3. Perjalanan waktu

63 34 71
                                    

🐠🐠🐠

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐠🐠🐠

Sudah sejam lebih kaki kami menapaki jalanan, namun rasanya hanya berputar-putar. Semua bangunan dan jalan terasa sama bagiku.

"Apakah ini jalan yang benar? Haruskah kita bertanya kembali?"

Gara-gara ucapan ibu, aku sedikit meragukannya. Ibuku tersenyum mendengarnya.

"Kamu cepat belajar, tenang saja ibu sudah hapal arah selanjutnya. Tapi ibu akan mampir dahulu di suatu tempat, apa tidak masalah?"

Sejujurnya tubuhku sudah lelah, aku ingin segera merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Ya, meskipun tidak empuk kuharap kasur kami nyaman.

Matahari semakin terik, ia tak menyerah dengan makhluk bumi. Seberapa keras usaha angin untuk meniup awan, nyatanya mataharilah yang lebih kuat.

"Ikan bandeng! Tenggiri! Kakap!"

"2 kg mang!"

Bukan hanya suara bising yang menyambut kami, bau tidak sedap juga ikut menghampiri.

Aku menatap ikan-ikan yang dijajakan pedagang, entah berapa banyak lalat yang menyerbunya. Bukankah itu tidak sehat?

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pasar ikan. Bukan sombong, tapi kami berbelanja di swalayan selama ini.

Aku tidak tahu apa yang akan ibu lakukan di sini. Dia tidak terlihat seperti akan berbelanja.

"Kenapa kita kesini?"

"Ibu ada urusan sebentar, jika pergi ke rumah dulu. Tenaga kita akan terkuras habis karena jaraknya cukup jauh."

Ya, memang bahkan saat ini aku sudah kehabisan tenaga.

Aku tak bisa menghitung berapa banyak ikan yang ada di sana. Sebagian besar pedagang meletakkannya di atas meja. Bahkan ada yang membiarkannya berserakan di lantai begitu saja.

Ikan di dalam box pendingin justru terlihat lebih segar dan dapat di percaya, namun gurita yang menggeliat membuatku bergidik.

Kenapa kita harus ke tempat ini? Aku sama sekali tak menyukai makanan laut selain ikan.

Akhirnya ibu berhenti, apakah ini tujuannya? Tidak! Setelah melihat-lihat udang dan kepiting dia kembali berjalan.

"Selamat siang!" ucapnya ramah, ku pikir inilah tempatnya.

"Selamat siang! Ada perlu apa bu?"

"Euu saya istri.."

"Ah! Mari duduk!"

Lelaki paruh baya itu tampak mengetahui maksud kedatangan ibu. Ya, hanya aku yang tidak mengerti disini.

Tidak ada tempat duduk yang layak karena semuanya becek dan kotor. Lelaki itu lantas memberikan tempat duduk kecil terbuat dari kayu.

FURY : Aku Suka lauTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang