Membawa beberapa box kue, Kiran mendatangi panti untuk menemui Zakiya. Dia selalu datang dengan membawa sesuatu karena merasa tak enak jika hanya datang dengan tangan kosong. Penghuni panti di sini memang tidak terlalu banyak karena panti ini memang kecil.
"Bagaimana? Enak?" tanya Kiran.
"Enak," jawab anak panti serempak.
"Hayo. Bilang apa sama Kak Kirannya?" Bu Afni menginstruksi anak-anak panti.
Semua mata tertuju pada Kiran. "Terima kasih, Kak Kiran."
"Sama-sama," ucap Kiran. Dia menatap haru anak-anak yang tampak senang menikmati kue pemberiannya. Rasanya begitu menyenangkan bisa berbagi pada sesama.
Setelah menemani anak-anak panti makan kue, kini Kiran sedang berada di kamar Zakiya. Gadis kecil yang menjadi inspirasi menulisnya kali ini. Bocah perempuan yang jalannya menggunakan tongkat itu sedang melipat pakaiannya.
Begitulah Zakiya. Anak itu begitu mandiri. Setelah melipat baju, dia meletakkannya pada lemari di samping ranjang bertingkat tempat dia dan temannya tidur. Sedikit kesusahan, dia mulai menata satu persatu pakaiannya.
"Biar Kakak bantu," ucap Kiran. Wanita itu pun mulai membantu Zakiya memasukkan pakaian ke lemari. Sebuah kain jatuh di samping kakinya. Kiran menunduk dan melihat itu adalah sebuah kerudung.
Di balik benak sana Kiran tampak menimang sesuatu. Tanpa ada arahan, tiba-tiba saja dia mengenakan kerudung itu. Terlihat sangat pas dan cocok di wajahnya. "Ternyata gue cantik juga kalau pakai kerudung."
Zakiya yang baru saja menyelesaikan kegiatannya menoleh ke arah Kiran. Gadis itu tersenyum akan penampilan Kiran yang mengenakan kerudung di mana dia tahu itu adalah miliknya. "Kak Kiran cantik juga kalau pakai kerudung," ucapnya kemudian.
Kiran yang menyadari itu langsung merasa malu. "Kamu bisa saja."
Zakiya mengangguk cepat. "Iya. Kak Kiran memang cantik, tambah cantik kalau pakai kerudung." Detik kemudian dia menatap sendu. "Itu adalah kerudung yang ada di samping Zakiya saat ibu panti menemukan Zakiya."
Kiran yang mendengar itu merasa sedih. Dia ingin melepaskannya. "Maaf, ya. Karena kakak kamu jadi sedih."
Zakiya menahan tangan Kiran. "Enggak papa kok, Kak. Zakiya malah suka melihat Kakak seperti ini. Tambah manis."
Kiran tetawa, dia menjawil hidung Zakiya. "Kamu ini, ya. Kecil-kecil pintar ngegombal."
Untuk beberapa saat Kiran memikirkan sesuatu. "Tunggu. Jika ini ada saat kamu ditemukan, kemungkinan ini adalah milik ibu kamu." Kiran berusaha menebak.
Zakiya mengangguk. "Bisa jadi." Gadis itu mengingat akan sesuatu.
"Oh, iya. Masih ada lagi." Zakiya menyingkap kerudungnya dan dia memperlihatkan sebuah liontin kepada Kiran.
"Ada kalung ini juga saat ibu panti menemukan Zakiya," jelasnya kemudian.
"Maaf." Kiran memegang liontin berbentuk hati yang dikenakan Zakiya. Ternyata liontin itu bisa dibuka. Tidak ada apa pun di dalamnya selain sebuah nama yaitu Angel. Kiran sempat berpikir akan ada foto di dalamnya yang bisa saja digunakan sebagai petunjuk.
"Angel?" Kening Kiran terlipat. "Angel siapa?" tanyanya kemudian.
Zakiya menggeleng. "Zakiya juga tidak tahu."
Kiran tampak berpikir. "Kalau itu sebuah nama, nama siapa? Apa mungkin nama kamu? Tapi kenapa Ibu Afni tidak menamai kamu Angel, ya biar sesuai dengan tulisan yang ada di kalung ini?"
Zakiya kembali menggeleng. "Zakiya juga tidak mengerti."
Dalam benak sana Kiran mengira kalau ini bisa saja dijadikan petunjuk untuk mencari keberadaan keluarga Zakiya. "Bisa kamu lepaskan sebentar? Kakak mau memfotonya."
Zakiya mengangguk. Gadis itu melepaskan liontinnya lalu meletakkan di atas ranjang di mana Kiran langsung memfotonya. Dia berencana akan menulis tentang ini dan akan mengunggah gambar ini pada instagramnya. Sebagai seorang penulis biasanya memang Instagram adalah wadah promosinya.***
Ditemani semilir angin sore, tampak menenangkan jika duduk santai di bawah pohon. Apalagi jika kita berada di pinggir sawah. Seorang perempuan yang diperkirakan berusia tiga puluh tahun lebih tengah duduk santai di sana. Dia sedang memangku kepala putri tercintanya yang berusia lima tahun.
"Ibu. Kiran sayang sama Ibu," ucap gadis kecil yang tengah menikmati belaian tangan sang ibu di kepalanya."Ibu juga sayang sama Kiran." Perempuan itu terus membelai surai indah sang putri. Detik kemudian wajahnya menunjukkan kesedihan.
"Kiran. Kiran harus menjadi anak yang kuat. Yang hebat dan mandiri. Dunia ini sangat luas dan ada banyak hal di luar sana. Kiran harus menjadi pribadi yang bisa mengandalkan apa pun untuk menghadapinya. Mengerti?"
Dalam pangkuan Kiran mengangguk. "Kiran mengerti, Ibu."
"Bagus. Anak ibu memang pintar." Dia mengecup kening putrinya. "Sekarang kita pulang, ya."
"Yah. Padahal Kiran masih suka di sini, Bu. Suasananya menenangkan dan menyegarkan." Gadis kecil itu bangkit dari pangkuan dengan bibir mengerucut.
"Tapi kita haru pulang. Nanti Ayah mencari kita loh di rumah." Tak ada bantahan lagi. Keduanya pun berjalan bersama menuju ke rumah.Saat malam tiba, ketika Kiran tengah terlelap, suara bising memaksanya untuk terjaga. Gadis manis itu mengucek mata kala sudah mendudukkan diri. "Kok ramai sekali? Ayah sama ibu bicaranya keras sekali?"
Kiran turun dari ranjang. Dia berjalan menuju pintu kamar dan membuka kayu persegi di hadapannya. Belum terbuka sempurna, dia melihat sang ayah yang memukul ibunya. Sontak saja hal itu membuat Kiran mengurungkan niat untuk keluar.
Air mata jatuh membasahi pipi Kiran dengan perasaan takut yang langsung menguasai dirinya. Dia menggeleng cepat. "Tidak suka. Kiran tidak suka melihat Ayah kasar sama Ibu." Gadis itu pun langsung menutup pintu dan kembali ke ranjang lalu menutupi seluruh tubuh dengan selimut.
Detik berikutnya, bola mata jernih kembali terbuka. Dia adalah Kiran yang ada di masa kini. Beberapa saat lalu, dia kembali memimpikan masa lalunya. Dia tak mengingat dengan detail setelah kejadian itu. Namun, yang pasti adalah setelah insiden hari itu, tak ada lagi kehangatan di dalam rumahnya.Ayah ibu sering bertengkar meski di belakangnya dan ibu selalu berusaha menyembunyikannya dari Kiran. Kiran mengetahui itu. Hanya saja, ibunya selalu menutupi itu dengan alasan ayah sedang kelelahan dan ibu melakukan kesalahan. Untuk itu mendiang ibunya selalu mewanti Kiran agar selalu berhati-hati kalau melakukan suatu hal agar tidak melakukan kesalahan.
Dan ternyata, baru dia ketahuai pertengkaran itu terjadi karena adanya orang ketiga. Kiran menyandarkan kepala di pohon yang ada di belakang tubuhnya, tempat di mana menjadi kesukaannya dengan mendiang sang ibu sejak dirinya kecil.
Kiran memejamkan mata. "Kiran kangen Ibu," ucapnya lirih disertai air mata yang membasahi pipi.***
Selamat pagi. 😍😍😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Kertas Tak Bertuan
Fiksi RemajaKiran. Di usianya yang belia, harus melihat secara langsung pengkhianatan sang ayah pada ibunya. Memiliki pendamping lain di belakang ibunya. Lalu, apa jadinya saat sang ayah membawa pulang wanita itu beserta anak mereka setelah ibunya tiada? Hanya...