE [PROMPT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang