Part 6. Pulang bareng

341 23 0
                                    

Semenjak kejadian motor Panca mogok dikarnakan ada masalah pada mesinnya, Farrel kembali melanjutkan aktivitas lamanya setiap pulang sekolah, yaitu, menunggu ojek onlinenya di pos satpam.

Sebenarnya tawaran pulang bersama itu banyak untungnya untuk Farrel. Seperti; ia tak perlu pulang lebih lama karna menunggu ojek onlinenya datang, pulang ke rumah dengan tepat waktu, dan pastinya ia tak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk itu.

Tapi Farrel bukan tipe orang yang jika dikasih tumpangan gratis setiap hari maka ia akan betul-betul tidak kasih apapun ke si pemilik kendaraan. Ia bukan orang yang seperti itu. Ia akan mengasih uang bensin untuk mereka yang selalu memberikan ia tumpangan, kalau orang itu menolak uang yang ia diberikan, Farrel akan mentraktir orang tersebut, atau jika mereka tetap menolak keduanya, maka Farrel akan memaksa orang tersebut untuk memilih salah satu diantara keduanya. Farrel ini orangnya tidak enak-an dan tidak mau berhutang budi dengan orang lain. Maka cara jalan satu-satunya hanya itu untuk menghilangkan rasa tidak enaknya.

Sudah menghabiskan waktu sekitar 15 menit lamanya ia gunakan untuk menunggu ojek onlinenya yang tak kunjung mendapatkan driver, Farrel menghela nafasnya pelan sambil meminum minumannya yang hanya tersisa es batunya saja.

"Kenapa dari tadi dibatalin deh? Kesel banget, emang badan gue berat banget apa? Makanya dicancel terus." Ucapnya kesal.

Pak jaya-satpam di sekolah, yang entah beliau habis dari mana, datang mendekati tempatnya dan melihat Farrel belum juga pulang-padahal bel pulang sekolah sudah lama berbunyi.

"Kamu belum pulang, Nak?." Tanyanya setelah mengambil kursi di samping Farrel dan duduk di sebelahnya.

"Masih nunggu driver saya, Pak. Ini dari tadi dicancel." Ucap Farrel sambil memperlihatkan ponselnya yang membuka aplikasi ojek online.

"Kamu mau minum dulu ndak?."

"Makasih, Pak. Baru aja es saya habis tuh." Tunjuknya ke cup yang tadi ia minum.

Ketika sedang berbincang-bincang kecil dengan Pak Jaya, matanya tak sengaja melihat ke sekumpulan anak osis yang baru saja keluar dari gerbang sekolah menuju ke arah parkiran.

"Anak osis baru kelar rapat, ya?." Tanya Pak Jaya yang juga melihat ke sekumpulan anak osis.

"Gak tahu deh, Pak."

"Eh, itu nak Gibran bukan? Nak Gibran!." Panggilan dari Pak Jaya ke Gibran membuat Farrel panik dan dengan cepat ia memilih untuk bersembunyi di belakang kursi yang tadi ia jadikan tempat duduk.

Gibran yang merasa dirinya dipanggil seseorang lantas membalikkan badannya dan melihat Pak Jaya yang sedang malambaikan tangan kepadanya, lalu ia menghampiri Pak Jaya ke pos satpam.

"Iya, Pak?."

"Tadi kamu dicariin sama Bu Desi, katanya mau ngomong sama kamu terus minta tolong ke saya kalau ketemu kamu minta disampaikan kalau beliau tadi nyariin kamu."

"Oh, iya, Pak. Tadi saya udah ketemu sama Bu Desi kok sebelum pulang. Makasih udah ngasih tau saya."

Pak Jaya menepuk punggung Gibran pelan, "Gak apa-apa, bagus toh kalau sudah ketemu sama beliau. Nak Gibran mau pulang?."

"Iya, Pak. Bapak mau pulang bareng saya?."

"Kalau saya pulang nanti yang jaga sekolah siapa dong? Penunggu di sini? Atau kalau kamu mau gantiin saya juga boleh banget." Mendengar jawaban Pak Jaya membuat keduanya tertawa.

Tetapi ketawa mereka seketika terhenti karna terdengar suara decitan dari kursi di mana tempat yang tadi Farrel gunakan untuk bersembunyi diri dibaliknya.

"Lho, kamu belum pulang juga?." Yang ditanya hanya diam saja, sibuk menyembunyikan dirinya sendiri yang kini telah tertangkap basah.

"Nak? Ini sudah jam setengah 6, lho. Kamu tidak dicarikan ibumu?." Farrel yang mendengar Pak Jaya kembali bertanya mau tak tahu mau ia menjawab pertanyaan itu lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Karna tak sopan juga jika ada orang tua tanya tapi tidak dijawab.

Farrel menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal seperti habis ketahuan mencuri, "Hehe, iya, Pak. Ini hp saya mati. Jadi gak bisa pesan ojol lagi."

"Waduh, mau bapak pinjamkan hp? Tapi hp bapak hp jadul, bisa ndak?."

"Eh, gak usah, Pak. Saya jalan kaki aja, siapa tahu dijalan nanti ketemu sama angkot."

"Nak Gibran pulang sendiri 'kan?." Gibran yang ditanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya, "Ya sudah kamu pulang bareng sama nak Gibran saja, bagaimana? Nak Gibran gimana? Kasihan, daritadi dia nungu di sini gak dapet driver katanya."

Farrel yang mendengar itu lantas langsung menolak halus perkataan Pak Jaya, "Gak usah, Pak. Saya pulang sendiri aj-." Ucapan Farrel terputus, karna Gibran langsung memotongnya cepat dengan berkata, "Ayo." Dan pergi begitu saja ke parkiran untuk mengambil kendaraan roda duanya setelah pamit dengan Pak Jaya.

"Tuh, sudah sana." Farrel menjawab Pak Jaya dengan ekpresi senyum terpaksanya lalu pergi pamit menyusul Gibran yang sudah akan menaiki kendaraan miliknya.

Di parkiran, masih banyak anak osis yang sibuk mengeluarkan kendaraan mereka. Farrel langsung melihat sekitar, takut-takut ada yang memperhatikannya.

"Kenapa kamu nyetujuin omongannya Pak Jaya, sih?!." Omel Farrel sesampainya ia berdiri di samping kendaraan kekasihnya itu.

Gibran menghentikan aktivitasnya yang sedang menyalakan mesin motornya dan menatap pria mungil kesayangannya, "Emang mau pulang sendirian?."

"Iya."

"Gak mau pulang bareng sama aku?."

Farrel refleks memukul lengan Gibran, "Jangan kenceng-kenceng! Nanti ada yang denger gimana?." Katanya panik.

"Jawab dulu."

"Apa?."

"Mau pulang bareng atau engga?."

Farrel tak langsung menjawab pertanyaannya Gibran, tapi ia langsung melihat ke langit yang kini berubah warna menjadi oranye gelap dan melihat ponselnya untuk melihat jam berapa. Ah, ia lupa, kalau ponselnya sudah mati karna baterainya telah habis.

"Kalau kamu gak mau, aku pulang duluan." Gibran sengaja menancapkan gas motornya dan dengan cepat Farrel menahan lengan pria bertubuh tinggi tersebut.

"Ya-ya udah!." Mendengar itu Gibran menampilkan senyum jahilnya, menahan gemas melihat kekasihnya yang sedang menaiki motornya dengan muka yang ditekuk.

"Udah?."

"Udah."

"Pegangan, nanti jatuh." Tangan Gibran menarik tangan Farrel untuk berpegangan pada bajunya tapi langsung ditepis sama Farrel.

"Jangan banyak gaya, buruan deh, udah mau malam ini." Katanya kesal, tapi kedua tangannya sedang menggenggam erat di baju Gibran.

"Haha, okay."

Dan mereka pun pergi meninggalkan halaman sekolah dengan menunjukkan ekspresi berbeda.

ASMARALOKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang