2. Pelancong

63 38 78
                                    

🐠🐠🐠

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐠🐠🐠

"Kenapa lama sekali?" Ucap polisi yang berjaga di depan rumahku.

"Di toko itu sangat ramai, aku bahkan tidak bisa memotong antrean."

Ternyata aku pandai mengelak.

"Begitukah? Ibumu terlihat mencemaskanmu."

"Aku bahkan tidak pergi sampai satu jam, ini untukmu Pak!" Ucapku seraya menyodorkan sekantung makanan kepada kedua pria itu.

Baru saja ku buka pintu, ibu langsung menerjangku.

"Darimana saja kamu?"

"Aku pergi membeli ini."

Namun ibu terlihat sangat marah, ia bahkan melempar kantung hitam itu.

"Bukankah ibu sudah bilang, jangan keluar! Kenapa pergi keluar?"

Nada suaranya kian meninggi.

Aku tak bisa berucap sepatah kata pun, ya kuakui aku memang bersalah.

"Apa kamu terluka? Kenapa pakaianmu kotor seperti ini?"

Sekali lagi ia mengomeliku. Ayolah ibu, aku tidak apa-apa. Bukankah dengan aku kembali tanpa luka sedikit pun artinya baik-baik saja? Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

"Kamu pergi ke sekolah?"

Kenapa intuisinya sangat bagus? Apakah seorang ibu adalah cenayang? Bagaimana dia bisa mengetahui hal itu?

"Kenapa pergi ke sana? Kamu mau seperti kakakmu?"

Mengapa pula ibu membahasnya. Tolong hentikan topik ini, bu.

"Kamu ingin meninggalkan ibu sendiri?"

"Aku hanya pergi kesana untuk bermain drum, apa salahnya itu? Aku tidak ikut berdemo, aku bahkan tidak akan overdosis obat-obatan."

Emosiku meluap, aku membuat orang yang melahirkanku menitikkan air mata berharganya.

"Yang menyerah dengan hidup adalah ibu bukan aku. Ibu selalu memikirkan kakak dan ayah tapi ibu melupakanku. Aku disini bersamamu, seharusnya ibu mengerti perasaanku."

Ibuku tak kuasa menahan tangisnya, ia terduduk lemas di lantai. Dengan air mata yang terus mengalir ku curahkan semua isi hatiku.

"Dari dulu sampai sekarang kakak selalu menjadi kebanggaan ibu. Lantas bagaimana denganku, bu? Apa aku tidak ada artinya bagimu?"

Aku ingin berhenti berbicara, namun otakku lepas kendali. Semua saraf kini dikendalikan emosi.

Satu-satunya cara agar aku bisa berpikir jernih yaitu pergi dari sini. Aku meninggalkannya, dan menutup diri dalam bilik kamarku.

FURY : Aku Suka lauTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang