🐨HAPPY READING🐨
"Tumben banget lo udah pulang. Gue nyariin tadi, soalnya ada urusan." Lupakan masalah beberapa hari lalu di mana dirinya dimarahi habis-habisan oleh Dean, kini Kevin sedikit terkekeh kala mendengar ucapan atau lebih tepatnya teguran dari seorang Dean di seberang telepon.
"Kangen lo?" Dengan gaya sengak Kevin meledek, dapat didengar olehnya suara decihan dari seberang sana. Namun, perubahan suasana hati seketika menguasai, lantas ia menghela napas kasar secara berangsur. "Si Fandy datang lagi. Gue sengaja pulang cepat, karena lo tahu juga kan dia bakal ke kantor buat nyari gue?"
Meski tahu Kevin tidak akan melihatnya, tetap saja refleks Dean menganggukkan kepala pertanda mengerti. "Nanti gue omongin baik-baik kalau dia ke sini."
"Thank's bro," ujar Kevin dengan senyum tipis yang menyimpan kepalsuan. Entahlah, ia merasa sangat lelah akan kehadiran adiknya itu. "Kerjaan dikit lagi selesai, kok."
"Mending lo istirahat sekarang, kalau sakit perusahaan yang repot." Dean yang sebenarnya masih khawatir memilih mengatakan hal demikian dengan nada sedikit ketus, anti sekali jika harus menggunakan nada yang lembut untuk pria pengacau seperti Kevin.
Kini Dean yang sedang berdiri di dekat lobi kantor seketika itu juga menegakkan tubuh kala melihat orang yang baru saja dibicarakan datang, Fandy sedang berjalan menghampirinya. "Bentar, ini yang diomongin datang."
Tak lama setelahnya telepon terputus, seakan kebetulan bel pintu hotel berbunyi. Berjalan ke arah pintu, sejenak Kevin melirik layar yang menunjukkan tampakan pegawai hotel dengan trolinya. Langsung saja ia membuka pintu dengan senyuman yang merekah agar tidak terkesan galak.
Kevin mengangkat sebelah alisnya, bingung sekali akan mematungnya pegawai di depannya ini. "Mbak?"
Tak ada jawaban, apa pegawai ini tak mendengar? Tapi setidaknya wanita di depannya dapat melihat badan tegap nan besarnya ini, bukan?
"Mbak, saya udah lapar." Masih tak ada jawaban, Kevin menghela napas kasar. Bukankah ucapannya barusan seperti memberi kesan memohon saking menyebalkan reaksi dari si pegawai?
Tangan Kevin beralih menepuk pundak pegawai itu—Mika—hingga si empu mengedikkan bahu secara spontan, seperti mendapatkan kejutan kedatangan uang kaget. Ia yang merasa malu spontan memasang wajah kikuk, lantas membawakan beberapa makanan dan minuman ke dalam kala Kevin mengambil langkah mundur untuknya masuk ke dalam.
Meski masih bingung dengan tingkah aneh pegawai di depannya, Kevin memilih untuk melupakan sejenak dan fokus kepada makanan yang terlihat menggiurkan. Kala buku kecil disodorkan di hadapannya, segera saja ia mengurus pembayaran. Kemudian membiarkan pegawai itu pergi dengan cepat, mungkin masih merasa malu? Entahlah, masa bodo.
Kini Kevin mulai duduk di sofa, tangannya menaruh ponsel di meja dan beralih mengambil sendok, perutnya sudah keroncongan sekali sekarang ini. Sendok berhasil menarik nasi dan lauk, saatnya menyambut makanan sedap ini ke mulut.
Mulut Kevin yang terbuka lebar tidak bergerak mengatup begitu saja, bahkan sendok yang berada di udara tetiba berhenti tatkala dering ponsel menginterupsi benaknya untuk menjeda. Merasa makan tidak baik sambil bertelepon, ia menaruh kembali sendok ke piring, dan mengangkat telepon yang ternyata dari Dean.
"Gimana?" tanya Kevin tanpa berbasa-basi lagi.
"Aman. Gue udah omongin baik-baik dan dia paham."
Kevin mendengus mendengar omongan Dean. "Baik-baik? Yakin lo?" Lantas dirinya tertawa, membayangkan kata baik-baik yang Dean maksud. "Kalau Raka yang bilang gue percaya."
Kini Dean yang mendengus sebal, sebegitu galakkah dirinya? Sampai-sampai teman dekatnya pun tidak percaya kalau dirinya mengatakan hal baik-baik.
Lupakanlah soal Fandy, kini hening mengambil alih sesaat, hanya kurun waktu 10 detik karena Kevin kembali bersuara. "Oh iya, gue mau cerita." Menjeda, Dean tidak bersuara, tapi Kevin tahu temannya itu tengah menunggu dan sudah siap mendengarkan. "Tadi pegawai hotel datang ke sini. Waktu buka pintu, dia malah bengong ngelihatin muka gue. Aneh banget."
Acuh tak acuh Dean dengan cuek mulai merespons, "suka kali."
___
"Bun, tidur ih. Udah malam ini." Entah sudah teguran yang keberapa, mulut Vika rasanya seperti ingin lepas saking lelahnya menegur Ratih untuk segera tidur. Sedangkan Ratih yang abai memilih untuk fokus sepenuhnya ke televisi dengan raut muka serius.
"Bun ..."
"Bunda ..."
Vika menghela napas kasar, pendengaran Ratih sepertinya menurun. "Bunda Ratih yang cantik ..."
"Apa sih, Vik? Ini lagi serius tahu."
Merasa tugas kuliah sudah selesai, tangan Vika langsung menutup buku dengan perasaan sedikit mencurahkan rasa sebal. Dirinya menghampiri dan duduk di samping Ratih, kepalanya yang dirasa pusing mulai disandarkan ke bahu Sang Bunda, dan pada akhirnya ia ikut larut menonton televisi yang menayangkan suatu berita.
Awalnya Vika tidak tertarik dengan isi topik yang ada di dalam berita, membosankan sekali. Namun saat didengar lebih lama, ekspresinya menjadi mirip seperti Ratih, persis sekali.
"Bunda tuh takut kalau kamu atau Mika pulang malam, awalnya mikir bakal ada begal. Eh sekarang malah nambah ketakutan lagi." Masih dengan mata yang menatap lamat ke arah televisi, Ratih mulai mengeluarkan suara, menuangkan kekhawatirannya selama ini. "Kalian berdua tuh perempuan yang berharga. Bunda rasanya mau ngelindungin kalian di luar sana, tapi gimana? Udah berumur jadi gampang capek."
Sejenak Vika terkekeh kala mendengar kalimat terakhir dari Ratih. Namun bagaimana pun juga benar adanya, dirinya terkadang pulang jam sembilan malam, sedangkan kakaknya justru setiap kerja pulang larut malam karena persoalan shift.
"Kalau kata guru ngaji Vika dulu, doa tuh ngaruh banget loh, Bun."
Tanpa pikir panjang, Ratih menyentil kening Vika hingga si empu mengaduh kesakitan dengan nada berlebihan. "Kamu pikir Bunda nggak doa gitu?"
Vika meringis sembari mengusap keningnya beberapa kali, padahal tidak sakit sama sekali. "Ngasih tahu doang, Bun."
___
"Kelar juga." Napas lelah dihembuskan begitu saja saat laptop baru saja ditutup, Kevin melirik jam dinding yang memberitahu waktu malam sudah semakin dalam. Sudah satu jam berlalu semenjak bertelepon dengan Dean, dirinya tidak peduli dengan peringatan teman bermata tajam itu untuk beristirahat.
"Apa lagi, sih?!" Kevin geram sendiri dengan dering ponsel yang sangat mengganggu, padahal matanya sudah 95% memejam. Dengan kesal tangannya mengambil benda pipih tersebut dan menempelkannya ke telinga tanpa melihat lagi nama yang tertera.
"Kak."
"Apa, sih?!" Rasa kesal Kevin semakin memuncak di kala tahu orang yang meneleponnya adalah Fandy, benar-benar beban. "Sebegitunya lo mohon-mohon sampai jam segini nelepon gue?!"
"Iya, maaf ..."
"Otak dan adab lo kemana emang?!" Kalau saja Fandy di hadapan Kevin, jangan salahkan dirinya kalau besok ditemukan mayat setelahnya.
"Iya gue tahu, Kak."
"Tahu, tapi kenapa nelepon, hah?!"
"Gue...mau nanya sandi apartemen apa? Ini mau masuk nggak bisa." Bukan rasa kesal yang kini hinggap 100% dalam diri Kevin, bukan lagi, melainkan rasa malu. Ia malu sekali sudah melontarkan kata yang tidak mengenakkan, begitu percaya diri seakan merasa adiknya itu ingin memohon lagi, padahal hanya meminta sandi kamar apartemen.
Dasar Kevin.
___
Semoga suka, ya... masih jauh sama konflik ini hihi ᕕ( ᐛ )ᕗ
Kamis, 16 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir dan Takdir || Jaehyun X Mina ✔️
Fanfic[END] Untuk judul buku akan diganti jadi 'Jejak Luka'. ⚠️18+ ___ Semua bermula begitu saja. Mika wanita yang berusia 28 tahun harus dihadapi sebuah masalah yang tidak bisa diterima oleh dirinya sendiri. Prinsipnya perihal pernikahan terpaksa harus...