19 Juli 2017
Niat Arma untuk keluar dari rumah terlaksana. Setelah tahu rahasia besar sang suami, tidak ada alasan untuk bertahan di rumah itu. Suaminya berusaha mengantarnya ke rumah orangtuanya, tetapi dia menolak.
Arma tidak yakin bisa pulang jika kondisinya masih seperti sekarang. Air matanya terus turun, membuat matanya terasa nyeri dan panas. Dia yakin, orangtuanya pasti akan semakin sedih saat melihatnya. Jadilah, Arma memilih menginap di hotel tidak jauh dari rumah.
"Hiks...." Arma meringkuk di ranjang. Di pikirannya terbayang kehidupan ke depannya nanti akan bagaimana. Dia masih berusia 22 tahun, tetapi sebentar lagi akan menjadi janda. Dia tahu, di luar sana banyak yang menganggap rendah status itu. Padahal, mereka juga tidak mau mengalami seperti itu. Tetapi, janda selalu dilabeli perempuan yang buruk.
"Demi apapun, gue masih muda!" Arma mengacak rambut lalu mengusap air mata yang menetes. "Gue baru aja lulus. Bahkan, belum wisuda."
Arma menatap langit-langit kamar hotel dengan pandangan menerawang. Ada perasaan menyesal mengapa dia memilih menikah di usia dua puluh tahun. Tetapi, semuanya sudah terjadi. Bagaimanapun dia juga begitu bahagia di saat hari pernikahannya waktu itu.
"Gue harus cari ketenangan," gumam Arma merasa pikirannya kian suntuk. Dia turun dari ranjang dan merasakan lantai yang begitu dingin. Dia berjalan keluar tanpa mengenakan alas kaki dengan tubuh gontai.
Tring.... Pintu lift di depan Arma terbuka.
Arma berjalan masuk dan melihat dua orang yang berada di dalam. Dia tidak menutupi kondisi wajahnya. Membuat dua orang itu menatap penasaran dan saling berbisik. Arma memilih berdiri di pojok lalu menyandarkan kepala.
Tak lama, pintu lift terbuka. Dua orang di depan Arma berjalan keluar.
Arma segera keluar, tanpa melihat panel petunjuk lantai. Dia terdiam, melihat rooftop hotel yang ramai dengan lampu kerlap-kerlip. Sontak dia berbalik, merasa tempat itu tidak cocok dengan kondisi hatinya.
Bukannya kembali ke lift, Arma justru berjalan menuju ke ujung dan menemukan tangga darurat. Dia menatap pintu yang setengah terbuka itu dan mendekat. Ternyata, dia melihat sisi lain roofop. Suasana di sebelah sana sangat kontras, beda dengan yang barusan dilihat. Arma memutuskan mendekati rooftop itu. Samar-samar suara musik masih terdengar. Bahkan lampu warna-warni ada yang memantul di lantai depannya.
Wuuusss.... Angin berembus kencang. Rambut Arma yang digerai, seketika tertiup angin dan membuatnya semakin berantakan.
Pandangan Arma tertuju ke pagar pembatas yang tingginya sebatas bawah dadanya. Dia mendekati pagar itu dan memegang pinggirannya yang terasa agak kasar dan dingin. Entah apa yang ada di pikirannya, dia mulai naik pagar itu.
"Kalau mau bunuh diri jangan di sini!"
Arma baru saja duduk di pinggir pembatas saat suara itu terdengar. Dia menoleh, melihat seseorang yang berdiri dan tengah merokok di samping pintu. Dia tidak menyadari ada seseorang ketika melewati pintu itu.
"Kalau mau gue punya tempat yang bagus." Lelaki itu berjalan mendekat dan memperhatikan wanita yang mengenakan kemeja putih dengan celana berwarna hitam. "Mau gue kasih tahu?"
Arma menatap lelaki dengan tindik hitam di telinga sebelah kiri itu. Dari gaya berpakaiannya, terlihat stylish. Jaket kulit dengan kaus oblong berwarna putih. Lelaki itu mengenakan celana boots dan ada hiasan manik-manik kecil di bagian pergelangannya. Sepertinya seorang selebritis.
"Mau jadi asisten gue?" tanya lelaki itu setelah berdiri di depan Arma. "Gue jamin lo bisa mati tanpa rasa sakit."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Posesifku
General Fiction"Are you happy?" Tes.... Air mata Arma seketika turun. Dia mendongak, berusaha menghalau air mata itu. Tetapi, cairan bening itu tetap berdesakan keluar. Vezy refleks menangkup pipi Arma dan menghapus air mata yang membasahi pipi. "Gue tahu lo seben...