PERKARA BUNGA

21 4 0
                                    

Cuma mau ngingetin lagi, sebelum baca jangan lupa votenya, ya.

.

.

Dua tangkai bunga, yang setiap tangkainya berisi tiga hingga lima kuntum, tergeletak di atas meja. Bunga tersebut bernama alstroemeria. Salah satu bunga kesayangan Arcello yang patah karena pot terracotta-nya terjatuh disenggol kucing.

Arcello dan Gabriel sama-sama terdiam sambil memandangi bunga itu sejak tadi dalam hening. Bedanya, Arcello terdiam sambil menangis, sedangkan Gabriel terdiam karena menyesal.

"Tuan, s-saya ... minta maaf," ucap Gabriel tergagap-gagap.

Tidak ada respons apa pun dari Arcello kecuali napasnya yang tersengal-sengal. Hal itu membuat Gabriel lemas, menunduk pasrah. Ia masih belum paham kenapa tuannya semarah dan sesedih itu hanya perkara bunga. Gabriel kebingungan.

"Kamu tahu ... arti bunga ini dalam hidupku?" Arcello mulai angkat bicara setelah beberapa waktu tidak berkata apa-apa. Mendengar pertanyaan tuannya, Gabriel yang memang tidak tahu apa pun tentang bunga itu hanya bisa menggeleng pelan.

Arcello masih tersedu-sedu karena sisa tangisan yang sepenuhnya belum usai. Ia akan kembali menangis jika teringat akan bunganya yang kini telah terkulai lemas. Arcello pun dalam-dalam menarik napas.

"Bunga ini adalah hadiah terakhir yang papa dan mama berikan buat aku," terang Arcello terdengar parau.

Gabriel menyimak dengan takzim. Tidak sedikit pun suara keluar darinya yang bisa menginterupsi perkataan Arcello.

"Dulu ... pas aku wisuda, awalnya aku kesal saat papa dan mama memberikan bibit bunga ini dalam pot mungil." Arcello berusaha menceritakan semua meski dadanya terasa sesak. "Aku kesal, di saat orang lain diberikan buket-buket bunga yang besar dan indah, mereka malah memberikanku tanaman mungil. Belum berbunga, lagi."

Arcello terdiam sejenak.

"Apa yang membuatku akhirnya menerima adalah perkataan mereka saat itu." Arcello kembali menarik napas. "Mereka bilang, kalau papa sama mama kasih buket bunga seminggu dua minggu bunganya akan layu dan kering. Namun, tidak dengan bunga ini. Selama aku menyiram dan merawatnya, ia akan tumbuh semakin besar lalu berbunga, yang akan menghiasi dan memberikan harum untukku setiap pagi. Seperti papa dan mama yang akan selalu ada untukku setiap hari."

Gabriel masih menyimak. Ia merasa tidak berhak berkata apa-apa untuk saat ini.

"Tapi," jeda Arcello menahan tangis, "sehari setelah papa dan mama kasih bunga ini ke aku ... mereka pergi meninggalkanku untuk selamanya." Arcello tidak mampu lagi menahan air mata. Tangisannya kembali pecah. Ia meraung-raung seperti anak kecil kehilangan mainannya.

Mendengar ucapan tersebut, berhasil membuat Gabriel membuka matanya lebar-lebar. Kini ia paham kenapa tuannya begitu terpukul mengetahui bunga kesayangannya nyaris mati. Meski ia mengetahui apa yang menimpa kedua orang tua Arcello, tetapi tentang bunga itu sungguh luput dari ingatannya. Tanpa sadar, mata Gabriel mulai berkaca-kaca. Ia sangat menyesalinya.

"Mereka meninggal karena kecelakaan pesawat setelah menghadiri wisudaku, dan aku sangat menyesal. Aku menyesal karena merengek agar papa dan mama mau datang," lanjut Arcello. "Aku menyesal." Kalimat itulah yang menjadi puncak dari tangisan Arcello. Ia menangis sejadi-jadinya.

Tidak terasa, air mata Gabriel tumpah dari kantung mata dan meleleh di pipinya. Ia tidak kuasa menahan kepedihan yang tuannya rasakan. Kali ini, ia sungguh merasa menyesal. Sangat menyesal. Meski begitu, tidak ada yang bisa Gabriel lakukan. Tubuhnya mendadak kaku. Lidahnya pun kelu.

Tak mampu membendung kerinduan akan kedua orang tuanya, Arcello memutuskan pergi ke kamar meninggalkan Gabriel sendirian. Ia berlari sambil menahan tangisan.

GABRIELLO (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang