The Cold Summer 9/2

179 20 1
                                    

"Astaga, buah tanganmu banyak sekali, Kak!"

Pim berseru takjub saat membuka koper khusus ole-ole yang dibawa oleh Tay dari Indonesia.

"Iya, dan semua itu pesananmu. Kau mau ini, kau mau itu, sampai-sampai aku bingung mencarinya di sana," gerutu Tay sembari melepas jasnya.

Pim terkekeh. "Semuanya lengkap, kan? Kau tidak lupa membeli kain tenun, kan?"

Tay meletakkan jasnya di sandaran sofa, lalu duduk mengistirahatkan dirinya yang pegal karena penerbangan, dan sudah harus meladeni sepupunya tersayang.

"Pim, biarkan dia beristirahat—ini, Tay, air hangat untukmu."

Gun datang seperti seorang penyelamat, sekurang-kurangnya Pim jadi tidak ajak-ajak saat membongkar satu per satu isi koper itu.

"Terima kasih, Gunnie."

"Sama-sama. Menyenangkan jadi dosen?"

Tay mengangguk. "Lumayan."

"Lumayan?"

Air hangat benar-benar senjata ampuh, itu berhasil membuat rasa tidak enak badan Tay berangsur pergi. "Aku lebih suka sibuk mengurus kasus."

"Bagaimana dengan Indonesia?" Gun duduk di sofa depan Tay.

"Sebelas dua belas dengan Thailand, jujur saja, mereka bahkan punya tuk-tuk juga, sebutannya bajai."

Gun mendengarkan dengan seksama. "Bagaimana dengan warganya?"

"Secara fisik, kita tidak jauh berbeda. Tingkat keramahan pun sama, kurasa." Tay menandaskan air hangatnya. "Hanya saja mereka agak malas." Dan meletakkan gelasnya di atas meja.

"Malas?"

Tay memijat-mijat pelipisnya, sedikit jet lag. "Aku memutuskan untuk menggunakan transportasi umum ke mana-mana, salah satunya kereta, dan kuamati pola perilaku masyarakat di sana. Antara tangga dan eskalator di stasiun, mereka memilih berhimpit-himpitan naik eskalator dibanding naik tangga, ujung-ujungnya, antara mereka yang berbondong-bondong dan antre naik eskalator dengan mereka yang naik tangga sampai ke atas di waktu yang bersamaan," jelasnya secara rinci.

Gun memutuskan untuk netral karena ia tidak tahu secara langsung kondisinya, tetapi ia juga tidak mau ujug-ujug mengatakan pengamatan Tay tidak sepenuhnya benar karena ia mengenal sepupunya itu.

"Stanford pernah melakukan studi, dan negara itu berada di tempat teratas penduduk paling malas bergerak."

"Ada berapa jenis transportasi umum di sana?" tanya Gun sebagai tanggapan.

Tay mengingat-ingat sebentar. "Ada banyak jenis kalau dari yang aku tahu, mulai dari kereta, bus, angkutan umum, dan lain-lain. Ada yang berbasis online, ada yang tidak."

Gun melirik sebentar ke arah Pim yang sangat-sangat terpaku pada ole-ole yang ada. "Itu cukup menjelaskan, kurasa banyaknya opsi transportasi salah satu faktornya. Masyarakat muncul dengan pemikiran kalau ada transportasi yang bisa digunakan, kenapa berjalan kaki?"

"Menurutmu begitu?"

"Menurutku begitu. Di stasiun, bisa jadi karena mereka lelah makanya menolak menapaki tangga?"

Tay melipat kedua tangannya di depan dada. "Berhimpit-himpitan dan antre panjang agar bisa naik eskalator juga sama menguras tenaganya, dan itu juga berpengaruh langsung pada suasana hati, suasana hati buruk menambah lebih banyak rasa lelah. Kerja psikis, kau paham, kan?"

"Kak, mana kain tenunnya?"

Gun baru saja hendak menanggapi Tay, tetapi tidak jadi karena Pim kembali rewel perihal ole-ole.

The Love of A Heartless ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang