Terbit.

184 92 26
                                    

_Rumah Panggung Atap Rumbia_

:

:

Lembar demi lembar perlahan kubentangkan, mataku memantau dengan antusias, dari sisi kanan koran hingga tuntas ke kiri, kujajah tanpa kubiarkan satu kata pun lewat begitu saja. Angin sengaja tak kuizinkan masuk ke kamar, biarlah keringat mula-mula menetes memudarkan tulisan di sana. Bibir tak bergeming, namun hati sedari tadi berbisik, mengagih penasaran yang tak kunjung pulih.

Tanganku mulai gemetar tatkala tumpukan terakhir kuangkat, jantungku semakin memacu deras, kulit bibirku kering, mulai kugigiti hingga terkelupas, —kebiasaan burukku jika sedang merasa panik dan takut—, dapat terkecap pahitnya darah di lidah, rupanya ujung bibirku sudah luka berdarah.

Dalam ruang sepi senja, di kala bayang-bayang kegelapan merayap perlahan, lembaran terakhir itu seakan menjadi saksi bisu dari derita mala meliliti tubuh. Kepanikan dan ketakutan mengalir dalam garis-garis huruf yang tercetak, merayap masuk ke dalam jiwa yang resah. Sebab hanya melalui lembar-lembar koran itulah, harapan rapuh tergantung, seperti gelombang di lautan luas.

Jika tidak oleh koran ini, aku akan terhempas lemas ke dalam lautan luas, kehilangan arah laksana pelaut di tengah badai derita. Segala harapanku, yang terpatri dalam dawuh-dawuh Syekh Yusuf Gowa, guruku, akan pupus tak berbekas. Re-ingkarnasi Dewata hanya akan menjelma sebagai bentuk semata, tanpa menghidupkan semangat yang menyala-nyala di dalamnya.

Bibir kian menipis, tanpa kenal belas kasihan tersiksa oleh buasnya gigitan waktu. Di antara setitik darah yang mengalir perlahan, terulanglah kata-kata, mengukir-ukir dalam ingatan, "Jawa, Jawa, Jawa". Kata-kata itu bukan sekadar rangkaian bunyi, melainkan mantra harapan, pelipur jiwa yang resah. 

Dalam gemuruh gelombang kesendirian, mula-mula koran terakhir itu menyalakan seuntai cahaya samar lalu menuntun melalui kegelapan. Tatkala derap waktu terus berjalan, kabar berita-berita fana seketika lenyap, mendadak bertukar gambar ulama tanpa warna, separuh hitam, separuh putih, menjelma siluet gelap penuh wibawa, menjaga cahaya terakhir agar tetap menyala, meski harapan semakin pudar tergenggam, tetapi tetap bersinar dalam kegelapan yang meliputi.

Seketika bibirku lentur dalam senyuman, alisku terangkat menyatakan kegembiraan, di setiap hembusan napas yang menyerang, tak lain adalah rasa syukur atas kemenangan. Wajahku tersenyum, kerutan bahagia tercermin jelas di sana. Koran di hadapanku, seolah tak mampu mengerti keindahan yang kini tengah kuamati dengan penuh makna. Aku menciumnya berulang kali, tanpa menyadari tetesan dara dari bibirku, memburamkan gambar Ulama besar tanah Jawa yang terpampang gagah. Ketenangan menyelimuti hati, rasa ingin tahu terpuaskan. Setiap kata yang terpahat dalam halaman-halaman koran terakhir ini seakan melodi sumbing, menari-nari di telinga, menuntunku ke dunia yang tak terjangkau oleh pikiranku sebelumnya "Syukurlah sudah kutemukan jawabannya." Gumamku.

***

Mungkin hanya Aku yang merasa bahwa Bilik jambang adalah tempat berserah kedua setelah tilam kasur, keheningan mesra dengan sedikit tetesan air dari kerang yang mulai kopok, seakan mampu merebut khayalanku terjebak kaku. Keadaan di mana mata lengang, longo terpaku tanpa titik tuju yang jelas, namun imajinasi tak habis-habisnya mengacau di sana. Dalam kekosongan yang sama, kumanfaatkan untuk menerka dan menata kembali niat-niatku, apa yang akan kupersiapkan selanjutnya? Mengajar, ceramah, oh ... jadi ulama mungkin. Semua kuperagakan layaknya mubalig di luar sana, menggertak-gertak ketukan air meski tanpa alasan, atau menunjuk-nunjuk seng di awan-awan, juga tanpa alasan. Tak  seorang pun menyaksikan kebodohanku, kecuali diriku dan termit yang sedang mengepung sinaran lampu. Rasa malu dan khawatir mungkin sudah tersedot habis oleh kakus itu. Hingga yang tertinggal, tak lebih dari bayang imajinasiku.

Tak sia-sia pertapaanku di jambangan tadi, memang tak pernah sia-sia, tempat itu selalu menawarkan suasana di mana aku dapat berpikir jernih. Melamun misalnya, melintas-kan sasmita-sasmita yang dapat kapan saja kutangkap, namun juga begitu mudah terlepas, atau yang melintas justru anak gadis pak Yangki, gadis berdarah jepang dengan betis montok putih dan mata sipit berkedip-kedip. Ah, kurang ajar, tak akanlah kuhabiskan air untuk mandi dua kali.

Hikayat Aksara JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang