Aku menatap pantulan di cermin. Aku selalu bersyukur karena tuhan menciptakan aku dengan wajah yang lumayan cantik namun sangat cantik di mataku sendiri.
Aku menggendong ranselku dan berangkat dengan Kelly yang sudah siap dengan satu roti di mulut dan satu di tangan. Lalu dia menyerahkannya padaku. "Ganjel dulu biar lambung tidak meronta-ronta." Aku mengangguk lalu membuka pintu kulkas dan menuangkan susu di gelas.
"Manasin motor bentar ya woy." Aku mengangguk lalu Kelly berlari pelan menuju garasi. Aku menegak susu dengan pelan dan makan sesantai itu. Lalu setelah selesai segera menghampiri Kelly.
"Yuk berangkat." Kelly menatap sinis padaku. "Mari tuan puteri keraton yang membiarkan temannya kepanasan dan menunggu puteri makan dengan waktu seabad." Aku menggeplak helm yang dia pakai pelan.
"Lebay!" Aku memasang helm dan mendudukkan pantat di motor dan lekas memeluk perut Kelly. "Ayo mbak berangkat." Kelly menghentakkan bahunya kesal dengan daguku yang tadi sempat menempel di bahunya.
"Pagi pagi gak boleh marah lyly." Aku menggoyangkan helm nya ke kanan dan kiri. "Amasya! Bahaya ih!" Aku lalu tertawa dan meminta maaf padanya. Sampai akhirnya kita memarkirkan motor di tempat parkir yang tersedia.
"Langsung kantin apa nunggu bel istirahat?" Sambil melepas helm aku menatap Kelly menunggu jawaban. "Nunggu bel aja. Belum laper banget sih." Aku mengangguk lalu berjalan menuju gerbang sekolah.
Berhubung kelas kami yang berbeda, aku melambaikan tangan pada Kelly yang sudah memasuki kelasnya. Sedangkan kelasku berada di lantai dua.
Aku membelokkan langkah menuju toilet terlebih dahulu hanya untuk berkaca. Lalu kembali lagi dan bertemu Kevan yang terlihat tebar pesona dengan kunci motor yang dia putar-putar di jari telunjuknya.
Setelah dia menatapku, dia tampak melengos dan melanjutkan jalannya. Heh? Ada apa dengan bocah satu itu?
"Kevan!" Aku berlari mengejarnya dan berjalan cepat menyesuaikan langkah kakinya. "Buru-buru banget, mau ngapain sih." Aku menahan pergelangan tangannya. Akhirnya dia berhenti.
Kulihat wajahnya yang nyolot membuatku heran. "Kenapa lo?" Aku menaikkan alis menunggu respon yang akan dia berikan. Namun dia hanya diam dan menatap sekitar. Ku tangkap kerlingan nakal yang dia berikan pada adik kelas yang lewat. Aku menggeleng kepala jijik.
"Gimana perut lo?" Senyum yang tadi dia semburkan pada adik adik gemes itu lenyap di gantikan mata yang menatap wajahku kesal. "Emang kenapa perut gue?!" Dia melengos meninggalkan ku dengan tangan bersedekap di dada. Lihatlah dia terlihat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan fakta bahwa dia adalah cowok keren.
Aku hanya mengikutinya dari belakang dengan tanganku yang bertaut di belakang tubuhku. Kevan berhenti begitupun aku. Dia membalikkan tubuh ke belakang, aku memiringkan kepala ke kanan dan mengerutkan dahi seolah bertanya apa?
Kevan menghela napas. "Stop ngintilin gue!" Dia mendorong dahiku dengan jari telunjuknya. Aku menarik telunjuknya lalu menariknya untuk mengikuti ku. Telunjuknya yang pas di genggaman tanganku membuatku tersenyum gemas.
"Weh mau lo bawa kemana anak perjaka ini. Gue gak mau di perkosa ya!" Meskipun mulutnya bicara seperti itu, tapi tubuh cowok itu sama sekali tak menunjukkan reaksi menolak. Bahkan tadi apa yang dia ucapkan? Anak perawan? Apa?
Akhirnya aku sampai di rooftop.
Aku menatap tanganku yang masih menggenggam jari telunjuknya. "Gemes banget." Aku mengangkat tangan kami dan menunjukkannya pada Kevan. "Bisa kali gue genggam tiap hari." Setelah ku semburkan sedikit ucapan godaan itu, Dia menarik tangannya dengan cepat.
"Mau apa lo?! Mau mesumin gue ya lo!" Aku terkekeh sinis. "Gak usah kayak perjaka ting-ting deh lo!" Aku mendorong bahunya untuk duduk di meja usang yang ada di sana.
"Gimana perut lo?" Tanyaku lagi memastikan keadaannya. Dia memegang perutnya dan sedikit mengusap. "Masih ada kok sixpack nya." Aku menonjok perutnya kesal.
"Ini gue bawain susu buat lo. Semoga mencretnya ilang." Aku menyodorkan sebuah susu cokelat. "Gue alergi susu." Dia membuang muka ke arah lain. Sebenarnya ada apa dengan cowok berperawakan besar ini?
"Yaudah sih!" Aku membuka plastik pembungkus sedotan lalu menusukkannya pada kotak susu dan meminumnya. "Gue beneran minta maaf soal kemarin, karena gue lo jadi mencret gitu." Aku mendudukkan diri di sofa lusuh yang letaknya sedikit di pojok.
"Gak usah di bahas bisa?!" Kevan ikut menyusul dan duduk di sampingku. Kevan membenturkan belakang lehernya ke sandaran sofa dan menutup matanya dengan menghela napas seakan kelelahan.
Aku menatapnya. Apa ya kira-kira cara ampuh untuk membuat orang melupakan kesedihannya? Aku menaruh kotak susu di bawah kaki sofa lalu menarik tangannya untuk ku genggam tanpa bicara apapun. Dia mengangkat wajahnya menatapku dengan punggung yang masih bersandar di sandaran sofa dengan nyaman.
"Tidur aja." Aku menepuk tangannya yang ku tangkup itu. Dia lalu benar-benar melakukan ucapanku. Kepalanya kembali menengadah dan mata terpejam. Aku masih menepuk pelan tangannya hingga bel berbunyi dan upacara akan segera di mulai.
Aku bangkit dari kenyamanan duduk. "Sya..." Lenguhan pelan membuat kakiku tak jadi melangkah. Ku palingkan wajahku kebelakang menatap Kevan. "Kenapa bangun? Mau ikut upacara?" Aku mengulurkan tangan dengan senyum seadanya. Tangannya terulur dan dia bangkit dari duduknya. "Ayo." Ajak Ku, Aku masih menggenggam tangannya. Dia sama sekali tak bergerak.
Kulihat Kevan menampakkan gestur canggung. Karena tangannya yang menggaruk tengkuk. "Demi tuhan! Gue lagi pengen peluk lo." Dia berucap dengan mata menatap ku seakan bertanya. Aku tersenyum lalu mengangguk. "Aduh artis gue lagi capek ya." Aku mengelus punggungnya. "Boleh gak sih kalau gak jadi artis." Dia bergumam pelan. Aku terkekeh.
"Loh, bukannya enak ya terkenal?" Kurasakan Kevan menggeleng dan menjauhkan wajahnya dari perpotongan leherku lalu menatapku tanpa melepas pelukan.
Sejak kapan sebenarnya kita bertingkah seperti kita teman dekat?
"Udah, daripada galau mending upacara." Ku rambatkan tanganku yang tadi di pinggangnya menjadi di lengan kokohnya. Kevan tak menjawab dan hanya diam menatap bahkan mungkin menyelami mataku.
"Gitu banget sih natapnya." Aku mendorong pipinya ke samping. "Jangan bilang gue belekan?!" Aku langsung melarikan jariku menuju mata. Namun nihil tak ada apa-apa. Kevan menangkup kedua pergelangan tanganku dan pekikan kejut langsung keluar dari mulutku.
Kevan membawaku duduk kembali ke sofa dan membawa genggaman tanganku ke atas ubun-ubun ku. Jadi apa tujuan dia yang seperti ini? Seolah seperti ingin menciumku.
Dengan Kevan yang membungkuk seolah mengurungku membuatku meneguk ludah kaget. Aku sama sekali tak berkutik. Pantas saja banyak wanita yang rela melemparkan diri mereka cuma-cuma pada cowok di hadapanku ini. Oh jadi ini alasannya...
Ku akui mata Kevan yang tajam mampu memikat lawan dan menjatuhkan lawan tanpa menyentuhnya sama sekali. Lihatlah alisnya tebal dengan dahi mulus dan sedikit lebar yang menambah kesan seksi tersendiri.
Lihatlah bibirnya sangat menggoda untuk ku kecup lagi. Bahkan rasanya aku sudah lupa dengan ciuman yang pernah kita lakukan. Kalau boleh mengulang apa iya rasanya sama seperti kemarin? Ah? Otakku!
Kembali ku pusatkan semua perhatianku ke matanya yang sangat kusukai.
"Ganteng ya gue?"
Yash! Ingatkan aku bahwa minus nya dia adalah di bagian kenarsisan! Aku sangat yakin bahwa dia berzodiack Leo. Karena seingatku aku mempunyai tetangga dengan kenarsisan tinggi.
Alurnya beda banget sama pas awal saya mau bikin ini cerita
Kayak, dari awal konsepku itu mereka jadi terikat dengan hal aw aw, tapi saya gak mau di cap mesum sama temen-temen saya yang suka nyebar link aw aw karena saya anak baiq kiw🤞🏻Salam sehat
Jangan lupa makan mentang mentang
Belum di suruh makan ayang!
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner In Bed
RomanceKu kira ini hanya akan terjadi sekali, namun malah berkali-kali.