Warn 18+ ⚠️
Tolong bijak dalam membaca
Janlup vote dan comment!🐨HAPPY READING🐨
Aliran udara yang semakin menghitam tak juga memberi pengaruh pada Kevin, seakan alarm waktu tidur itu terabaikan saja. Baginya, tidur bukanlah istirahat yang diinginkan karena sebelum benar-benar memejamkan mata dirinya harus memikirkan berbagai pekerjaan serta beban lain seperti kedatangan Fandy.
Baginya, dengan melupakan sejenak segela beban adalah solusinya. Tak ada yang lain, hanya minum dan mendengarkan musik sembari menggerakkan badan sesuka hati. Seperti saat ini yang ia lakukan, persis sekali. Musik yang berdentum membuat badannya meleok tak jelas ke kanan kiri, mengabaikan apakah goyangannya itu benar atau tidak, terpenting benaknya rileks sekarang.
"Apa pun yang berlebihan itu nggak bagus, Bro." Melihat wajah Kevin yang sudah memerah, tambahan matanya yang sayup-sayup membuat Raka bergeleng dan bergidik dalam hati, menganggap penampilan Kevin seperti orang yang tidak mempunyai masa depan.
Seakan lelucon yang patut diapresiasi, bibir Kevin mengeluarkan tawa. "Lo juga." Matanya yang semula memejam, sejenak dibuka satu dengan cengiran tak berdosa. Sayup-sayup ia paham dengan raut muka Raka yang menekuk kebingungan, lantas dirinya kembali melanjutkan, "ibadah lo berlebihan."
Raka mendengus pelan, lantas kepalanya menggeleng dengan refleks, menyanggah kuat omongan Kevin. "Gue ibadah sesuai poros, sesuai yang diwajibkan."
Kevin membenarkan posisi, melupakan sofa empuk sejenak, berusaha semaksimal mungkin untuk menegakkan badan walau nyatanya badannya itu condong ke depan karena sudah tak kuasa dengan kadar alkohol. "Tuhan sayang sama lo?"
Sadar bahwa Kevin melampaui batas dirinya sendiri, Dean mulai menarik lengan temannya itu, memberi sinyal agar si empu diam dan tak melanjutkan. "Udah mabuk parah."
Bukannya diam, Kevin justru semakin menjadi, jari telunjuk diangkat lantas digoyangkan seraya kepala yang menggeleng tak suka. "Gue masih sadar." Tanpa takut lawan bicaranya akan marah atau tidak, Kevin menggebrak meja, mengunci lekat mata milik Raka. "Kalau kata lo Tuhan sayang sama Hamba-Nya, kenapa lo disuruh ibadah sampai lima kali dalam sehari? Ditambah ibadah pagi sama malamnya yang katanya Tuhan nanti makin sayang?"
Tawaan renyah kembali terdengar membuat Dean dan Raka cukup jengah. Memang alur kehidupan Kevin akan seperti ini hampir setiap hari. Bukannya tidak mau merubah pola hidup temannya yang tidak sehat, hanya saja memang Kevin lah yang selalu memaksa mereka untuk pergi ke club.
"Makin gila lo!" Bukannya Raka yang marah karena agamanya direndahkan, justru Dean yang terlihat murka, wajah pria itu ikut merah padam. Meski ikut minum sedikit, tetapi merah yang dimaksud murni karena emosi yang memuncak. "Lo selalu ngeluh sama kerjaan yang nggak ada habisnya, padahal udah berapa kali gue bilang nanti aja dikerjainnya."
"Udah, Yan." Merasa situasi semakin tidak enak, Raka inisiatif untuk menarik lengan Dean menjauh dari Kevin. "Kenapa jadi lo yang emosi?"
"Ini demi lo sendiri, Vin."
"Halah, gue nggak mau ngomong sama lo." Kevin yang semakin mabuk mulai menunjuk-nunjuk Dean tanpa hormat. Dengan lunglai dan gemetar dirinya kembali menatap Raka intens. "Lo jangan ketipu, Rak. Tuhan lo itu cuma memperbudak. Ibadah sebanyak itu nggak ngehasilin apa-apa, cuma buang-buang waktu. Mending agama lain, kan?"
"Pulang aja," ujar Dean, masih termakan emosi. Entahlah, padahal dirinya tidak ada urusan dengan agama Raka, tapi ia muak saja dengan sikap buruk Kevin yang satu ini. "Gue muak."
"Katanya setiap orang harus toleransi, tapi kenapa lo pada nggak toleransi sama gue?"
Baik Raka maupun Dean lebih memilih diam. Meski wajahnya terlihat tak ada garis emosi, jauh di lubuk hati Raka kembali kecewa. Bagaimanapun hidupnya, sekecil apa pun ibadahnya, ia tetap tak rela jika agamanya diremehkan seperti ini. Namun, mau bagaimana? Marah terhadap orang mabuk sama saja kita gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir dan Takdir || Jaehyun X Mina ✔️
Fanfiction[END] Untuk judul buku akan diganti jadi 'Jejak Luka'. ⚠️18+ ___ Semua bermula begitu saja. Mika wanita yang berusia 28 tahun harus dihadapi sebuah masalah yang tidak bisa diterima oleh dirinya sendiri. Prinsipnya perihal pernikahan terpaksa harus...